Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jangan Cepat Tergoda Postingan! Waspadai Modus Penipuan Belanja Online via Instagram

19 Mei 2021   14:45 Diperbarui: 20 Mei 2021   09:50 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belanja online: freepik.com 

Apakah Anda pernah mengalami peristiwa tidak mengenakkan saat berbelanja online? Anda pernah tertipu melalui suatu modus tertentu, misalnya?

Ada seorang teman, mengaku baru saja mengalami sesuatu yang tak menyenangkan. Sebenarnya cerita bercampur lucu. Betapa semakin kreatif cara mengelabui berkedok belanja daring (dalam jaringan) dewasa ini.

Awal cerita begini. Ia tertarik pada produk pakaian anak yang dipajang di salah satu akun instagram. Produk-produk yang ditawarkan cukup menggoda. Terlihat keren. Harganya miring pula.

Lebih meyakinkan lagi, dipertontonkan sedemikian banyak tangkapan layar berisi testimoni. Mulai dari transaksi berhasil, hingga kesan puas dari para konsumen. Singkat kata, tidak ada nada buruk di setiap postingan.

Ia pun menghubungi nomor yang tertera di akun tersebut. Komunikasi via WhatsApp dengan pihak penjual pada awal April itu, berjalan lancar. Seperti biasa, setelah memilih barang, berlanjut dengan pengisian sejumlah data sesuai format yang disediakan, lalu proses pembayaran. Untuk satu pasang pakaian anak, ia membayar Rp 179,000. Transfer berhasil dan buktinya dikirim.

"DONE SUDAH DI CHECK. Saya proses ke seller untuk kirim ya, mohon ditunggu untuk kedatangan barangnya ya kak, jika seller sudah share resi akan sy share ke kakak resi pengirimannya," demikian jawabannya.

Transaksi sukses: dokpri
Transaksi sukses: dokpri

Setelah beberapa hari, tak ada kabar. Permintaan nomor resi untuk mengetahui status pengiriman pun tak kunjung terpenuhi. Sesuatu yang mengagetkan justru terjadi.

Seseorang mengaku petugas Bea Cukai di salah satu bandara tiba-tiba menghubungi. Mula-mula ia meminta untuk mengonfirmasi surat-surat terkait produk yang dikirim. Menurutnya, barang tersebut berpotensi sebagai produk ilegal. Tidak hanya penjual, pembeli pun bisa terseret ke jalur hukum.

Komunikasi terjeda. Si petugas itu sedikit mendesak untuk segera mendapatkan informasi dari penjual. Tak berapa lama ia menelpon. Ia mengatakan urusan tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan asalkan membayar sejumlah uang. Ada rupa-rupa biaya yang disebut. Bila tidak salah, lebih dari Rp 5 juta.

Sementara itu teman saya coba menghubungi nomor penjual. Oleh pemegang nomor pertama, ia diminta menghubung nomor berikut yang disebut sebagai pemilik toko. Situasi semakin mencurigakan. Ada sesuatu yang tidak beres. Demikian batinnya.

"Tolong ditalangi dahulu. Saya lagi di luar, baru kembali jam 12 malam," begitu suara pemilik toko di ujung telepon.

Teman saya berusaha berdebat. Mengulik berbagai kejanggalan yang sudah tercium jelas. Mengapa penjual terdengar lepas tangan? Pantaskah pembeli  dibebankan biaya tambahan untuk sesuatu yang tak dilakukannya? Mengapa penjual tidak langsung menghubungi petugas untuk menyelesaikan masalah? 

Terhadap si petugas. Mengapa ia tidak menghubungi saja si pembeli? Bila memang barang tersebut tertahan di bandara, mengapa tidak juga mengirim nomor resi hingga potongan gambar yang membuktikan barang tersebut benar-benar berada di pihak berwajib?

Tidak berapa lama panggilan itu putus. Diakhiri sepihak. Si penjual terdengar kecewa. Datang juga pesan WhatsApp dari yang mengaku petugas bandara tadi.

"Kalau memang tidak ada kepastian dari anda terpaksa masalah barang anda akan kami serahkan ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjut secara hukum," tulisanya dalam huruf besar.

Setelah satu panggilan tak terjawab, si petugas itu kembali berpesan.

Tangkapan pesan dari yang mengaku sebagai petugas bandara: dokpri
Tangkapan pesan dari yang mengaku sebagai petugas bandara: dokpri


"Siap 86. Pihak pengirim dengan pihak penerima silahkan ditunggu penjemputannya dari pihak kepolisian. Kami janji akan mempersulit kasus anda," kembali berhuruf kapital.

Tak puas dengan pesan teks. Ia pun mengirim pesan suara. Tak juga cukup, ia menyertakan bunyi sirene sebagai suara latar.

"Kalau mau menipu, tolong lebih canggih," balas temanku singkat.

Sejatinya ia sudah tertipu. Sekian rupiahnya sudah melayang.

Toko online dengan modus penipuan berjejaring: dokpri
Toko online dengan modus penipuan berjejaring: dokpri

Tren Positif

Perkembangan teknologi komunikasi seperti internet di satu sisi dan pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak fisik di sisi lain, membuat berbelanja secara daring menjadi pilihan paling mungkin.

Laporan terbaru layanan manajemen konten HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social menunjukkan tingkat penetrasi internet di tanah air semakin meningkat. Dalam laporan bertajuk "Digital 2021," dirilis awal tahun ini, dari 274,9 juta populasi, mayoritas adalah pengguna internet.

Sebanyak 202,6 juta orang tercatat sebagai pengguna internet, meningkat 27 juta jiwa dibanding periode yang sama tahun 2020. Sebagian besar (96,4) persen mengakses internet menggunakan telepon genggam. Rerata waktu yang dihabiskan berselancar di dunia maya pun tidak singkat. Delapan jam dan 52 menit.

Data pengguna internet di Indonesia: wearesocial.com
Data pengguna internet di Indonesia: wearesocial.com

Data ini tentu mendukung dan mengonfirmasi peningkatan tren belanja online belakangan ini. Cotinuum Data Indonesia berkesimpulan, tren belanja daring meningkat tiga kali lipat. Riset yang dilakukan pada periode singkat, sepanjang April 2021, lebih dari cukup menggambarkan semakin bergairahnya konsumen, tidak hanya berbelanja tetapi terutama memilih jalur dalam jaringan.

Laporan tersebut tentu sedikit mengagetkan. Pandemi panjang dan tak menentu dengan segala dampak turunannya, dengan sektor ekonomi sebagai salah satu yang paling terdampak, ternyata tidak menyurutkan gairah belanja masyarakat.

Tentu hasil riset itu perlu divalidasi dan ditelaah lebih jauh. Tidak hanya memastikan terjadinya peningkatan, tetapi lebih spesifik mengurai perilaku berbelanja secara online.

Mana saja produk yang paling banyak diburu dan untuk pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, atau tersier? Kelompok ekonomi mana yang paling antusias? Seperti apa kondisi finansial dan seberapa besar dampak pandemi pada sektor keuangan mereka?

Selain itu perlu digali jalur yang dipilih untuk berbelanja online. Apakah melalui marketplace (lokapasar), e-commerce atau toko online?

Lokapasar mengacu pada situs perantara yang menghubungkan para penjual dengan pembeli. Sementara toko online tidak membutuhkan perantara. Penjual langsung terkoneksi dengan pembeli.

Infografis: legalo.id
Infografis: legalo.id

Saat ini penetrasi dan perkembangan lokapasar dan toko online yang dikelola berbagai pelaku baik perusahaan ternama maupun pendatang baru, entah penyedia lapak, penjual hingga penjual ulang (reseller), semakin meningkat.

Infrastruktur teknologi yang semakin baik ditopang oleh pola konsumsi dan tren belanja yang semakin menguat ke arah digital, membuat dunia digital semakin menggiurkan. Kue besar ekonomi digital yang menggoda banyak pihak.

Konsumen cerdas dan bijak

Bila mayoritas penduduk Indonesia sudah terhubung dengan internet, maka bisa dipastikan saya dan pembaca konten ini adalah beberapa dari antaranya. Bisa jadi juga kita adalah bagian dari pelaku belanja online.

Setiap kita tentu memiliki pengalaman tersendiri, baik positif maupun negatif. Masih banyaknya komentar, keluhan, protes, hingga umpatan yang berseliweran di sosial media hingga situs-situs belanja menunjukkan ragamnya kesan dan pengalaman berbelanja daring. Kisah di awal tulisan ini adalah salah satunya.

Bahwa tidak semua lokapasar menghadirkan kepuasan dan tidak semua toko online tidak dikelola secara meyakinkan adalah beberapa kesan umum yang ditangkap. Begitu juga tidak semua aktivitas belanja hanya mengerucut pada saluran tertentu menggambarkan ragam pilihan dan promosi di jagad maya.

Walau masih mengalami kekurangan di sana-sini, ada pengalaman tertentu yang membuat kita sebagai pembeli jera. Suatu pengalaman buruk bisa jadi lebih dari cukup untuk hijrah dan memberi nilai merah pada rapor web, aplikasi, hingga toko online tertentu.

Dengan semakin beragamnya pilihan platform dan kian menggungah selera aneka rayuan promosi dari waktu ke waktu, maka pengalaman beralih bukan sesuatu yang sulit. Dan lebih sulit lagi untuk kembali memberikan kepercayaan atas sebuah kekecewaan yang telah dibuat. Karena itu kepercayaan dan kepuasan konsumen adalah nilai penting yang dipegang dan dijunjungtinggi setiap penjual.

Namun begitu tidak sedikit konsumen yang masih saja terjebak dalam kesalahan. Masih saja tertipu oleh transaksi tak terpuji. Masih belum juga jera untuk menjadi konsumen yang bijak dan cerdas.

Begitu juga, masih saja ada pihak yang ingin mengail keuntungan di air keruh. Praktik penipuan, pemalsuan, dan sebagainya bagai ilalang yang tumbuh berhimpitan dan berdesakan di antara rumput-rumput hijau. Sepertinya, semakin menggeliat bisnis belanja online, semakin canggih pula modus penipuan.

Pada titik ini, menjadi konsumen cerdas dan bijak adalah harga mati.  Malah dari waktu ke waktu tingkat kecerdasan dan kebijaksanaan itu perlu terus diasah. Pilihan semakin beragam dan promosi semakin atraktif, semakin menuntut kecakapan sebagai konsumen.  Tidak hanya menghindari lubang konsumsi yang ekstensif, tetapi juga jebakan praktik bisnis kotor. 

Tentu wajib hukumnya untuk memilih dan memilah sebelum memutuskan. Jangan sampai peribahasa klasik ini berlaku. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Persis seperti pengalaman teman di atas.

Mencari tahu reputasi penjual, mendapatkan  dan mencari tahu referensi dari ulasan produk atau testimoni pembeli sebelumnya (asli atau rekayasa), memahami deskripsi produk berikut harga yang diberikan (harga barang masuk akal atau tidak), dan mencermati syarat dan ketentuan setiap toko digital (melewati proses yang wajar atau mencurigakan, mengandung alur yang singkat dan transparan atau rumit dan merepotkan).

Penting juga mempertimbangkan metode pembayaran. Sejauh dapat menghindari transfer langsung tanpa melalui lokapasar sebagai pihak perantara. Soal ini memang berbelanja di marketplace bisa lebih diandalkan. Setidaknya ada pihak ketiga untuk mengantarai setiap proses dan kita pun masih bisa menempuh jalur komplain manakala bermasalah.

Walau begitu banyak pula toko online bereputasi baik. Tidak sedikit yang benar-benar menjaga kepercayaan konsumen dan menghindari berbagai kecemasan. Di antaranya, sudah marak pemilik toko online yang mempromosikan lapak dan dagangannya di sosial media. Namun proses pemesanan dan transaksi dianjurkan melalui lokapasar atau website terpercaya.  

Tak kalah penting, sikap sportif setelah berbelanja. Tidak semata-mata untuk sesuatu yang mengecewakan, tetapi juga untuk setiap pengalaman yang kurang, belum hingga sudah memuaskan.

Sebagai konsumen bijak, sepatutnya kita memberikan apresiasi, saran dan umpan balik secara jujur. Alih-alih berbohong untuk sesuatu yang bagus, atau mem-bagus-kan sesuatu yang buruk, sebaiknya menyampaikan kesan secara adil. Apa adanya, bukan ada apanya.

Bila kita bisa berbagi pengalaman baik, tentu akan membantu lebih banyak orang dalam mengambil keputusan. Kita ikut menciptakan rantai kepuasan. Kita ikut andil mendorong peningkatan kualitas produk dan layanan di pihak penjual.

Hal-hal sederhana ini, meski kadang membutuhkan waktu ekstra, berdampak luas. Tidak hanya menciptakan pengalaman belanja kita yang semakin baik, tetapi juga berandil menciptakan ekosistem belanja online yang sehat.

Ekosistem belanja online sehat, ekonomi digital menggeliat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun