Sementara itu teman saya coba menghubungi nomor penjual. Oleh pemegang nomor pertama, ia diminta menghubung nomor berikut yang disebut sebagai pemilik toko. Situasi semakin mencurigakan. Ada sesuatu yang tidak beres. Demikian batinnya.
"Tolong ditalangi dahulu. Saya lagi di luar, baru kembali jam 12 malam," begitu suara pemilik toko di ujung telepon.
Teman saya berusaha berdebat. Mengulik berbagai kejanggalan yang sudah tercium jelas. Mengapa penjual terdengar lepas tangan? Pantaskah pembeli  dibebankan biaya tambahan untuk sesuatu yang tak dilakukannya? Mengapa penjual tidak langsung menghubungi petugas untuk menyelesaikan masalah?Â
Terhadap si petugas. Mengapa ia tidak menghubungi saja si pembeli? Bila memang barang tersebut tertahan di bandara, mengapa tidak juga mengirim nomor resi hingga potongan gambar yang membuktikan barang tersebut benar-benar berada di pihak berwajib?
Tidak berapa lama panggilan itu putus. Diakhiri sepihak. Si penjual terdengar kecewa. Datang juga pesan WhatsApp dari yang mengaku petugas bandara tadi.
"Kalau memang tidak ada kepastian dari anda terpaksa masalah barang anda akan kami serahkan ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjut secara hukum," tulisanya dalam huruf besar.
Setelah satu panggilan tak terjawab, si petugas itu kembali berpesan.
"Siap 86. Pihak pengirim dengan pihak penerima silahkan ditunggu penjemputannya dari pihak kepolisian. Kami janji akan mempersulit kasus anda," kembali berhuruf kapital.
Tak puas dengan pesan teks. Ia pun mengirim pesan suara. Tak juga cukup, ia menyertakan bunyi sirene sebagai suara latar.
"Kalau mau menipu, tolong lebih canggih," balas temanku singkat.