Konteks Indonesia
Di Indonesia, peran "El Mesaharaty" mewujud dalam berbagai bentuk. Walau tidak digariskan secara tegas, namun kebiasaan membangunkan orang sahur masih terjadi di banyak tempat hingga hari ini.
Pertama, ada sebutan "Beduk Sahur" atau "Ngarak Beduk" sebagai tradisi membangunkan orang untuk sahur dengan menggunakan beduk. Tradisi ini terkenal di kalangan masyarakat Betawi. Di Sulawesi, tradisi beduk sahur dinamakan "Dengo-dengo." Tradisi serupa di Jawa Barat disebut "Ubrug-ubrug".
Kedua, selain menggunakan beduk, ada kalanya berganti petasan. Pemilihan petasan disebabkan karena efek bunyi yang dihasilkan lebih kuat. Suara petasan yang keras dianggap cukup ampuh membangunkan orang-orang. Bisa jadi orang bangun setelah mengalami keterkejutan.
Ketiga, tidak hanya menggunakan beduk, ada masyarakat yang memilih menggunakan alat musik tradisional seperti gendang, rebana, dan sebagainya. Tidak hanya mengandalkan bunyi instrumen, harmoni nada yang dihasilkan, terkadang begitu menggoda mulut untuk ikut berdendang.
Penggunaan alat musik dan kesenian untuk tujuan serupa juga dikenal di lingkungan masyarakat Indramayu dan Cirebon. Ada tradisi "Obrog" sebagai seni tradisional dengan alat musik dan lirik tertentu.
Dalam rombongan, kelompok ini akan menggunakan beduk atau kentongan. Mereka akan berjalan berkeliling sambil bernyanyi. Seiring perkembangan zaman, pemilihan alat musik modern seperti gitar, suling, hingga kendang, tak terhindarkan.
Berganti teknologi
Seperti yang muncul di berbagai tempat, tradisi membangunkan sahur mulai mengalami perubahan. Salah satu yang paling nyata adalah penggunaan teknologi. Mulai dari kehadiran alat musik modern untuk menggantikan alat musik tradisional, hingga pengeras suara atau "sound system".
Tidak hanya itu, pilihan lagu yang dibawakan pun setali tiga uang. Tidak semata-mata berirama religi dan qasidah, tetapi juga diselingi irama dangdut. Sepertinya yang hendak disasar pertama-tama dan utama adalah sejauh dapat bisa membangunkan orang.