Sahur. Bisa juga disebut Sehur, Sehri, Sahari atau Suhoor dalam sejumlah bahasa. Ini adalah salah satu bagian penting sepanjang bulan Ramadan. Sahur mengacu pada aktivitas makan pada dini hari sebagai persiapan menjalankan ibadah puasa.
Selama bulan puasa, Sahur dan Iftar, makan malam, menjadi pengganti jadwal makan tiga kali sehari, yang biasa terjadi di luar bulan Ramadan. Sahur biasa dilakukan pada sepertiga malam dan berakhir saat azan subuh berkumandang.
Selain sebagai kesempatan mengisi amunisi untuk berpuasa sepanjang hari, santap sahur juga menjadi salah satu sunah. Santap sahur bisa berupa mengonsumsi aneka makanan berat, atau pun hanya seteguk air.
Tentang ini ada salah satu nas yang berbunyi, "Bersahur itu adalah suatu keberkahan, maka janganlah kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur (makan sahur)." (HR Ahmad)
Hanya saja dari sisi kesehatan, sangat dianjurkan untuk mencukupkan diri dengan sejumlah asupan nutrisi sehingga bisa memberikan energi pada tubuh untuk melewati jam-jam penuh tantangan hingga petang saat waktu berbuka tiba.
Mengingat waktu sahur terjadi di saat yang menantang, saat orang lain tengah terlelap dalam mimpi, maka ada kemungkinan kesempatan itu bisa terlewat begitu saja. Karena itu perlu ada bantuan pengingat agar tidur malam tidak "kebablasan."
Ada banyak rupa  pengingat yang dijumpai dalam laku hidup selama ini. Bahkan beberapa dari antaranya mengandalkan cara-cara konvensional yang dipraktikkan dari tahun ke tahun.
El Mesaharaty
Membangunkan sahur sudah menjadi tradisi negara Islam. Ada sebutan "El Mesaharaty" yang mengacu pada orang yang berjalan di sekitar suatu daerah sambil menabuh genderang atau melantunkan ayat-ayat suci untuk membangunkan orang untuk sahur.
Menukil www.emirates247.com (5/6/2016), "El Mesaharaty" sudah dikenal sejak masa Dinasti Abbasiyyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al Nasser dari Mesir. Saat itu kiprah "El Mesaharaty" begitu populer di kalangan anak-anak.
Anak-anak akan mengikuti ke mana "El Mesaharaty" berkeliling walau dengan berjalan kaki. Bahkan kesetiaan anak-anak itu begitu tinggi. Para bocah akan terus membuntuti para penabuh genderang atau pelantun syair-syair religi sampai selesai berkeliling.
Situasi ini akan terus terjadi setiap hari selama bulan Ramadan. Tentu bisa dibayangkan betapa pentingnya "El Mesaharaty" ini. Betapa berjasanya mereka bagi orang-orang kebanyakan sehingga tidak sampai alpa sahur.
Dalam perjalanan waktu, kebiasaan tersebut berkembang ke daerah-daerah lain. Pada suatu waktu ada orang yang berkeliling di jalanan ibu kota Mesir selama Ramadan sambil melantunkan panggilan puitis. Kata-katanya cukup puitis. Bunyinya demikian. "Oh! Barang siapa masih yang tertidur, mari bangun dan berdoa kepada Allah."
Menariknya, seruan puitis itu diinisiasi oleh penguasa Mesir kala itu yakni Otbah Ibn Ishaq. Ia menjadi orang pertama yang melakukan tur di jalanan Kairo selama bulan puasa. Sungguh sebuah keutamaan dari seorang pemimpin yang patut diacungi jempol.
Pemandangan tersebut tidak hanya muncul di Mesir. "El Mesaharaty" dengan intensi yang sama namun dalam tindakan sedikit berbeda terjadi juga di berbagai negara.
Di Oman "El Mesaharaty" akan beraksi dengan menabuh genderang untuk membangunkan orang. Sementara itu, Abu Tablyah, "El Mesaharaty" pertama di Kuwait, memilih jalan melantunkan doa yang kemudian diulangi anak-anak saat ia berjalan keliling.
Apakah ada cara lain untuk membangunkan orang? Tentu. "El Mesaharaty" pertama di Yaman dikabarkan menggunakan tongkat untuk memukul pintu orang.Â
Lain lagi di Sudan. Di tempat itu "El Mesaharaty" ditemani seorang anak akan berjalan keliling sambil memanggil nama setiap orang yang rumahnya dilewati.
Sementara itu bersiul menjadi pilihan "El Mesaharaty" di Suriah, Lebanon, dan Palestina. Apakah dengan hanya meniru bunyi suling dengan mulut orang-orang yang tengah terlelap akan segera terjaga?
Konteks Indonesia
Di Indonesia, peran "El Mesaharaty" mewujud dalam berbagai bentuk. Walau tidak digariskan secara tegas, namun kebiasaan membangunkan orang sahur masih terjadi di banyak tempat hingga hari ini.
Pertama, ada sebutan "Beduk Sahur" atau "Ngarak Beduk" sebagai tradisi membangunkan orang untuk sahur dengan menggunakan beduk. Tradisi ini terkenal di kalangan masyarakat Betawi. Di Sulawesi, tradisi beduk sahur dinamakan "Dengo-dengo." Tradisi serupa di Jawa Barat disebut "Ubrug-ubrug".
Kedua, selain menggunakan beduk, ada kalanya berganti petasan. Pemilihan petasan disebabkan karena efek bunyi yang dihasilkan lebih kuat. Suara petasan yang keras dianggap cukup ampuh membangunkan orang-orang. Bisa jadi orang bangun setelah mengalami keterkejutan.
Ketiga, tidak hanya menggunakan beduk, ada masyarakat yang memilih menggunakan alat musik tradisional seperti gendang, rebana, dan sebagainya. Tidak hanya mengandalkan bunyi instrumen, harmoni nada yang dihasilkan, terkadang begitu menggoda mulut untuk ikut berdendang.
Penggunaan alat musik dan kesenian untuk tujuan serupa juga dikenal di lingkungan masyarakat Indramayu dan Cirebon. Ada tradisi "Obrog" sebagai seni tradisional dengan alat musik dan lirik tertentu.
Dalam rombongan, kelompok ini akan menggunakan beduk atau kentongan. Mereka akan berjalan berkeliling sambil bernyanyi. Seiring perkembangan zaman, pemilihan alat musik modern seperti gitar, suling, hingga kendang, tak terhindarkan.
Berganti teknologi
Seperti yang muncul di berbagai tempat, tradisi membangunkan sahur mulai mengalami perubahan. Salah satu yang paling nyata adalah penggunaan teknologi. Mulai dari kehadiran alat musik modern untuk menggantikan alat musik tradisional, hingga pengeras suara atau "sound system".
Tidak hanya itu, pilihan lagu yang dibawakan pun setali tiga uang. Tidak semata-mata berirama religi dan qasidah, tetapi juga diselingi irama dangdut. Sepertinya yang hendak disasar pertama-tama dan utama adalah sejauh dapat bisa membangunkan orang.
Mungkin karena alasan itulah maka tradisi ini mulai cepat berubah. Bisa jadi di beberapa tempat mulai hilang lantaran tidak ada ikatan kewajiban bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk menjalankannya seperti peran "El Mesaharaty" pada zaman dahulu.
Apalagi tradisi ini mulai dipertanyakan tingakt keefektifan dan kepatutan. Ada pro dan kontra terkait ketertiban umum. Mungkin ada yang merasa tidak nyaman "diganggu" dengan berbagai suara di malam hari.Â
Sejak tahun 2000-an muncul "Sahur On The Road" yakni berbagi makanan sambil menyusuri jalan. Sayanganya, jenis ini mudah berubah wujud menjadi balap liar, konvoi, hingga tawuran. Kemudian  "Sahur On The Road" yang mudah disalahartikan itu harus mendapat perhatian serius dari aparat keamanan.
Ada yang menganggap bangun sahur adalah panggilan masing-masing orang yang menuntut tanggung jawab pribadi. Setiap orang yang berkesadaran patut untuk mengatur dan mengambil cara terbaik agar kewajiban agama itu tidak sampai terlewat.
Ditambah lagi zaman semakin berkembang. Teknologi pun bermunculan silih berganti dengan bentuk yang semakin canggih dari waktu ke waktu. Tidak harus mengandalkan orang lain, juga kontribusi manusia, untuk bangun sahur. Kehadiran sejumlah bentuk "alarm" sudah sangat membantu.
Dengan mengatur jadwal di menu alarm di telepon genggam, maka teknologi itu akan bekerja dengan baik, sejauh daya baterainya tercukupi. Begitu juga dengan menggunakan jam alarm yang hadir dalam berbagai bentuk dan kualitas suara. Bahkan televisi sekalipun, bisa membantu.
Lantas, dengan cara apa Anda dibangunkan untuk sahur? Apakah Anda juga terlibat aktif untuk membantu membangunkan orang lain? Apakah masih terdengar pekik suara manusia dan  dentang instrumen di tengah malam? Atau semua itu sudah berganti seruan dari perangkat teknologi?
Saat ini kita masih bergulat dengan pandemi Covid-19. Segala aktivitas di luar ruangan patut dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan. Bila tidak ada sesuatu yang mendesak, alangkah baiknya tetap di rumah saja. Sekalipun Anda tergerak untuk ikut membantu orang lain, protokol kesehatan dan aspek keselamatan tetap menjadi prioritas.
Akhirnya, apa pun itu sahur adalah wajib. Sementara bagaimana mata Anda dibuat melek agar kewajiban itu tidak sampai alpa, adalah pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H