Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Ramadan dalam Sepiring Jagung Titi

26 April 2021   22:47 Diperbarui: 26 April 2021   23:25 2360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Desa Lamahala Jaya: https://www.facebook.com/Wathan-Lamahala-part2-198835467420872/

Apa menu favorit Anda saat sahur atau berbuka puasa? Apakah pernah terpikirkan untuk tidak harus mengonsumsi nasi sebagai satu-satunya sumber karbohidrat?

Bagi sejumlah penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT), nasi bukan segala-galanya. Alam yang ramah pada berbagai hasil pertanian di beberapa wilayah memungkinkan masyarakatnya bisa menaruh harapan tidak hanya pada beras.

Masyarakat Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor, misalnya, sudah sedemikian akrab dengan jagung. Begitu juga masyarakat dari daerah lain di provinsi kepulauan itu. Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari, dari material yang sama, tidak banyak produk olahan yang tercipta.

Dari bulir-bulir jagung yang dipanen, masyarakat yang dihimpit Laut Flores di utara, Selat Alor di timur, Laut Sawu di selatan, dan Selat Boleng serta Selat Lamakera di Barat, biasanya mengolahnya menjadi jagung titi.


Jagung titi sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setempat. Tidak hanya bagi penduduk di Pulau Flores bagian timur khususnya, tetapi sudah dikenal luas di NTT. Disadari atau tidak, kudapan itu juga ikut melukis kisah di bulan Ramadan.

Kisah dari Lamahala

Tidak bermaksud membuat dikotomi dan membicarakan identitas, hal mana tak akan begitu provokatif untuk konteks NTT, sejumlah wilayah di sana, begitu lekat dengan kehidupan kaum muslim. Provinsi dengan 21 kabupaten dan satu kota madya itu telah menjadi rumah yang nyaman bagi lebih dari 466 ribu pemeluk Islam.

Penyebarannya hampir di semua daerah dengan jumlah beragam. Terbanyak, di Kabupaten Ende, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Manggarai Barat, Kota Kupang, Kabupaten Lembata, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur, dan Sumba Timur.

Di sana soal agama bukan sesuatu yang masih patut dibicarakan, apalagi dipersoalkan. Identitas tersebut sudah melebur dan larut dalam keragaman budaya, bahasa, dan suku bangsa di NTT.

Satu dari sekian banyak pemukiman Islam di NTT bisa ditemukan di Desa Lamahala Jaya, Kecamatan Waiwerang Kota, Kabupaten Flores Timur. Untuk menjangkau tempat tersebut kita harus menggunakan "bus laut" alis kapal penumpang.

Pemandangan Desa Lamahala Jaya: https://www.facebook.com/Wathan-Lamahala-part2-198835467420872/
Pemandangan Desa Lamahala Jaya: https://www.facebook.com/Wathan-Lamahala-part2-198835467420872/

Bisa mengambil pintu gerbang di Larantuka, ibu kota Flores Timur, lantas menikmati biru laut dan debur ombak selama dua jam menuju pelabuhan Waiwerang di Pulau Adonara. Pengalaman hampir sama bisa dinikmati dengan titik berangkat dari Lembata dengan waktu tempuh separuh lebih cepat.

Di Lamahala kita tidak hanya menjadi begitu akrab dengan suara adzan yang berkumandang dari 14 surau dan satu masjid besar bernama Jami Al Maruf. Di tempat dengan jejak sejarah kerajaan Islam di NTT yang masih terpelihara itu, panggilan dari seorang muazin bisa terdengar bergantian dengan suara tumbukan batu bertalu-talu.

Suara tersebut terdengar begitu jelas menjelang adzan shalat subuh, beberapa hari sebelum Ramadan bertandang.  Suara serupa  masih bisa tetap terdengar setelah itu. Dari sejumlah rumah, bunyi sejumlah lempeng batu saling beradu. Menghasilkan bunyi yang tak begitu merdu. Tetapi bagi masyarakat setempat, suara tersebut seperti irama wajib yang memang harus dibunyikan sebagai bentuk kerinduan dan bukti semangat yang tengah bergelora demi nasib banyak orang.

Aktivitas di pagi hari itu akan menghasilkan jagung titi yang akan menemani ratusan penduduk saat berbuka puasa. Tidak semua masyarakat rela mengambil bagian dalam produksi jagung titi. Kerja tradisional yang menuntut kesabaran dan ketekunan segelintir orang.

Bila tidak sedang berpuasa, makanan kecil itu adalah teman setia dalam banyak kesempatan. Mulai dari sarapan pagi, sajian menyambut tamu, hingga bekal perjalanan.

Hal terakhir itu terkadang membuat jagung titi begitu mudah diingat sebagai buah tangan sebab bisa bertahan hingga berbulan-bulan disimpan di wadah yang kering. Disuguhkan kepada para tamun yang bertandang, juga menjadi oleh-oleh yang ringan dibawa ke mana saja.

Bagi masyarakat NTT diaspora dengan cerita tumbuh kembangnya bersama jagung titi, terkadang begitu rindu bisa kembali merasakan sensasi menikmati makanan tersebut.

Cara tradisional

Bagi yang belum pernah melihat wujudnya dari dekat, jagung titi pasti dianggap asing. Namun, secara sederhana, bisa membayangkan emping jagung untuk mengenalinya. Ya, jagung titi atau patei silaita berstektur seperti emping tetapi berbahan baku jagung.

Bila emping yang terbuat dari melinjo akan meninggalkan rasa pahit, tidak demikian dengan jagung titi, meski tidak diakali dengan berbagai bumbu tambahan yang mencolok. Dengan cukup menambahkan sedikit garam membuat rasa gurihnya semakin terasa, berpadu apik dengan rasa manis jagung.

Jagung yang dipilih biasanya berjenis pulut atau kerap disebut jagung ketan. Jenis ini cukup populer dan menjadi andalan dalam sejumlah industri makanan berbasis jagung. Citarasa enak, lebih gurih, lebih pulen dan lembut, membuatnya menjadi primadona. Pamornya nyaris tak pernah ditelan zaman. Berbagai kreasi dan olahan dari jagung pulut itu bermunculan di pasaran.

Jagung titi memang hanya berjodoh dengan jenis ini. Ia tak cocok diambil dari jenis jagung hibdrida yang cenderung keras sehingga gampang hancur saat dipipih.

Jagung titi tidak dengan sendirinya menjadi seperti itu dengan hanya bermodalkan jagung pulut. Selanjutnya harus melewati sejumlah proses produksi. Seperti disebut sebelumnya, alat yang dipakai masih begitu sederhana. Proses pembuatan dan perkakas yang dipakai itu biasanya bagian dari warisan yang diturun-temurunkan dari generasi ke generasi.

Seorang ibu dari Lamahala sedang membuat jagung titi: Antara/Andi Firdaus
Seorang ibu dari Lamahala sedang membuat jagung titi: Antara/Andi Firdaus

Mula-mula biji-biji jagung pulut direndam semalam. Lantas dipanaskan dalam periuk menggunakan kayu bakar hingga setengah matang. Biasanya untuk menyangrai dipakai jenis periuk tanah liat atau tembikar yang ditatahkan di atas tungku batu.

Api pembakaran dari kayu bakar, atau kompor untuk alat yang sedikit lebih modern, perlu diatur sedemikian rupa agar menghasilkan tingkat kematangan yang diinginkan. Jagung itu diaduk sampai rata. Menariknya, terkadang tidak membutuhkan alat tambahan untuk mengaduk atau mengambil biji-biji jagung, tetapi hanya mengandalkan jari-jari tangan yang sudah terbiasa beradu dengan panas.

Selanjutnya, dengan perkiraan sudah setengah matang, dengan batu sebesar kepalan tangan manusia, biji-biji jagung itu digeprek hingga pipih. Untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan batu yang dipakai memiliki permukaan datar.

Di atas permukaan yang rata itu biji-biji jagung dipipihkan dengan batu bulat. Bisa diganti juga dengan wadah ulekan. Urusan menggeprek jagung bukan perkara sederhana. Kekuatan tangan harus diatur agar biji-biji jagung tidak hancur.

Pengganti Nasi, Mengapa Tidak?

Kita pun bisa bertanya. Apakah cukup dengan hanya menikmati jagung titi saat berbuka? Apa yang bisa diandalkan dari camilan itu untuk menopang tubuh selama bulan Ramadan?

Patut diakui, kudapan ini lebih sering dikonsumsi sebagaimana kita memperlakukan kudapan pada umumnya. Tidak sebagai hidangan utama, tetapi sebagai teman untuk menemani segelas kopi atau teh. Namun, kita tidak bisa meremehkan daya jagung titi tersebut.

Bagi masyarakat Lamaholot, suku bangsa terbesar yang mendiami Flores Timur, Lembata, dan Alor Pantar, jagung titi sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Itu adalah pangan lokal yang menghidupkan mereka, baik untuk dikonsumsi atau dijual untuk dinikmati oleh orang lain. Diperlakukan sebagai camilan padat atau dicampur dengan air putih hingga terlihat seperti sereal.

Ternyata, menjadi pengganti nasi sebagai sumber karbohidrat, jagung bisa diandalkan. Kita kadang memilih kentang sebagai substitusi. Tetapi jagung sebenarnya bukan pilihan yang keliru.

Menukil hellosehat.com, jagung dan kentang sama-sama menjadi sumber karbohidrat yang baik. Keduanya memiliki jumlah kandungan nutrisi berbeda. Dalam 100 gram jagung mengandung 366 kalori, 69,1 gram karbohidrat, dan 9,8 gram protein. Sementara 100 gram kentang mengandung 62 kalori, 13,5 gram karbohidrat, dan 2 gram protein.

Dalam ukuran yang sama, kentang tidak mengandung lemak. Sementara jagung mengandung 7,3 gram lemak. Keduanya mengandung serat, sejumlah vitamin dan mineral dalam jumlah berbeda. Jagung mengandung 2,2 gram serat berbanding 0,5 gram serat dalam kentang.

Dari segi nutrisi, jagung mengandung nutrisi yang kaya. Dengan kandungan karbohidrat harian sekitar 28-80 persen, nilai indeks glikemik jagung lebih baik sebagai pengganti nasi. Indeks glimekik mengacu pada ukuran seberapa cepat karbohidrat dicerna.

Sumber: www.slideshare.net
Sumber: www.slideshare.net

Mengacu tabel indeks glikemik dari Havard Medical School, nilai indeks glikemik dari 100 gram jagung adalah sekitar 46. Sementara nilai indeks glikemik dari 100 gram kentang adalah 78. Nilai indeks glikemik jagung juga lebih rendah dari nasi yaitu sekitar 73.

Memang tidak dapat dipungkiri, teknik memasak juga mempengaruhi nilai indeks glikemik. Semakin lama makanan dimasak, semakin tinggi indeks glikemik makanan itu. Tentu semakin tinggi indeks glikemik semakin tidak sehat bagi kesehatan karena semakin memicu lonjakan gula darah (glukosa).

Sumber: www.scribd.com
Sumber: www.scribd.com

Jagung titi yang tidak terlalu manis, tidak pula hambar dimasak sedemikian rupa sehingga tidak terlalu matang. Oleh tangan-tangan terampil diolah sedemikian rupa sehingga tetap menghasilkan tekstur yang renyah dan gurih di mulut.

Bisa jadi karena alasan kedekatan hingga keterampilan unik itu, jagung titi tetap menjadi andalan sejumlah masyarakat NTT hingga hari ini. Tidak hanya sebagai makanan ringan, tetapi menjadi sumber karbohidrat untuk menjalankan kegiatan sehari-hari. Dari sepiring jagung titi, kuliner khas itu, kita pun masih tetap bisa bercerita tentang Ramadan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun