Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Urgensi Literasi Keuangan di Tengah Himpitan Ekonomi dan Gunung Sampah Makanan

18 April 2021   23:09 Diperbarui: 28 Maret 2022   11:40 2353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makanan yang dibuang. (Dok. Shutterstock/nito via kompas.com)

Bicara tentang pengelolaan keuangan selama Ramadan, kita akan menghadapi dua tegangan. Di satu sisi, puasa di tengah pandemi menghadirkan kesulitan berganda. 

Sudah tertimpa masalah kesehatan, kita masih harus berjuang untuk tetap bertahan dari berbagai dampak turunan yang tak terhindarkan. Salah satunya adalah krisis ekonomi.

Di sisi lain, rupa-rupa kesulitan yang dialami menuntut kita untuk bijak mengelola keuangan. Tujuannya, tentu agar setiap kebutuhan bisa tercukupi sesuai skala prioritas. 

Serentak dengan itu menekan pengeluaran pada hal-hal yang kurang esensial, termasuk juga menghindari alokasi berlebihan untuk kebutuhan tertentu.

Sangat disayangkan bila pada akhirnya uang yang sudah digelontorkan tidak termanfaatkan sepenuhnya. Kebutuhan-kebutuhan yang disediakan dalam jumlah berlebihan kemudian menjadi mubazir. Semua itu hanya berakhir menjadi sampah.

Hantaman krisis ekonomi

Betapa terdampaknya ekonomi kita karena hantaman pandemi Covid-19 bisa dilihat pada sejumlah aspek. Industri dengan tingkat partisipasi tertinggi sekaligus tempat paling banyak nasib penduduk Indonesia bergantung yakni UMKM (Usaa Mikro, Kecil, dan Menengah) sungguh merasakan dampaknya.

Indonesia bukan baru pertama kali mengalami krisis ekonomi. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi 1998 dan 2008.

Hanya saja dua krisis tersebut memiliki latar belakang masalah, dampak dan penangan yang berbeda dengan krisis ekonomi yang mengemuka sejak 2020. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani, menukil cnnindonesia.com (30/6/2020) mengatakan krisis 1998 tersebab masalah keuangan di Asia. Sementara masalah keuangan global yang bermula di Amerika Serikat memicu krisis satu dekade kemudian.

UMKM berperan penting bagi perekonomian Indonesia, tak terhindarkan dari terjangan pandemi: industri.kontan.co.id
UMKM berperan penting bagi perekonomian Indonesia, tak terhindarkan dari terjangan pandemi: industri.kontan.co.id


Krisis yang terjadi dalam dua tahun terakhir jelas dipicu oleh pandemi Covid-19. Dampaknya pun berbeda. Bila dua krisis sebelumnya lebih menghantam sisi ekonomi. Sementara krisis yang muncul belakangan ini menerjang ekonomi plus kesehatan masyarakat.

Pandemi Covid-19 menghantam semua sektor dan segala lapisan masyarakat. Dari rumah tangga hingga pelaku usaha tak terkecuali. Tidak hanya ekonomi dan kesehatan yang terdampak, tetapi juga aspek-aspek lain.

Penerapan protokol kesehatan di antaranya dengan membatasi mobilitas dan ruang gerak sosial yang wajib dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 tidak hanya menghadirkan kejutan dalam interaksi sosial tetapi juga menghambat bergulirnya rantai pasok dan roda perekonomian.

Sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), tempat paling banyak para pelaku usaha di Indonesia menggantungkan hidupnya sekaligus menentukan nasib bangsa ini, tak bisa mengelak. Bila pada krisis-krisis sebelumnya sektor ini menjadi batu karang, tidak demikian kali ini.

Dari sekitar 61 juta pelaku UMKM, sebagian besar terkena imbas. Melansir katadata.co.id (26/3/2021), hanya sebagian kecil pelaku UMKM yang mampu menerjang badai pandemi. 

Laporan Bank Indonesia (BI), hanya 12,5 persen UMKM yang mampu berdaptasi sehingga bisa tetap eksis, bahkan beberapa persen dari antaranya bisa mengalami pertumbuhan. Sementara itu, 87,5 persen UMKM tak kuat menahan hantaman pandemi.

Mayoritas UMKM terdampak pandemi: www.jawapos.com
Mayoritas UMKM terdampak pandemi: www.jawapos.com

Bisa dibayangkan berapa banyak orang yang tengah terseok-seok ? Bila satu UMKM terdiri dari 2 orang misalnya, maka lebih dari 122 juta orang terkena hantaman. Lantas, dari jumlah tersebut, kita bisa mereka berapa banyak orang yang hidupnya bergantung pada 122 juta orang itu.

Bagaimana bila ditambah pihak yang terdampak dari usaha besar yang mandek atau rubuh? Bila digabung dengan mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berikut kelompok sektor informal yang paling rentan terkena imbas, maka dampak pandemi yang dirasakan hampir oleh semua kelompok masyarakat bukan sesuatu yang mengada-ada.

Gunung Sampah Makanan

Sebelum pandemi merebak, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara dengan kontribusi sampah makanan terbesar di dunia. Foodsustainablity.eiu.com, menaksir tiap orang di tanah air menghasilkan sampah tak kurang dari 300 kg per tahun.

Indonesia menghasilkan sekitar 13 juta ton sampah makanan, mengacu data Badan Pangan PBB (FAO). Sampah tersebut paling banyak dari retail, katering, dan restoran lantaran penyediaan makanan berlebihan.

Tahun lalu, mengacu data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, total sampah di ibu kota naik hingga 6.900 ton pada minggu pertama Ramadan. Sampah organik dari sisa makanan memang masih mendominasi.

Data tersebut, meski masih perlu dikaji lebih jauh, sedikit banyak menggambarkan sejumlah hal. Pertama, menghantam kewibawaan sekaligus nurani kita. Di tengah kesulitan yang dialami banyak orang, masih ada makanan yang diproduksi hanya untuk dibuang begitu saja.

Jika dikelola dengan baik, sampah makanan itu setara makanan yang bisa dikonsumsi 28 juta orang. Hampir semua penduduk miskin di tanah air bisa tercukupi kebutuhan makanan. Setidaknya bisa membantu asupan gizi untuk menekan kasus stunting dan gizi buruk di tanah air yang masih tinggi.

Sumber: https://tirto.id/
Sumber: https://tirto.id/

Bila dinominalkan, jumlahnya tak main-main, 27 triliun rupiah. Angka sebesar itu sebenarnya bisa dipakai untuk mengatasi berbagai kebutuhan primer dari 9,22 pesen penduduk Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Kedua, situasi miris itu tidak hanya menggambarkan soal ketimpangan, tetapi juga menunjukkan buruknya pola konsumsi masyarakat kita. Sulit menentukan dan membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan sekadar keinginan. Mana yang menjadi prioritas dan mana yang sekadar ikut arus dan tren. Ada masalah dengan budaya, lingkungan, hingga ekonomi.

Metanoia

Tentu ada banyak kunci untuk mengatasi masalah darurat sampah makanan di Indonesia. Tiap penyelesaian tentu mengacu pada akar persoalan, yang terkadang bertali temali dengan soal-soal lain.

Tidak hanya soal edukasi dan literasi tentang makanan, tetapi juga memandang penting bagaimana mengelola keuangan secara bijak.  Urgensi literasi keuangan, mengelola keuangan pribadi secara baik menjadi isu krusial pula. Bila setiap rupiah dikelola secara baik, peruntukan anggaran dipikir matang-matang, maka kita akan terhindar dari penganggaran yang tidak tepat sasaran dan tidak sesuai prioritas kebutuhan.

Untuk itu, Ramadan semestinya menjadi momen refleksi. Masing-masing kita bertanya diri. Apakah selama ini saya sudah ikut berkontribusi pada persoalan di atas? Apakah selama ini saya sudah bisa mengelola keuangan secara tepat?

Bila belum, hemat saya, masih ada waktu untuk berbenah. Bulan puasa ini menjadi saat metanoia, pertobatan. Tidak hanya untuk membina dan memperbaiki hubungan dengan yang Maha Tinggi, tetapi juga dengan sesama dan alam lingkungan.

Pertama, patut diakui selama Ramadan hingga Lebaran, bahkan sejak pandemi merebak, pola konsumsi cenderung berubah. Pada sebagian orang kebutuhan cenderung bertambah. Situasi ini kadang membuat orang jatuh dalam kecemasan dan putus asa, juga sebaliknya menjadi tak terkendali.

Pengelolaan keuangan menjadi centang perenang. Dana darurat bisa saja dipakai begitu saja untuk kebutuhan selama Ramadan. Tanpa berpikir panjang mudah saja memakai tabungan untuk menutupi berbagai kebutuhan.

Untuk itu perlu membuat perencanaan anggaran secara baik. Setiap kebutuhan dipikirkan secara teliti sesuai pendapatan atau pemasukan. Pendapatan dan pengeluaran perlu dicatatat secara rapih agar diketahui alokasi setiap anggaran dan mengetahui kecenderungan penggunaan anggaran.

Singkatnya, melalui pencatatan itu kita bisa melakukan evaluasi. Apakah pengeluaran sejalan dengan perencanaan? Bila pengeluaran sudah berlebihan, maka perlu memangkas pengeluaran pada pos-pos yang tidak terlalu penting.

Dalam penyusunan anggaran ditentukan pula skala prioritas dan sumber dana sesuai peruntukan. Setiap kebutuhan utama memang harus dipenuhi, termasuk juga pos pengeluaran untuk dana sosial seperti zakat dan sumbangan. Walau sulit, memang kita tetap perlu berbagi, bukan?

Kedua, untuk menekan anggaran sejauh dapat diatur strategi pembelanjaan. Misalnya, berbelanja pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari godaan untuk membelanjakan hal yang kurang penting.

Ketiga, membuat menu sahur dan berbuka puasa sendiri adalah pilihan yang cukup beralasan untuk menghemat anggaran. Selain itu, menghindarkan kita dari pembelanjaan makanan yang impulsif. Bila kita sendiri yang memasak maka kita bisa memperkirakan berapa banyak yang harus dibuat sesuai dengan kebutuhan keluarga.

Keempat, sejauh dapat menghindari godaan berhutang. Tidak hanya kepada orang-orang terdekat, tetapi juga pada berbagai sumber, tidak terkecuali pinjaman online. Selain menghindari beban yang harus ditanggung, biasanya pinjaman dari aplikasi tertentu memiliki bunga yang tinggi.

Kelima
, menjaga kestabilan "cash flow." Jangan boros. Hindari membeli barang-barang untuk memenuni keinginan. Lebih baik kelebihan dana disimpan sebagai tabungan atau diinvestasikan.

Selain itu, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih berguna. Banyak yang kesulitan, karena itu berperilaku boros dan takabur di tengah situasi seperti ini sungguh mencederai nilai-nilai luhur yang hendak kita timba dari kemuliaan bulan Ramadan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun