Indonesia menghasilkan sekitar 13 juta ton sampah makanan, mengacu data Badan Pangan PBB (FAO). Sampah tersebut paling banyak dari retail, katering, dan restoran lantaran penyediaan makanan berlebihan.
Tahun lalu, mengacu data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, total sampah di ibu kota naik hingga 6.900 ton pada minggu pertama Ramadan. Sampah organik dari sisa makanan memang masih mendominasi.
Data tersebut, meski masih perlu dikaji lebih jauh, sedikit banyak menggambarkan sejumlah hal. Pertama, menghantam kewibawaan sekaligus nurani kita. Di tengah kesulitan yang dialami banyak orang, masih ada makanan yang diproduksi hanya untuk dibuang begitu saja.
Jika dikelola dengan baik, sampah makanan itu setara makanan yang bisa dikonsumsi 28 juta orang. Hampir semua penduduk miskin di tanah air bisa tercukupi kebutuhan makanan. Setidaknya bisa membantu asupan gizi untuk menekan kasus stunting dan gizi buruk di tanah air yang masih tinggi.
Bila dinominalkan, jumlahnya tak main-main, 27 triliun rupiah. Angka sebesar itu sebenarnya bisa dipakai untuk mengatasi berbagai kebutuhan primer dari 9,22 pesen penduduk Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Kedua, situasi miris itu tidak hanya menggambarkan soal ketimpangan, tetapi juga menunjukkan buruknya pola konsumsi masyarakat kita. Sulit menentukan dan membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan sekadar keinginan. Mana yang menjadi prioritas dan mana yang sekadar ikut arus dan tren. Ada masalah dengan budaya, lingkungan, hingga ekonomi.
Metanoia
Tentu ada banyak kunci untuk mengatasi masalah darurat sampah makanan di Indonesia. Tiap penyelesaian tentu mengacu pada akar persoalan, yang terkadang bertali temali dengan soal-soal lain.
Tidak hanya soal edukasi dan literasi tentang makanan, tetapi juga memandang penting bagaimana mengelola keuangan secara bijak. Â Urgensi literasi keuangan, mengelola keuangan pribadi secara baik menjadi isu krusial pula. Bila setiap rupiah dikelola secara baik, peruntukan anggaran dipikir matang-matang, maka kita akan terhindar dari penganggaran yang tidak tepat sasaran dan tidak sesuai prioritas kebutuhan.
Untuk itu, Ramadan semestinya menjadi momen refleksi. Masing-masing kita bertanya diri. Apakah selama ini saya sudah ikut berkontribusi pada persoalan di atas? Apakah selama ini saya sudah bisa mengelola keuangan secara tepat?