Bagaimana suasana Ramadan di NTT tahun ini? Setelah badai siklon tropis Seroja pamit dengan meninggalkan sejumlah kehancuran, apakah bulan puasa tetap merekah di timur Indonesia itu?
Sebagai panggilan iman dan kewajiban agama, tentu tak seorang pemeluk teguh yang rela mengabaikannya. Sementara itu, tidak ada alasan bagi penganut keyakinan lainnya untuk tidak memberi ruang apresiasi kepada saudara-saudarinya untuk menunaikan kewajiban religius mereka.
Patut diakui, geliat Ramadan di NTT tidak sekentara di Tangerang Selatan misalnya. Alasan demografi menjadi sebab utama. Namun, masyarakat umumnya tidak menutup mata terhadap apa yang sedang dijalani kaum muslim.
Di Kupang, ibu kota provinsi kepulauan itu, tetap terdengar panggilan adzan di kala petang dari sejumlah titik. Â Mesjid yang berada di beberapa lokasi tetap menjadi sentral yang mengumpulkan orang tua dan anak-anak saat jam doa tiba.
Tidak hanya itu. Suasana di beberapa ruas jalan menjadi ramai oleh sejumlah pedagang yang sengaja menjajakan menu untuk berbuka puasa. Mereka membuka tenda untuk menggerai aneka makanan dan minuman.Â
Salah satunya di tepian sepanjang Katedral Kristus Raja Kupang hingga Bank Mandiri yang membentang di Jalan Ir.Soekarno. Beberapa tahun lalu, hampir setiap hari, saya mampir ke tempat itu hanya untuk sekadar mendapat sejumlah bungkus kolak, puding, atau camilan lainnya. Sejak siang para pedagang sudah menjajakan dagangannya, tak peduli seberapa terik matahari di "kota karang" itu.
Suasana di beberapa titik itu hampir selalu ramai. Tidak hanya dikerubungi oleh mereka yang memburu hidangan berbuka puasa, tetapi juga bak durian runtuh alias momen istimewa bagi masyarakat umumnya untuk mendapat sejumlah pilihan makanan kesukaan yang cukup sulit ditemui di luar bulan puasa. Jelas, kesempatan itu tidak akan terlewatkan begitu saja, walau harus sedikit bermanuver di tengah kemacetan lalu lintas dadakan.
Apakah tahun ini ruas-ruas jalan itu masih seramai beberapa tahun lalu? Apakah masih ada penjaja makanan yang berbaris rapih di sisi jalan dengan berbagai jenis makanan dan minuman yang menggugah selera?
Sepertinya cukup sulit untuk mendapatkan kembali suasana seperti itu. Sebuah kerinduan yang harus dipahami dalam suasana sulit seperti ini. Pasca-bencana banjir bandang dan angin kencang yang masih meninggalkan jejak di sana-sini, di satu sisi. Juga kenyataan yang dirasakan di mana-mana bahwa pandemi yang bertandang sejak tahun lalu belum juga pamit. Orang akhirnya harus menyesuaikan diri, mengatur keuangan secara lebih ketat sehingga lebih memilih untuk mengupayakan menu sendiri.
Walau demikian, umat muslim setempat, juga di berbagai daerah lain di NTT, akan tetap menikmati bulan penuh rahmat ini dengan cara mereka sendiri. Bencana berganda itu memang sangat menguras tenaga, waktu, emosi, dan dana. Namun, justru membuat iman dan keyakinan terhadap Sang Maha Penyelenggara semakin tebal.
Jejak langkah Islam di NTT
Memang cukup sulit menemukan studi dan publikasi komprehensif tentang muslim NTT. Salah satu publikasi yang cukup diandalkan adalah Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT yang dieditori Philips Tule, Fredrik Doeka, dan Ahmad Atang . Buku setebal lebih dari 380 halaman itu diterbitkan oleh Penerbit Ledalero tahun 2015.
Patut dicatat, Philipus Tule adalah seorang pastor Katolik cum islamolog dengan bekal pendidikan magister di Pontifical Institute of Arabic and Islamic Studies dan pergaulan luas dengan para tokoh muslim terkemuka di tanah air. Selain itu, ia menjadi salah satu penggerak dialog antar-agama di NTT melalui kerja akademis seperti publikasi dan seminar, juga berbagai aksi nyata. Â
Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat (2003) dan Allah Akbar-Allah Akrab (2003) adalah sejumlah sumbangsih akademis yang keluar dari semangat dialogis doktor antropologi yang kini memimpin salah satu universitas Katolik terbesar di NTT, Universitas Widya Mandira, Kupang.
Sementara itu, Penerbit Ledalero adalah salah satu penerbit besar di Flores khususnya, kepunyaan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Tempat mayoritas calon pastor, suster, hingga mahasiswa "awam"-untuk membedakan dari calon pastor, meraih gelar Sarjana Filsafat, Sarjana Pendidikan Keagamaan Katolik (PKK), dan Magister Teologi (teologi dengan pendekatan kontekstual) yang berada di Maumere, Kabupaten Sikka.
Provinsi dengan 22 daerah tingkat II, dengan 21 kabupaten dan satu kota madya, menjadi ruang bagi hidup dan berkembang lebih dari 466 ribu pemeluk Islam. Angka berdasarkan rilis ntt.kemenag.go.id tahun 2019 itu tentu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Umat muslim tersebar hampir di semua daerah dengan angka bervariasi. Jumlah terbanyak terdapat di Kabupaten Ende, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Manggarai Barat, Kota Kupang, Kabupaten Lembata, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur, dan Sumba Timur. Mereka menyatu dalam keragaman budaya, bahasa, dan suku bangsa di NTT.
Salah satu kontribusi publikasi ilmiah di atas adalah coba merunut jejak langkah islam di NTT. Buku ini coba mengurai lebih panjang berbagai studi minim yang pernah dilakukan secara terbatas dan sambil lalu, serta menjawab beberapa hipotesis terdahulu.
Max Weber dalam kisah perjalannya pernah meninggalkan catatan tentang kehidupan di Dusun Maumbawa, Flores Tengah, tahun 1888-1889. Ia mengatakan para saudagar keliling pernah mensambangi daerah itu. Mereka adalah pelaut dan muslim. Hanya saja, dalam tulisannya itu, para suadagar ini tinggal terpisah dari mayoritas penduduk setempat yang berprofesi sebagai petani.
Sementara itu, Robert Barnes menemukan satu komunitas muslim di Lamakera, Solor yang sudah eksis sejak misionaris Portugis, Pastor Baltazar Diaz SJ berkunjung ke tempat itu pada 1559. Pastor itu mendapati sebuah masjid dan sejumlah orang muslim di Lohayong, Solor.
Studi itu menunjukkan bahwa penyebaran Islam ke NTT terjadi sejak abad ke-16. Studi itu dipublikasikan di dua seri jurnal antropologi dan kebudayaan terkemuka dan bereputasi baik, Anthropos dengan judul  Lamakera, Solor: ethnohistory of a Muslim Whaling Village of Eastern Indonesia (1995) dan Lamakera, Solor: Ethnographic Noteson a Muslim Whaling illage of eastern Indonesia (1996).
Selanjutnya, berkembang beberapa hipotesis tentang cikal bakal kaum muslim di NTT. Pertama, kontak Islam paling awal di Solor dan Timor terjadi dengan Kesultanan Ternate di Utara Maluku pada awal abad ke-16.Â
Kedua, bersumber dari para pedagang muslim dan penguasa dari Makassar dalam rentang waktu yang sama. Ketiga, hubungan dengan kaum muslim dari Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa, NTT. Relasi ini terjadi setelah Sultan Bima menyatakan kedaulatan atas Raja Manggarai sekitar tahun 1785.
Beberapa hipotesis itu kemudian dijawab oleh hasil penelitian yang dipublikasikan di buku tersebut. Ditemukan tiga kategori kelompok etnis di NTT berdasarkan asal-usul dan lokasi.
Pertama, kaum muslim pribumi Lamaholot di Pulau Solor, Adonara, dan Lembata. Disebutkan mayoritas penduduk muslim di daerah itu adalah kaum muslim asli Lamaholot, sisanya orang Kedang. Selain itu ditemukan kaum muslim Lamaholot di Kampung Solor di Kupang dan di Kalabahi, Alor.
Kedua, muslim pribumi Ende di Pulau Ende, Kabupaten Ende, serta di Peisir Pulau Flores. Mereka ini berelasi kuat dengan kaum muslim lain di Kabupaten Sikka, pantai selatan Kabupaten Nagekeo, dan pantai selatan Kabupaten Manggarai.
Ketiga, kaum muslim dari Arab, Jawa, Sumatra (Padang), Bajo dan Bima, serta Sulawesi Selatan (Bugis, Buton, dan Makassar). Mereka adalah pelaut, nelayan, dan pedagang yang bertandang ke NTT sekitar awal abad ke-17. Mereka tersebar di wilayah pesisir Manggarai, Ngada, dan Nagekeo, di pantai utara Kabupaten Ende, pantai utara Kabupaten Sikka, serta di Kalabahi (Kabupaten Alor), Kupang, dan Pulau Rote.
Nusa Tetap Toleran
Dari berbagai studi yang dilakukan, kemudian bisa kita konfrontasikan dengan kenyataan saat ini, mengemuka sejumlah kenyataan.
Pertama, relasi kaum Muslim dan para pemeluk lainnya selalu terjalin harmonis. Kehidupan yang rukun dan damai selalu terjaga dari waktu ke waktu. Hampir tak pernah terdengar adanya gesekan antarapemeluk agama di NTT. Bahkan hubungan tersebut menjadi semakin erat diikat tali kekerabatan, persaudaraan, dan kawin-mawin.
Kedua, hubungan yang demikian harmonis memungkinkan ditemukannya beberapa kenyataan yang terasa janggal dan masih menjadi perdebatan di tempat lain, tetapi hampir lumrah di NTT. Saling mengunjungi dan mengundang saat momen kelahiran, perkawinan, kematian, khitanan, hingga pembangunan rumah ibadah baik gereja maupun masjid adalah hal yang biasa.Â
Begitu juga saat bencana alam datang bertandang beberapa waktu lalu, simpati, empati, dan solidaritas seperti mesin yang sudah dengan sendirinya bergerak otomatis. Kolaborasi apik itu tidak hanya tersambung dengan dunia di luar NTT, tetapi juga mengemuka di kalangan warga setempat. Â Tanpa melihat latar bekalang, sokongan moril, waktu, hingga material didermakan tanpa banyak perhitungan.
Namun, apakah biasa seorang anak dari tengah keluarga muslim ditahbiskan menjadi pastor katolik? Apakah seorang dari kelompok minoritas bisa terpilih secara demokratis kemudian mendapat pengakuan luas  untuk menjadi kepala desa, anggota DPR, hingga bupati?
Di NTT hal-hal seperti itu bukan sebuah anomali. Gambaran kasat mata kerukunan yang tetap terpelihara dari tahun ke tahun, dari edisi ramadan yang satu dan yang akan selalu datang, di sebuah provinsi yang layak kita sebut Nusa Tetap Toleran.
Selamat menjalani ibadah puasa saudara-saudariku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H