Kedua, hubungan yang demikian harmonis memungkinkan ditemukannya beberapa kenyataan yang terasa janggal dan masih menjadi perdebatan di tempat lain, tetapi hampir lumrah di NTT. Saling mengunjungi dan mengundang saat momen kelahiran, perkawinan, kematian, khitanan, hingga pembangunan rumah ibadah baik gereja maupun masjid adalah hal yang biasa.Â
Begitu juga saat bencana alam datang bertandang beberapa waktu lalu, simpati, empati, dan solidaritas seperti mesin yang sudah dengan sendirinya bergerak otomatis. Kolaborasi apik itu tidak hanya tersambung dengan dunia di luar NTT, tetapi juga mengemuka di kalangan warga setempat. Â Tanpa melihat latar bekalang, sokongan moril, waktu, hingga material didermakan tanpa banyak perhitungan.
Namun, apakah biasa seorang anak dari tengah keluarga muslim ditahbiskan menjadi pastor katolik? Apakah seorang dari kelompok minoritas bisa terpilih secara demokratis kemudian mendapat pengakuan luas  untuk menjadi kepala desa, anggota DPR, hingga bupati?
Di NTT hal-hal seperti itu bukan sebuah anomali. Gambaran kasat mata kerukunan yang tetap terpelihara dari tahun ke tahun, dari edisi ramadan yang satu dan yang akan selalu datang, di sebuah provinsi yang layak kita sebut Nusa Tetap Toleran.
Selamat menjalani ibadah puasa saudara-saudariku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H