Secara metaforis, Umbu tidak ingin dikenal sebagai "pohon" besar yang gagah perkasa. Ia juga tak ingin disebut-sebut karena jasanya menaungi banyak penyair. Ia justru memilih menjadi "pupuk" yang mengorbankan diri untuk memberikan kehidupan banyak penyair.
Bagi Umbu, seperti penuturan Cak Nun, puisi dan kehidupan adalah satu. Kehidupan adalah puisi. Puisi yang mengandung keindahan, untuk menyeimbangkan kebenaran dan kebaikan. Rasa yang mesti menemani akal budi agar hidup terhindar dari konflik, pertentangan, permusuhan, dan perang.
"Umbu adalah manusia hati, bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana orang-orang sekolahan di abad ini," demikian Cak Nun.
Terlepas seperti apa mereka ingin disebut dan bagaimana menyebut mereka secara pas, yang pasti, kini, kita akan mengenang mereka dari setiap perjumpaan, pemikiran dan hasil karya.Â
Dedikasi dan ketekunan mereka merawat martabat panggilan hingga ajal menjemput adalah peninggalan berharga yang sepatutnya ditiru.Â
Daniel di halaman pertama magnum opus, Menerjang Badai Kekuasaan menulis demikian.  Vita brevis Dignitas Longa. Hidup manusia pendek, namun martabat panjang usianya.Â
Ya, martabat yang sudah kalian perjuangkan sekuat-kuatnya dan sehormat-hormatnya itu niscaya abadi. Selamat jalan para maestro!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H