Oleh banyak orang, ia dianggap penjasa. Para "guru" sastrawan menyebutnya guru. Tidak hanya karena dedikasinya yang total di bidang itu, tetapi juga perjuangannya membidani kelahiran sastrawan-sastrawan besar yang kemudian ikut memperkaya kazanah dan menjaga harum sastra Indonesia tetap tercium dari waktu ke waktu.Â
Umbu, atas dedikasinya, diganjari penghargaan dari Festival Bali Jani 2020. Setahun sebelum itu, bersama arsitek Yori Antar, Umbu mendapat Penghargaan Akademi Jakarta di bidang humaniora.
Terobos-Anomali
Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan Umbu dan Daniel. Tidak juga mencoba mencari-cari kesamaan, atau perbedaan masing-masing. Keduanya sudah menjadi besar di jalan masing-masing.
Ada sejumlah hal yang tidak bisa tidak ditemukan pada dua orang ini secara sama, walau dalam kadar berbeda.
Pertama, Umbu dan Daniel adalah dua tokoh besar. Yang satu adalah intelektual akademik, sementara satunya lagi, tidak bisa tidak disebut intelektual, hanya tempat penziarahannya di komunitas sastra.
Keduanya, sama-sama menelurkan buah pikir yang dalam, kritis, reflektif, bahkan berani menantang kemapanan, dalam bentuk beragam. Yang satu dalam bentuk esai politik dan tulisan ilmiah. Satunya lagi berupa esai sastra dan puisi.Â
Namun, ada satu hal yang tak bisa ditampik. Mereka tidak hanya bersuara melalui pena dan kertas, tetapi juga terlibat aktif di medan praksis. Ada yang pernah menjadi aktivis. Ada juga sebagai penggerak di tingkat komunitas.
Membaca tulisan-tulisan Daniel, kita akan menemukan kedalaman dan ketajaman. Tinjauan dan analisis tentang kehidupan politik misalnya, begitu bernas dan lugas. Ia pun tidak segan-segan mengkritik setiap praktik yang dianggapnya keliru.
Iqbal Basyari dalam tulisannya "Daniel Dhakidae, Intelektual Publik Itu Telah Berpulang" di kompas.id (6/4/2021), mengutip pandangan Ian Wilson, Pengajar di Murdoch University, Australia, meyebut Daniel sebagai pelopor berpikir kritis pada zaman Orde Baru.