Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Paskah, Joko Pinurbo, dan Celana Ibu

3 April 2021   16:24 Diperbarui: 4 April 2021   07:31 2511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu karya terbesar Michelangelo, patung Pieta. Memperlihatkan Maria memangku Yesus setelah penyaliban (eden-saga.com)

Ada banyak cara kita mengungkapkan iman. Tak terkira bentuk refleksi teologis yang bisa digambarkan. Tidak hanya melulu terpaku pada Kitab Suci dan terpukau mati pada buku-buku rohani. Karya sastra bisa menjadi salah satu medium alternatif. Melalui puisi misalnya, kita bisa berkata-kata tentang apa yang menjadi kekaguman, kegembiraan, pun kegelisahan spiritual.

Memang pada akhirnya akan muncul berbagai pertanyaan. Apakah yang tertulis pada puisi itu sejalan dengan Kitab Suci? Apakah pengungkapan sastrawi itu tidak berbelok arah dari ajaran resmi keagamaan? Lantas, apakah nanti bakal diterima dan dipahami baik oleh penganut lainnya dan tidak membuat otoritas agama panik?

Bertepatan dengan momen perayaan Paskah, salah satu hari besar agama Kristen, saya teringat satu puisi Joko Pinurbo. Judulnya, Celana Ibu (2004).

Ini bukan puisi yang baru ditulis. Sejak ia menelurkannya, sajak itu sudah menjadi buah bibir. Bahkan sering diulang-ulang kemudian saat Paskah menjelang. Seperti yang dimaksudkan Jokpin, puisi itu memang menjadi refleksi tentang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus. Sebagai seorang Kristen, Jokpin mencoba untuk menggambarkan penghayatannya tentang peristiwa iman itu.

Memang, Jokpin bukan penyair pertama, dan Celana Ibu bukan satu-satunya puisi bertema agama umumnya, dan Katolik khususnya. Juga bukan puisi semata wayang tentang Paskah.

Chairil Anwar misalnya, sudah menulis ISA bertanggal 12/11/1943. Seperti keterangan "kepada Nasrani sedjati," puisi itu coba menggambarkan penderitaan Yesus melewati "via dolorosa" atau jalan penderitaan.

...

Itoe Toeboeh

mengoetjoer darah

mengoetjoer darah

Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan:

...

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

(Aku Ini Binatang Jalang, Gramedia Pustaka Utama -- 1996)

Kita bisa mengurut dan mendaftar puisi bertema religius. Namun pada bagian ini, baiklah kita membatasi diri pada Jokpin dan Celana Ibu.

Jokpin sudah berterus terang mengungkap maksud dan tujuan penulisan "Celana Ibu". Kita bisa memutarnya kembali di kanal Youtube Yayat MF ini. Beberapa pokok pikiran dan refleksi iman sang penulis bisa kita garisbawahi lagi.

Pertama, penyair kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 itu menegaskan, puisi itu ditulis dengan penuh kesungguhan. Tidak ada maksud bercanda, apalagi melecehkan.

Hal ini memang penting ditegaskan karena penerimaan publik pembaca atas puisi itu beragam. Ada yang menanggapinya dengan tenang dan jernih. Juga sebaliknya. Reaktif dan bergelora. Menganggap karya tersebut sekadar sebagai humor yang merendahkan dan melecehkan.

Kedua, Jokpin mengakui puisi itu adalah bentuk refleksi jujurnya atas peristiwa iman itu. Ia menggambarkan dengan jelas bagaimana Maria sangat sedih/menyaksikan anaknya/mati di kayu salib tanpa celana/.

Kesedihan itu seakan bertambah karena putra-Nya itu meregang nyawa di palang penghinaan dalam kondisi sangat mengenaskan. Selain "tanpa celana", juga hanya berbalutkan sobekan jubah/ yang berlumuran darah.

Selanjutnya, sebagai ibu yang baik, Maria tidak tinggal diam. Maria tahu apa yang akan terjadi dengan anaknya itu. Sebelum itu terjadi, ia ingin berbuat sesuatu.

Ketika tiga hari kemudian 

Yesus bangkit dari mati, 

pagi-pagi sekali Maria datang 

ke kubur anaknya itu, 

Maria datang membawa celana yang dijahitnya sendiri/dan meminta Yesus mencobanya.

Bait berikutnya, tersaji percakapaan antara ibu dan anak. Maria dan Yesus bertukar kesan tentang celana baru itu. Maria ingin memastikan seperti apa perasaan anaknya saat mengenakan celana itu. Apakah ukurannya tepat, tidak kebesaran atau kekecilan.

"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.

Jokpin menutup puisinya dengan akhir yang indah. Kebangkitan Yesus tak disangkal. Pemenuhan panggilan Yesus sebagai manusia serentak Putra Allah berpelukan dengan kepuasan Maria.

Kenaikan ke surga sebagai bentuk kemenangan atas maut dan dosa, serentak sebuah peristiwa yang patut dirayakan dengan sukacita. Seperti seorang anak yang bahagia mendapat perhatian dan pemberian dari wanita yang dicintainya,

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

Ketiga, menurut hemat saya, tidak ada yang keliru secara fundamental dari puisi di atas. Jokpin menggambarkan kronologi dan potongan peristiwa yang terjadi dengan Yesus dan Maria seperti tertuang dalam Kitab Suci dan diterangkan dalam berbagai ajaran dan dogma gereja. Yesus disalib. Maria bersedih. Tiga hari berselang, Yesus bangkit.

Hanya saja, polemik penafsiran tetap saja membuncah. Apalagi ada bagian dan kata-kata yang cukup mengundang tanya. Pada bait ketiga misalnya, saat Yesus dan Maria bertukar jawab dengan kata paskah.

"Paskah?" tanya Maria.

"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.

Apakah Jokpin memang sengaja mempermainkan bunyi dan makna paskah? Apakah paskah itu dimaksudkan sebagai pertanyaan ukuran celana "pas atau tidak" sehingga seharusnya ditulis "pas, kah?" Atau memang persis seperti tertulis itu: paskah sebagai satu kata sehingga menyatu dengan konteks peristiwa iman yang menjadi inti puisi itu?

Hal lain yang tak kalah penting adalah "celana" berikut jalinannya dengan kisah Yesus dan Maria. Mengapa Jokpin harus memakai kata "celana", bukan cawat, jubah atau jenis pakaian yang lebih lazim untuk situasi saat itu seperti yang tersurat di KS?

Mengapa harus Maria yang berada dekat di saat-saat kebangkitan Yesus? Bahkan ada kesan, untuk bangkit ke surga, Yesus masih harus menunggu Maria dan celana itu.

Celana dan bagian-bagian tertentu yang tertulis bisa kita baca secara metaforis. Tidak semua kata-kata itu menghadirkan makna eksplisit. Kita bisa memahami yang berada di balik yang tertulis itu. Patut diingat, bagaimanapun ini tetap karya sastra yang tak lepas dari metafora yang mengundang tafsir.

Maria dan celana itu tidak harus kita pahami secara harafiah. Itu bisa dibaca sebagai bentuk kedekatan antara seorang ibu dan anak. Di saat-saat penting seperti itu kehadiran seorang ibu terasa begitu berarti. Seorang ibu pun tidak bisa dipisahkan atau dilepaskan begitu saja dari peristiwa iman sebesar itu.

Jokpin sudah memaksudkan puisi ini sebagai sebentuk refleksi kritis atas iman yang dipeluknya. Ia ingin memberi tempat yang layak kepada sosok Maria. Ia tahu, pengalaman, refleksi, hingga tafsirannya atas ajaran teologis lebih mengedepankan konsep Tuhan sebagai seorang bapak atau ayah.

"Bagaimana melihat Tuhan dari sisi yang lain, sisi keibuan? Hingga dia itu tidak hanya Allah Bapa, tapi juga Allah Ibu."

Keempat, Jokpin sadar konsep yang diangkat dari puisi itu bersebelahan dengan arus utama. Namun, refleksi kritis seperti itu bukan hal baru. Dalam tradisi Kekristenan kritik terhadap kesan maskulinitas dan budaya patriarki terus berlanjut hingga hari ini. Dan sejauh ini belum ada jalan tengah yang memuaskan semua pihak. Walau begitu, refleksi-refleksi kritis itu tidak sampai membuat gereja runtuh berkeping-keping. Jokpin pun, seperti yang ia utarakan, tidak juga mendapat sanksi dari pemuka gereja.

Justru, seperti langkah yang ditempuh Jokpin, ini tidak hanya sebagai bentuk refleksinya terhadap peristiwa Paskah, tetapi ia juga mengajak setiap orang untuk ikut ambil bagian dalam menghayati peristiwa itu secara khas.

Jokpin mengajak setiap orang untuk menghadap Tuhan dengan dan dari beragam sudut pandang. Tuhan itu bukanlah sosok yang hanya bisa dilihat dengan teropong tunggal. Ia adalah Tuhan yang bisa dihayati dan dimaknai dengan segala kebesaran dan keperkasaan, sekaligus kelembutan dan kehangatan, oleh setiap pengikut-Nya, tanpa terkecuali.

"Jadi ingin memperkaya penghayatan orang mengenai Tuhan. Bahwa Tuhan itu betul-betul multidimensi. Dia bisa kita hadapi sebagai seorang ayah, tetapi kita juga bisa berjumpa dengan Tuhan sebagaimana kita berjumpa dengan seorang ibu."

Kelima, patut diakui tidak semua orang bisa mencapai suatu kedalaman refleksi iman tertentu. Begitu juga, tidak semua hasil permenungan harus selalu mewujud puisi atau karya sasta. Tetap patut diakui, karya sastra menjadi satu wadah pengungkapan yang kaya dengan metafor-metafor yang segar, akrab, dan bisa memberikan perspektif lain untuk memperkaya refleksi iman.

Meski tidak lepas dari perdebatan, umat Kristen mestinya tetap patut mengapresiasi para penyair atau siapa saja yang dengan cara kreatif, alternatif tapi lugas membantu kita mendapatkan buah refleksi yang segar.

Mereka mengajarkan kita untuk senantiasa merenung dan terus mendalami ajaran iman. Persis seperti diingatkan filsuf Yunani Antik, Sokrates. Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak dijalani.

Jangan sampai kita hanya menjadi robot yang membaca apa yang tertulis sebagai tetap tertulis. Jangan sampai pula kita hanya menjadi mesin tanpa daya kritis, analitis, dan reflektif di hadapan setiap kata-kata yang terlanjur kita anggap sebagai ayat sakti.

Akhirnya, selamat merayakan pesta Paskah. Peristiwa kebangkitan Kristus. Kemenangan-Nya atas maut, serentak membeaskan kita dari segala dosa.

Sekiranya Paskah juga memerdekakan kita dari berbagai ikatan belenggu keagamaan yang membutakan mata, mengatupkan telinga, mengelukan mulut, dan mengunci tangan serta kaki untuk melihat, mendengar, berbicara, dan bergerak di atas nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada siapa saja tanpa melihat dari mana asal dan latar belakangnya.

Sudah banyak contoh ajaran agama disebut-sebut dan diseret-seret dalam berbagai aksi tak terpuji dan berperikemanusiaan. Bila sampai itu masih terjadi, pas kah kita merayakan paskah hari ini? Pas kah kita menyebut diri ber-Tuhan yang Maharahim, Mahamurah, dan Mahakasih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun