Justru, seperti langkah yang ditempuh Jokpin, ini tidak hanya sebagai bentuk refleksinya terhadap peristiwa Paskah, tetapi ia juga mengajak setiap orang untuk ikut ambil bagian dalam menghayati peristiwa itu secara khas.
Jokpin mengajak setiap orang untuk menghadap Tuhan dengan dan dari beragam sudut pandang. Tuhan itu bukanlah sosok yang hanya bisa dilihat dengan teropong tunggal. Ia adalah Tuhan yang bisa dihayati dan dimaknai dengan segala kebesaran dan keperkasaan, sekaligus kelembutan dan kehangatan, oleh setiap pengikut-Nya, tanpa terkecuali.
"Jadi ingin memperkaya penghayatan orang mengenai Tuhan. Bahwa Tuhan itu betul-betul multidimensi. Dia bisa kita hadapi sebagai seorang ayah, tetapi kita juga bisa berjumpa dengan Tuhan sebagaimana kita berjumpa dengan seorang ibu."
Kelima, patut diakui tidak semua orang bisa mencapai suatu kedalaman refleksi iman tertentu. Begitu juga, tidak semua hasil permenungan harus selalu mewujud puisi atau karya sasta. Tetap patut diakui, karya sastra menjadi satu wadah pengungkapan yang kaya dengan metafor-metafor yang segar, akrab, dan bisa memberikan perspektif lain untuk memperkaya refleksi iman.
Meski tidak lepas dari perdebatan, umat Kristen mestinya tetap patut mengapresiasi para penyair atau siapa saja yang dengan cara kreatif, alternatif tapi lugas membantu kita mendapatkan buah refleksi yang segar.
Mereka mengajarkan kita untuk senantiasa merenung dan terus mendalami ajaran iman. Persis seperti diingatkan filsuf Yunani Antik, Sokrates. Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak dijalani.
Jangan sampai kita hanya menjadi robot yang membaca apa yang tertulis sebagai tetap tertulis. Jangan sampai pula kita hanya menjadi mesin tanpa daya kritis, analitis, dan reflektif di hadapan setiap kata-kata yang terlanjur kita anggap sebagai ayat sakti.
Akhirnya, selamat merayakan pesta Paskah. Peristiwa kebangkitan Kristus. Kemenangan-Nya atas maut, serentak membeaskan kita dari segala dosa.
Sekiranya Paskah juga memerdekakan kita dari berbagai ikatan belenggu keagamaan yang membutakan mata, mengatupkan telinga, mengelukan mulut, dan mengunci tangan serta kaki untuk melihat, mendengar, berbicara, dan bergerak di atas nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada siapa saja tanpa melihat dari mana asal dan latar belakangnya.
Sudah banyak contoh ajaran agama disebut-sebut dan diseret-seret dalam berbagai aksi tak terpuji dan berperikemanusiaan. Bila sampai itu masih terjadi, pas kah kita merayakan paskah hari ini? Pas kah kita menyebut diri ber-Tuhan yang Maharahim, Mahamurah, dan Mahakasih?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI