"Perdamaian tidak menuntut pemenang atau pecundang, melainkan saudara dan saudari yang, untuk semua kesalahpahaman dan rasa sakit di masa lalu, sedang melakukan perjalanan dari konflik menuju persatuan."
(Paus Fransiskus)
Saat dunia sedang berjuang memerangi pandemi Covid-19 dengan berbagai cara mulai dari vaksin, penerapan protokol kesehatan secara ketat dan membatasi mobilitas fisik terutama kelompok-kelompok rentan seperti kaum lanjut usia, Paus Fransiskus justru melakukan perjalanan ke Irak.
Pemimpin tertinggi umat Katolik sejagad itu sudah berada di Timur Tengah sejak Jumat (5/3/2021). Agenda padat mengisi empat hari kunjungannya. Pertemuan dengan para ulama, para pejabat pemerintah, mengunjungi sejumlah gereja dan tak sedikit dari antaranya hanya tersisa puing-puing, memimpin kebaktian di lebih dari enam gereja, dan mendatangi tempat-tempat di mana umat Kristiani mengalami tantangan yang hebat oleh kekejaman ISIS.
Selain melakukan perjalanan jauh di tengah pandemi yang sangat membahayakan kesehatan, paus 84 tahun itu juga memilih Irak yang belum benar-benar aman baik dari sisi kesehatan maupun keamanan. Irak sedang bertarung dengan gelombang kedua Covid-19 dengan lebih dari 5 ribu kasus baru dalam sehari. Selain itu, kematian akibat serangan roket masih saja terjadi.
Pertanyaan besar pun mengemuka. Mengapa paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio memutuskan untuk tetap terbang ke Irak? Mengapa ia tidak berdiam diri saja di Vatikan seperti yang sudah dilakukannya sejak virus Covid-19 mulai menerjang dunia setahun silam? Mengapa ia merasa perlu ke Irak bahkan untuk jangka waktu yang tidak dibilang singkat untuk sebuah kunjungan kepausan?
Vaksin yang sudah disuntik ke tubuhnya jelas tak menggaransi kesehatannya untuk tak terpapar Covid-19 saat bertemua banyak orang. Irak baru menerima dosis pertama sepekan sebelumnya. Jelas belum ada jaminan sudah terjadi kekebalan kelompok di sana.
Begitu juga lingkungan Irak yang masih akrab dengan bau mesiu akan menempatkan nyawanya dalam bahaya. Sejak serangan AS pada 2003, berlanjut dengan kemunculan ISIS mendekati satu dekade terakhir, Irak tentu belum menjadi sebuah medan yang aman. Para pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus pun harus mengurungkan niat ke Irak.
Apalagi Paus Fransiskus datang tidak sebagai pribadi. Ia bukan orang biasa. Ada otoritas, simbol dan identitas tertentu yang melekat padanya. Sebagai pemimpin agama yang jumlahnya sangat minim di Irak, kehadirannya tidak akan sarat seremoni penuh euforia. Tetapi akan diwarnai oleh kecemasan, kewaspadaan, ketakutan dan bahkan kecurigaan dan penolakan.
Kekuatan Cinta
Paus tentu tidak datang untuk menuai sambutan dan penghormatan. Harga perjalanan penuh risiko ini terlalu murah untuk dibayar oleh histeria semata. Justru ia datang untuk menjalankan sejumlah misi mulia tidak hanya untuk umat Kristen setempat, tetapi lebih dari itu untuk harmoni lintas batas agama, kepercayaan, dan kepentingan politik.
Pertama, mayoritas penduduk Irak beragama Islam. Namun demikian salah satu komunitas Kristen tertua di dunia ada di tempat yang dulu dikenal dengan Mesopotamia. Jumlahnya tentu tak banyak, malah terus menyusut.
Menukil BBC.com (7/3/2021), dalam dua dekade terakhir anggota komunitas Kristen berkurang drastis dari 1,4 juta menjadi sekitar 250 ribu orang. Dibanding pemeluk agama lain, persentasenya tak lebih dari 1 persen.
Tentu ada banyak faktor dan alasan di balik pengurangan jumlah pemeluk itu. Tidak sedikit yang melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari kekerasan yang sudah akrab dengan negara itu sejak invasi AS untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Belum lagi, penderitaan yang dialami saat ISIS mulai menyerbu Irak Utara pada 2014. Tidak hanya nyawa yang menjadi korban. Gedung-gedung gereja bersejarah pun ikut terkena imbas. Harta benda raib dijarah. Di hadapan puing-puing kehancuran, mereka diberikan pilihan dilematis nan pelik: membayar pajak, berpindah agama, melarikan diri, atau memilih menjadi martir.
Menurut departemen luar negeri AS, sebagian besar populasi komunitas Kristen saat ini, sekitar 200 ribu orang, menempati Dataran Niniwe dan Wilayah Kurdistan di utara negara itu.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar, sekitar 67 persen, adalah pemeluk Katolik Khaldea. Kelompok ini menjalankan liturgi dan tradisi sendiri, namun tetap mengakui otoritas paus di Roma. Sebanyak 20 persen lainnya merupakan anggota Gereja Timur Asiria yang diyakini sebagai yang tertua di Irak.
Sisanya adalah Ortodoks Suriah, Katolik Suriah, Katolik Armenia, Apostolik Armenia, Anglikan, Injili, dan denominasi Protestan lainnya.
Dalam situasi seperti ini kehadiran Paus sangat penting. Kedatangannya untuk memberikan kekuatan. Spiritualitas kehadiran justru terasa maknanya dalam situasi-situasi krisis seperti ini. Itulah yang dibuat Sri Paus melalui kehadiran, kunjungan, pertemuan, dan seruan-seruan langsung dari dan di tempat itu.
Saat merayakan liturgi bersama umat Katolik Khaldea di Katedral Santo Yosep di Baghdad pada Sabtu (6/3/2021), Paus memberikan sejumlah pesan. Dalam homili, melansir vaticannews.va, Paus Fransiskus merevitalisasi semangat menjadi pengikut Tuhan.
Dalam situasi seperti ini tetap penting untuk bersaksi tentang cinta. Ucapan Bahagia Yesus (Bdk Mat. 5:2-12) tetap aktual dan menjadi pedoman yang masih relevan untuk dipegang dan dihayati.
Petikan nas Kitab Suci tentang Sabda Bahagia mengatakan bahwa setiap orang yang miskin, berdukacita, lemah lembut, serta lapar dan haus akan kebenaran adalah yang empunya Kerajaan Sorga, akan dihibur, dan akan dipuaskan.
Mereka yang murah hati akan beroleh kemurahan. Yang suci hati akan melihat Allah. Sementara itu yang membawa damai akan disebut anak-anak Allah. Yang dianiaya karena kebenaran akan mendapatkan Kerajaan Surga.
Kedua, di hari ketiga, Paus Fransiskus mengunjungi beberapa bagian Irak Utara yang pernah dikuasai militan ISIS. Sejak serbuan ISIS pada 2014, gereja-gereja bersejarah di tempat itu dihancurkan. Terjadi pula penjarahan atas sejumlah aset penting. Hidup umat Kristen di sana pun terjepit.
Mereka baru bisa kembali ke sana dan mulai menata kembali hidupnya sejak ISIS dikalahkan pada 2017. Di tempat itu, Paus merayakan misa di sebuah stadion sepal bola di Kota Irbil. Sekitar 10 ribu orang diperkirakan ambil bagian.
Paus juga mengunjungi Mosul yang pernah menjadi benteng ISIS selama tiga tahun. Ia berdoa di Church Square untuk para korban perang. Gereja terbesar di Irak yang sebagian dihancurkan ISIS di dekat Qaraqosh juga tak luput dari lawatannya.
Kunjungan Paus Fransiskus ke sejumlah tempat itu menunjukkan keteladannya untuk mewujudkan inti dari Sabda Bahagia. Seperti dikatakannya di Baghdad, saripati dari Sabda Bahagia itu adalah kasih.
Cinta terbukti lebih kuat dari dosa. Cinta mampu mengatasi segalanya. Cinta ini tidak akan pernah berakhir meski terus menerus didera oleh berbagai penderitaan.
"Kasih tidak pernah berakhir. Sementara kekuatan, kemuliaan dan kesombongan dunia akan lenyap," ungkap Paus sambil meminta umat setempat untuk tetap menjadi saksi dengan hidup lemah lembut dan menunjukkan belas kasih.
Pertemuan Bersejarah
Ketiga, sejak mendarat di Bandara Internasional Baghdad, Paus Fransiskus mendapat sambutan dan pelayanan yang tak kalah istimewa dari pemerintah Irak. Negara republik itu memberikan perhatian yang tak kurang istimewa seperti yang diberikan kepada orang-orang penting lainnya.
Perdana Menteri Irak Mustafa Al Kadhemi menyambut kedatangan Paus Fransiskus di bandara. Sebanyak 10 ribu personel Pasukan Keamanan Irak dikerahkan untuk melindungi Paus selama berada di negara itu.
Paus Fransiskus pun bertemu dengan sejumlah ulama, termasuk menyambangi kediaman Ayatollah Sayyid Ali Al-Husayni Al-Sistani di kota suci Najaf. Tokoh spiritual berusia 90 tahun itu terlihat menyambut Paus Fransiskus dengan hangat. Mereka menghabiskan waktu 50 menit tanpa masker wajah.
Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot yang mendampingi Paus Fransiskus untuk semua acara perjalanan apostolik di Irak mengkonfirmasi kesan tersebut. Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama berbinar-binar saat bersaksi dalam wawancara singkat dengan Vatican News.
Kardinal Miguel mengatakan dirinya bisa menangkap dengan jelas keramahan yang luar biasa dari sang ulama besar Syiah itu. Membuka pintu rumahnya untuk Paus lantas terlibat percakapan menunjukkan menunjukkan banyak hal.
Tidak hanya berbagi perspektif yang hanya dipahami keduanya dan orang-orang terdekat, pertemuan itu memberikan pesan luas tentang pentingnya persabahatan, saling menghormati dan membangun dialog lintasagama, etnis, dan budaya.
Sambutan hangat pemerintah, pertemuan lintas agama dan kunjungan bersejarah pada ulama besar tentu memberikan banyak pesan. Kehadiran Paus Fransiskus pun ingin menunjukkan bahwa perdamaian bukan sesuatu yang mustahil.
Membangun hidup bersama dalam persaudaraan dan perdamaian bukanlah kerja sia-sia. Bukan hanya antara "menara kubah dan lonceng gereja," seperti tulisan di salah satu spanduk di Najaf, tetapi untuk semua makhluk dan golongan di muka bumi.Â
Harapan dari Eufrat danTigris
Keempat, ikhtiar perdamaian yang ditampilkan dari perjalanan internasional Paus itu kembali ditegaskan saat mengunjungi dan terlibat dialog antaragama di situs kota kuno Ur. Di situ diyakini sebagai tempat kelahiran Nabi Ibrahim yang dihormati dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Di tempat itu, Paus berkata, "Kami umat beriman tidak bisa diam ketika terorisme menyalahgunakan agama ... jangan biarkan cahaya surga dibayangi oleh awan kebencian."
Apa yang dikatakan Paus Fransiskus dari tempat suci itu seperti gaung yang menembus ke berbagai penjuru mata angin, merangsek ke setiap sudut bumi di mana ketiga agama besar itu dihayati.
Seruan itu tidak hanya bermakna dalam tubuh Irak yang penuh bilur luka kekerasan agama dan sektarian. Dunia pun sedang merasakan perih yang sama dengan berbagai macam konflik yang salah satunya ikut menyeret agama yang suci.
Kelima, kunjungan Paus ke Irak tentu memantik banyak interpretasi, melahirkan banyak pesan dan kesan dan memicu berbagai dampak. Baik yang terlihat saat ini, maupun kelak saat lawatan Paus pertama dalam sejarah agama Katolik tersisa dalam buku sejarah.
Bagi Irak, kunjungan Paus itu mendorong semangat dialog dan toleransi di negara tersebut. Pemerintah setempat mendeklarasikan 6 Maret sebagai Hari Toleransi dan Hidup Berdampingan Nasional.
Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi mewartakan kabar gembira itu dalam salah satu tweet tak lama setelah Paus Fransiskus bertemu Ayatollah Agung Ali Al-Sistani pada pagi hari, sekaligus menandai kunjungan Paus Fransiskus ke kota kuno Ur.
Semoga ikhtiar pemerintah Irak memberi angin segar bagi perdamaian di wilayah bersejarah yang masih akrab dengan konflik. Kehadiran Paus bisa sedikit menyembuhkan luka setelah dikoyak perang bertahun-tahun. Ia pun bisa menjelma "musafir perdamaian" di Timur Tengah yang masih berkarib dengan perang.
Lebih dari itu, empat hari kunjungan Paus sekiranya kembali menghidupkan kesadaran bahwa tempat dari mana agama-agama besar dan peradaban dunia berasal masih menjadi mata air suci yang perlu dirawat karena menjadi sumber damai dunia yang senantiasa dipasok melalui aliran Sungai Eufrat dan Tigris yang masyur itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H