Putu Andini memberi contoh lain. Anak usia yang lebih kecil, bisa diajarkan mencuci buah dan sayur, memilah jenis makanan, menghitung jumlah makanan atau alat makan serta mengeksplorasi nama, warna dan aroma dari berbagai jenis makanan.
Sedangkan untuk anak yang lebih besar, bisa dilibatkan untuk memotong, mencampur adonan, mengenalkan dan mencampur bahan, menentukan porsi makan dan menata peratan makan di meja.
Aktivitas ini tidak hanya membuat anak terhindar dari rasa bosan, juga mengasah perkembangan kemampuan kognitif, fisik, sosial dan emosional anak. Tidak hanya itu, aktivitas tersebut bisa meningkatkan bonding antara orang tua dan anak.
Kedua, orang tu perlu memperhatikan, tidak hanya kualitas tetapi juga kuantitas makanan yang dikonsumsi. Dokter Juwita memberikan rumus sederhana terkait gizi seimbang. Jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan keragaman. Sasaran adalah ketercukupan nutrisi baik makro (karbohidrat, protein, lemak), maupun mikro (vitamin dan mineral).
Ketiga, orang tua bisa mengacu pada panduan “Isi Piringku”. Agar pertumbuhan optimal, orang tua harus memastikan 12 hingga 15 persen dari porsi makanan harian merupakan sumber protein. Protein ini penting untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan tubuh.
Jangan sampai runtuh
Penelitian menyebutkan bahwa 95% hormon serotonin diproduksi di usus. Tandanya, apa yang kita makan dan saluran cerna dapat mempengaruhi kesehatan psikis.
Anak perlu diberikan gizi seimbang. Suasana hati anak pun harus dijaga agar asupan gizi bisa dikonsumsi dengan baik. Jadi, baik kondisi psikis orang tua, maupun sang anak harus tetap terjaga.
Bila sampai terganggu, maka akan berdampak luas. Seperti kata Putu Andani, stres berkepanjangan yang tidak diolah akan berdampak pada perilaku makan anak di rumah. Masa depan sang anak bisa terganggu karena tumbuh kembang tak berjalan optimal.