Dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang entah sampai kapan akan berujung. Banyak tantangan dan masalah mengemuka, berkelindan dengan realita hidup saban hari. Hampir semua sektor kehidupan tak bisa mengelak. Tidak terkecuali institusi kecil seperti keluarga.
Apa tantangan terbesar orang tua saat ini? Bagaimana memastikan anggota keluarga aman terlindungi dan terhindar dari paparan Covid-19 adalah salah satunya.
Aman dari Covid-19 adalan prioritas utama saat ini. Namun rasa aman itu belum cukup bila kita tidak bisa bersekutu dengan laku normal baru (new normal). Salah satu ciri normal baru adalah sentralisasi kegiatan di rumah, mulai dari urusan personal hingga profesional.
Ajakan di rumah saja menandai tempat tersebut sebagai locus “pengasingan” untuk memutus transmisi Covid-19, sekaligus centrum segala rutinitas.
Di rumah itu rupa-rupa tantangan datang silih berganti. Memastikan semua anggota keluarga aman, sekaligus ketersediaan makanan dan kecukupan nutrisi bagi anggota keluarga,
Ancaman Stres
Salah satu protokol kesehatan yang patut ditaati pada masa pandemi ini adalah menjaga jarak fisik. Komunikasi dan kontak dengan orang lain diatur dalam jarak tertentu. Bahkan seruan physical distancing diikuti dengan imbauan untuk lebih baik berdiam di rumah. Bila tak ada hal penting yang akan dilakukan, sebaiknya di rumah saja.
Berdiam diri di rumah dalam jangka waktu lama bukan hal yang mengenakkan. Apalagi untuk anak-anak yang sudah terbiasa dengan ruang gerak yang luas.
Pada titik ini peran dan tanggung jawab orang tua menjadi berlipat ganda. Di satu sisi, orang tua perlu berdamai lebih dulu dengan normal baru. Di sisi lain, mereka pun harus membuat anak-anaknya damai dengan keadaan tersebut.
Situasi ini bila tidak dikelola dengan baik akan mendatangkan ekses tertentu. Stres adalah salah satunya. Secara sederhana, mengutip siloamhispitals.com stres merupakan “reaksi tubuh yang muncul saat seseorang menghadapi ancaman, tekanan atau suatu perubahan.”
Stres yang tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan gangguan fisik, juga psikologis. Merasa panik, cemas, hingga bisa berujung depresi.
Siapa saja bisa mengalami stres. Selain pasien dan keluarga yang terkonfirmasi Covid-19, tenaga medis dan keluarga, kaum yang kehilangan pekerjaan, pelajar yang tak terbiasa dengan belajar dari rumah, juga pekerja yang tak nyaman dengan work from home, anak-anak juga adalah kelompok yang rentan mengalami hal tersebut.
Stres yang dialami pada anak, bila tidak disikapi dengan baik akan menurunkan banyak akibat. Tidak hanya psikologis orang tua yang terganggu, anak bakal kehilangan nafsu makan. Bila ini sampai terjadi maka asupan nutrisi anak tak akan terpenuhi. Masa depan mereka bisa menjadi taruhan.
Tegangan New Normal
“Are you eating nutrient or food?” Apakah kamu makan makanan yang bernutrisi atau sekadar mengenyangkan perut?
Demikian selentingan yang keluar dari mulut Arif Mujahidin, Corporate Communication Director Danone Indonesia, saat mengawali webinar “Bicara Gizi” pada Rabu, 30 September 2020 lalu.
Web seminar yang bertemakan “Biasakan Anak Terapkan Gizi Seimbang selama di Rumah Saja” menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten yakni dr. Juwalita Surapsari, M.Gizi, Sp.GK, Spesialis Gizi Klinis; Putu Andini, M.Psi, Psikolog Anak dari Tiga Generasi dan Soraya Larasati, ibu dengan gaya hidup sehat.
Pernyataan Arif Mujahidin membuat kita bertanya diri. Apakah yang kita konsumsi sekadar makanan untuk mengakhiri rasa lapar atau asupan yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan tubuh?
Tentu kebutuhan makanan masing-masing individu tidak sama. Umur, jenis kelamin, berat badan, aktivitas, iklim, hingga kondisi wanita hamil dan menyusui, menjadi unsur pembeda. Dari sisi peruntukan porsi nutrisi untuk seorang anak lebih diprioritaskan ketimbang orang tua.
dr.Juwalita beralasan, nutrisi untuk anak akan menentukan tumbuh kembang dan masa depannya. Sementara itu, kebutuhan nutrisi untuk orang tua lebih untuk kelangsungan proses metabolisme tubuh. Untuk itu soal kebutuhan makanan dan nutrisi seorang anak tidak bisa disepelehkan.
Selama masa pandemi, setiap orang tua dituntut untuk memastikan tumbuh kembang anak berjalan optimal. Hal ini tentu tidak mudah. Orang tua harus menyediakan makanan dengan gizi seimbang di satu sisi. Di sisi berbeda, makanan tersebut bisa dinikmati dengan baik.
Bukan tidak mungkin, penerapan gizi seimbang di rumah akan menghadapkan orang tua pada banyak tantangan. Tidak semua anak bisa menikmati makanan yang disajikan dengan sukacita. Anak terkadang merasa bosan, tidak hanya pada makanan yang tersaji, juga pada aktivitas makan itu sendiri. Makan bukan lagi kegiatan yang menyenangkan. Waktu makan tidak lagi dipandang sebagai momen yang ditunggu-tunggu.
Selain itu, mengutip dr Juwita, “Saat di rumah saja, anak cenderung cepat bosan dan memilih makanan yang mereka sukai saja. Hal ini bisa berdampak pada kurangnya asupan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang optimal.”
Menjadi Orang Tua Kreatif
Rasa bosan yang tidak ditindaklanjuti dengan baik bisa membuat anak stres. Orang tua pun bisa mengalami hal serupa bila tidak bisa mengelola setiap tegangan dengan baik. Apa jadinya rumah tangga yang terpapar stres berkepanjangan dan menjalar ke mana-mana?
Adaptasi yang terus dilakukan terhadap berbagai kebiasaan baru, seyogianya membuat orang tua semakin kreatif dan produktif, termasuk untuk urusan makanan.
Pertama, Soraya Larasati bersaksi, kekhawatiran terhadap anak terpapar rasa bosan tentu ada. Namun, “Saya belajar untuk kreatif dalam menyajikan makanan maupun menyiapkan berbagai kegiatan agar anak tidak bosan di rumah saja.”
Selain mengajak anak terlibat dalam menyiapkan makanan, ia juga berusaha mengajak anak untuk berkenalan dengan sumber nutrisi yang belum pernah dicoba.
“Saya sering membuatkan menu makanan nabati. Ragam makanan nabati yang sangat bervariasi dari jenis kacang-kacangan dan sayuran baik untuk dikenalkan pada anak-anak,” Soraya memberi contoh.
Putu Andini memberi contoh lain. Anak usia yang lebih kecil, bisa diajarkan mencuci buah dan sayur, memilah jenis makanan, menghitung jumlah makanan atau alat makan serta mengeksplorasi nama, warna dan aroma dari berbagai jenis makanan.
Sedangkan untuk anak yang lebih besar, bisa dilibatkan untuk memotong, mencampur adonan, mengenalkan dan mencampur bahan, menentukan porsi makan dan menata peratan makan di meja.
Aktivitas ini tidak hanya membuat anak terhindar dari rasa bosan, juga mengasah perkembangan kemampuan kognitif, fisik, sosial dan emosional anak. Tidak hanya itu, aktivitas tersebut bisa meningkatkan bonding antara orang tua dan anak.
Kedua, orang tu perlu memperhatikan, tidak hanya kualitas tetapi juga kuantitas makanan yang dikonsumsi. Dokter Juwita memberikan rumus sederhana terkait gizi seimbang. Jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan keragaman. Sasaran adalah ketercukupan nutrisi baik makro (karbohidrat, protein, lemak), maupun mikro (vitamin dan mineral).
Ketiga, orang tua bisa mengacu pada panduan “Isi Piringku”. Agar pertumbuhan optimal, orang tua harus memastikan 12 hingga 15 persen dari porsi makanan harian merupakan sumber protein. Protein ini penting untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan tubuh.
Jangan sampai runtuh
Penelitian menyebutkan bahwa 95% hormon serotonin diproduksi di usus. Tandanya, apa yang kita makan dan saluran cerna dapat mempengaruhi kesehatan psikis.
Anak perlu diberikan gizi seimbang. Suasana hati anak pun harus dijaga agar asupan gizi bisa dikonsumsi dengan baik. Jadi, baik kondisi psikis orang tua, maupun sang anak harus tetap terjaga.
Bila sampai terganggu, maka akan berdampak luas. Seperti kata Putu Andani, stres berkepanjangan yang tidak diolah akan berdampak pada perilaku makan anak di rumah. Masa depan sang anak bisa terganggu karena tumbuh kembang tak berjalan optimal.
Selain itu, asupan nutrisi merupakan sumber pertahanan imun untuk menghadapi wabah Covid-19. Dari berbagai upaya pencegahan wabah yang bermula di Wuhan, Tiongkok itu, salah satunya adalah memperkuat sistem kekebalan tubuh. Imun yang kuat, tidak hanya melindungi kita dari virus Covid-19, tetapi juga serangan berbagai penyakit lain.
Laju penderita Covid-19 di Indonesia begitu cepat. Per hari ini, mengacu kawalcovid19.id jumlah penderita sudah lebih dari 303 ribu orang. Sebanyak 11 ribu di antaranya meninggal dunia.
Kita tidak ingin jumlah tersebut terus bertambah, apalagi sampai mengancam diri dan anak kita, bukan? Jadi, kita harus pastikan jangan sampai benteng pertahanan imunitas itu runtuh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H