Dalam berpakaian, terutama pesta-pesta adat atau upacara-upacara penting lainnya, masyarakat setempat belum bisa dipisahkan dari budaya. Kain adat adalah atribut wajib yang membalut tubuh kaum pria dan wanita. Sementara kain-kain adat itu dihasilkan oleh masyarakat setempat.
Situasi ini memantik Willy untuk berjuang bersama KBA. Tidak mudah baginya untuk melecut orang muda Sonraen untuk menaruh perhatian pada kearifan lokal tersebut. "Banyak dari antara mereka menganggap menenun itu aktivitas jaman dulu (jadul). Sesuatu yang tidak lagi menarik dan ketinggalan jaman."
Ia pun coba masuk melalui para orang tua. Alih-alih gayung bersambut, Willy mula-mula ditertawai. Orang tua menganggap aneh seorang lelaki ikut campur dalam urusan tenun-menenun. Memang  adat setempat telah mengkotak-kotakan peran pria dan wanita antara urusan berladang dan beternak di satu sisi dan urusan domestik, termasuk menentun di kutub berbeda. Menenun adalah aktivitas khusus kaum wanita. Bukan pria.
"Seorang lelaki yang menenun itu pamali dalam adat kami."
Sekalipun pantang bagi seorang lelaki menenun, bagi Willy tidak ada salahnya bila ia ikut dalam proses penyadaran. Tujuannya, bukan untuk merusak tatanan yang ada tetapi menarik atensi kaum muda untuk ikut mewarisi kearifan lokal tersebut.
"Tenun ini adalah identitas kita. Kalau misalnya anak dan cucu kita di kemudian hari bertanya apa yang menarik dari Amarasi, tentu kita akan beritahu salah satunya adalah tenun Amarasi," ungkapnya menirukan selentingannya kepada orang tua saat itu.
Tenun ikat bagi masyarakat setempat tidak hanya sebagai kebutuhan dasar. Ia juga bernilai ekonomis, sosial, dan budaya. Selain sebagai pakaian sehari-hari, hingga kini tenun Amarasi dipakai sebagai salah satu belis atau mas kawin, kain penutup jenasah, hingga pemberi identitas status sosial dari pemakainya.
Bila kita memperhatikan secara lebih teliti, corak dan motif tenun ikat Amarasi sungguh menarik. Tak heran bila ia menjadi salah satu cindera mata khas dari NTT. Dengan proses pembuatan yang masih mengandalkan tenaga manusia, dalam istilah teknis disebut Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), pengerjaannya pun tidak mudah. Butuh waktu yang tidak singkat pula.
Patut diakui tenun ikat Amarasi memiliki corak dan motif beragam. Nurul Amalya Utami dan Yulistiana dalam jurnalmahasiswa.unesa.ac.id bahkan mengidentifikasi ada 64 ragam hias dengan makna berbeda. Meski begitu, corak dan ragam hias itu memiliki makna dan latar belakang yang tak lepas dari kerajaan, kebudayaan dan lingkungan Amarasi.