Piala Dunia 2018 baru saja usai. Entah setiap pencintanya mencapai klimaks atau tidak, event akbar itu baru akan hadir kembali di Qatar, empat tahun mendatang. Selama sebulan penuh setiap orang dengan caranya masing-masing menikmati perhelatan yang berlangsung di Rusia. Tidak sedikit pengorbanan dikeluarkan untuk mendapatkan kenikmatan dari lapangan pertandingan. Memangkas waktu tidur, mengurangi jam kerja, menunda pertemuan penting, mengagendakan ulang perjalanan, hingga mengeluarkan rupiah adalah beberapa contoh.
Tidak hanya itu. Kita pun tidak segan-segan ambil bagian dalam meramaikan turnamen tersebut baik secara amatir maupun profesional melalui berbagai forum mulai dari warung kopi, kantor, hingga berbagai lini sosial media. Kita ramai-ramai berbicara tentang sepak bola. Kita serempak dan saling menyahut tatkala menganalisis dan memprediksi tim-tim kesayangan. Kita dengan sukarela menyebut dan mengingat Rusia, Brasil, Argentina, Kroasia, misalnya. Kita kompak berbicara tentang Piala Dunia.
Setelah Prancis menjadi juara dunia, apakah semangat, pengorbanan dan kerelaan yang sama akan kita keluarkan untuk Asian Games 2018?
In se Asian Games dan Piala Dunia berbeda. Asian Games adalah ajang multievent dengan cakupan kepesertaan terbatas. Meski diikuti oleh 45 Â negara, Asian Games adalah pesta olahraga bangsa Asia. Dengan 40 cabang olahraga yang dipertandingkan, Asian Games jelas bukan hanya tentang sepak bola. Bahkan dalam ukuran tertentu, ia bisa kalah akbar dari Piala Dunia yang hanya diikuti 32 tim tetapi yang terbaik dari seluruh federasi sepak bola di dunia.
Tentu tidak salah mengedepankan pertanyaan di atas. Bila event yang berlangsung sekitar 7.524 dari Jakarta kita begitu antusias, mengapa antusiasme yang sama tidak kita tunjukkan untuk perhelatan besar yang berlangsung di rumah sendiri?
Hemat saya ada beberapa alasan yang membuat kita, bangsa Indonesia, patut menyambut Asian Games dengan sukacita. Pertama, bila untuk event sejenis namun ruang lingkupnya jauh lebih kecil yakni SEA Games, Indonesia sudah empat kali menjadi tuan rumah, tidak demikian dengan Asian Games.
Indonesia butuh hingga 56 tahun untuk kembali menjadi tuan rumah. Kepercayaan pertama diperoleh Indonesia pada 1962 silam, atau 17 tahun setelah Indonesia merdeka. Lewat dari setengah abad kemudian, kepercayaan yang sama baru diperoleh Indonesia.
Tidak gampang menjadi tuan rumah untuk 5000 ofisial dan mengakomodasi jutaan tamu dari 45 negara. Untuk terselenggaranya perhelatan ini, tidak hanya dituntut kesiapan arena pertandingan berskala internasional, tetapi juga segala infrastruktur pendukung. Dengan demikian jelas event ini memiliki prestise tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Kedua, praktis acara ini hanya bertuanrumahkan Jakarta dan Palembang. Durasinya pun tak sampai sebulan, sejak 18 Agustus hingga 2 September. Namun perhelatan ini membuat seluruh mata Asia bahkan dunia tertuju ke Indonesia. Dunia tidak hanya berbicara tentang Jakarta dan Palembang. Begitu juga orang-orang tidak hanya melihat aksi para atlet di lapangan pertandingan. Mereka juga akan membuka mata untuk melihat Indonesia secara keseluruhan. Mereka akan melihat segala dimensi, tidak hanya olahraga semata.
Pandangan warga dunia tidak lagi terbatas pada rekor dunia dan Asia yang baru. Dunia menanti kesuksesan Indonesia sebagai tuan rumah yang  aman dan nyaman. Seberapa ramah warga dan seberapa aman proses penyelenggaraannya. Begitu juga seberapa menyenangkan berada di Indonesia dengan segala pesona alam dan nikmat kulinernya.
Asian Games pun menjadi ajang pembuktian sekaligus momen yang pas untuk promosi. Bahwa keamanan di Indonesia tidak seburuk yang dibayangkan. Bahwa bangsa Indonesia benar-benar bangsa majemuk dan multikultural dan bisa menjaga keberagaman dan merayakannya setiap hari. Bahwa alam Indonesia dan segala kekayaannya adalah nikmat yang tak boleh dilewati.
Ketiga, melanjutkan poin sebelumnya, Asian Games adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia siapa dan seperti apa Indonesia masa kini. Indonesia yang tidak hanya banyak dalam jumlah penduduk. Tetapi Indonesia yang sudah jauh berkembang dalam segala aspek. Dengan segala kelebihannya, Indonesia adalah tempat yang aman dan medan yang menguntungkan untuk berinvestasi dan berbisnis. Indonesia adalah tempat yang nyaman dan romantis untuk berwisata. Tempat di mana masyarakatnya berkebudayaan tinggi.
Keempat, tentu dua poin terakhir masih menuntuk pembuktian. Tetapi tidak salahnya menaruh harapan tersebut mengingat inilah kesempatan terbaik itu. Jangan sampai momentum itu lewat begitu saja. Bukan hanya Jakarta dan Palembang yang harus berubah dan berbenah untuk menjadi etalase Indonesia. Tetapi seluruh daerah dan masyarakatnya perlu ikut berpartisipasi.
Sudah saatnya untuk berubah ke arah yang lebih baik tidak hanya fasilitas dan infrastruktur olahraga. Menyusul kehadiran berbagai arena olahraga bertaraf internasional, diharapkan mampu mendongkrak semangat olahraga dan menanamkan nilai-nilai positif dari olahraga pada kehidupan sehari-hari.
Olahraga adalah bagian dari kebudayaan sehingga sudah saatnya perhelatan akbar ini turut membentuk masyarakat Indonesia semakin berbudaya. Tidak sebatas menjaga dan memanfaatkan arena dan setiap sarana pasca pelaksanaan.
Selentingan Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games (INASGOC) Erick Thohir menarik dicerna. Menurutnya sebelum menjadi tuan rumah Olimpide, masyarakat China memiliki kebiasaan membuang ludah sembarangan di jalan.
"Tapi sejak ada Olimpiade sekarang mereka jauh lebih bersih. Nah, saya ingin dengan adanya Asian Games, kebiasaan negara kita juga berubah. Itu kenapa saya selalu saya bilang, yang namanya Gelora Bung Karno, atau nanti Jakabaring nanti akan ditutup, harus pakai kendaraan umum. Jadi masyarakat kita siap jalan, siap antre, dan siap angkutan umum karena ini menjadi bagian dari kebiasaan. Jika tidak ingin macet ya harus berubah."
Peran bersama
Mengingat pentingnya Asian Games ini maka tanggung jawab persiapan, pelaksanaan dan setelah itu tidak semata-mata berada di tangan pemerintah dan panitia penyelenggara. Patut diakui euforia masyarakat Indonesia menyambut perhelatan ini masih kurang.
Di lingkungan paling kecil, seperti keluarga misalnya, kita lebih suka berbicara tentang Piala Dunia ketimbang Asian Games. Kita lebih gampang berbagi informasi tentang Piala Dunia. Kita lebih nikmat membicarakan sepak bola. Kita lebih antusias berbicara tentang Rusia dan segala seluk beluknya.
Hal lain lagi patut diangkat. Promosi terkait perhelatan ini masih minim. Â Bahkan Presiden Joko Widodo mengakuinya . Pengakuan Jokowi itu langsung menyentil Inasgoc selaku penyelenggara Asian Games.
Erick Thohir mengaku biaya promosi Asian Games sangat minim. Dari total biaya penyelenggaraan sebesar Rp 6,6 triliun, hanya Rp 165 miliar atau 2,5 persen untuk promosi. Untuk itu dibutuhkan peran serta berbagai pihak agar tanggung jawab ini tidak terkesan semata-mata menjadi tugas pemerintah dan penyelenggara di Jakarta dan Palembang.
Saya baru saja kembali dari Kupang, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur. Hampir tidak saya temukan hal serupa. Dalam hati saya bergumam. Apakah Asian Games ini hanya patut disambut oleh pemerintah dan warga Jakarta dan Palembang? Apakah Asian Games tidak perlu dirayakan oleh masyarakat dan penduduk di sudut-sudut Indonesia?
Bila situasi seperti ini, apakah kita terus berpangku tangan menunggu kapan tiba waktu penyelenggaraan?
Kita sudah punya banyak alasan untuk bangga sebagai tuan rumah Asian Games. Kita punya banyak alasan untuk semringah, bahagia dan bergairah untuk menyambutnya. Tetapi kita masih kurang "berkorban" dan "bela-belain" menunjukkannya secara nyata.
Masih ada waktu untuk ambil bagian menggaungkan Asian Games lebih keras. Jokowi misalnya memilih cara tersendiri dengan mengenakan jaket hitam dengan logo Asian Games 2018 cukup besar di bagian depan dan lengan. Cara ini kemudian diikuti oleh orang-orang penting di negeri ini. Tidak hanya jaket tetapi juga kaos dan jenis pakaian lainnya.
Tidak hanya itu. Masih ada cara kreatif lain, selain memperbanyak banner, spanduk dan poster yang bisa disediakan secara swadaya baik oleh organisasi, kelompok atau masyarakat secara luas. Menggelar aneka perlombaan seperti blog, foto, video bahkan gapura di berbagai level dan dengan cakupan yang lebih luas.
Sementara masyarakat luas tidak kehilangan kesempatan. Potensi 100 juta pengguna smartphone di tanah air seturut data kominfo.go.id bisa dimanfaatkan untuk ikut mendemamkan Asian Games melalui gawai dan sosial media yang dimiliki. Dengan tanpa menanti bayaran dan menunggu perintah bisa ikut ambil bagian. Sehari beberapa kicauan tentang Asian Games sudah lebih dari cukup. Tentu pengorbanan ini tidak seberapa dibandingkan sumber daya yang telah dikeluarkan untuk menyemarakan dan menyukseskan Piala Dunia 2018, bukan?
 Setelah Piala Dunia, saatnya satukan energi untuk Indonesiaku, Indonesia kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H