Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Gelar Juara "Duo Minions" dan Pelajaran Penting dari China Open 2017

20 November 2017   00:14 Diperbarui: 20 November 2017   00:19 3187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mengapa generasi Melati cs sulit bersaing di level super series. Tampaknya mereka butuh pasangan yang setidaknya pernah menjadi juara super series. Mental mereka perlu digedor degan mentor yang senior.

Langkah berani

Potensi para pemain muda Indonesia tak jauh berbeda dengan negara-negara lain. Bila dihitung bibit-bibit muda Indonesia tak kalah banyak dari China sekalipun. Namun nasib para pemain muda di kedua negara itu berbanding terbalik.

Sebagai contoh, saat Gregoria Mariska kandas di Malaysia International Challenge, Gao Fangjie sukses ke perempat final China super series premier. Gao hanya lebih tua setahun dari Gregoria. Bahkan Jorji, sapaan Gregoria pernah mengalahkan Gao di semi final Kejuaraan Asia Junior 2016. Saat itu Gao kalah 21-13 dan 10-21 dari Jorji dan harus puas dengan medali perunggu. Sementara Jorji melangkah ke final sebelum kandas di tangan Chen Yufei.

Namun dalam rentang setahun prestasi Gao melesat. Pemain 19 tahun ini sudah langsung berbicara di level super series premier. Saat Jorji masih bersaing di turnamen level bawah, Gao sudah bisa menumbangkan para ratu seperti P.V Sindhu dan Carolina Marin. Sindhu yang menjadi juara bertahan dibungkam dua game langsung di perempat final dengan skor 21-11 dan 21-10. Sementara Marin, peraih medali emas Olimpiade Rio 2016 mendapatkan nasib serupa Sindhu di semi final, juga dalam dua game, 21-19 dan 21-19.

Sayang Gao harus menyerahkan gelar juara kepada  Akane Yamaguchi yang mengalahkannya di final dengan skor 21-13, 21-15. Namun prestasi Gao ini mengisyaratkan bahwa China telah mendapatkan penerus Li Xuerui, Wang Shixian dan Wang Yihan. Tidak hanya rupa yang mirip, permainan Gao pun mengingatkan kita pada Li Xuerui.

Gao Fangjie (kiri), runner-up China SSP 2017/@antoagustian
Gao Fangjie (kiri), runner-up China SSP 2017/@antoagustian
Sejak He Bingjiao menjuarai Prancis Super Series tahun lalu, tak ada tunggal putri China yang naik podium tertinggi dalam 10 tur super series sepanjang tahun ini. China sedang bekerja keras mengatasi paceklik ini. Namun Negeri Tirai Bambu itu tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengakhiri masa penantian itu. Bingjiao dan Gao adalah dua dari sejumlah pemain muda China yang siap bersaing di papan atas dalam usia yang masih belia.

Sementara Indonesia masih terus menggantung harapan pada generasi Fitriani dan Hanna Ramadini lalu Jorji untuk menjembatani jurang antargenerasi yang kini menganga lebar. Selain terus mengasah mereka dari satu kompetisi ke kompetisi lain, berani mencemplungkan mereka di turnamen level atas patut dipertimbangkan. Dalam hal ini lagi-lagi kita masih harus belajar dari China. Tidak seperti kita, mereka memiliki cara berbeda dalam "mengasuh" yang membuat pemain muda mereka bernasib jauh lebih baik dari pada kita. Bukan soal talenta, tetapi soal keberanian untuk berubah.

N.B

Hasil final #ChinaSSP 2017:

Gambar dari @BadmintonINA
Gambar dari @BadmintonINA
hasil-final-china-ssp-2017-5a11bbcd4d66912bde3abdd2.jpg
hasil-final-china-ssp-2017-5a11bbcd4d66912bde3abdd2.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun