Tahun lalu Zhang Nan mampu membawa Li Yunhui ke final ganda campuran China Open sebelum dikandaskan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir. Tak berapa lama kemudian Zhang Nan membiarkan Li Yunhui berjalan sendiri dengan pasangan muda lainnya, Du Yue yang sempat dipasangkan dengan pemain senior lainnya, Xu Chen.
Final ganda campuran kali ini menjadi contoh keberhasilan sejumlah negara melakukan bongkar pasang dan keberanian memberikan tempat kepada pemain muda. Baik Zheng Siwei dan Huang Yaqiong maupun Mathias Christiansen dan Christinna Pedersen adalah pasangan baru dari China dan Denmark. Zheng/Huang langsung mengawali kebersamaan dengan sangat baik setelah menjuarai Macau Grand Prix Gold pekan lalu sebelum mengukir sejarah di hadapan publik sendiri.
Cristinna yang telah berusia 31 tahun dipercaya menjadi mentor bagi Mathias Christiansen yang baru berusia 23 tahun. Pengalaman Christinna diharapkan bisa mengangkat juniornya lebih cepat. Tanda-tanda positif sudah terlihat. Keduanya memang gagal mencapai klimaks. Tetapi menginjak partai final turnamen bergengsi seperti ini menjadi hasil bagus yang belum tentu bisa diukir negara-negara lain, termasuk Indonesia. Keduanya bahkan menjungkalkan juara bertahan sekaligus harapan semata wayang Indonesia di ganda campuran, Tontowi dan Liliyana di babak perempat final.
Alarm bagi Indonesia
Tidak hanya China dan Denmark, Korea Selatan bahkan sudah terbiasa melakukan bongkar pasang. Tahun lalu Lee So Hee dan Chang Ye Na menjuarai China Open mengalahkan wakil tuan rumah Huang Dongping/Li Yinhui. Kali ini Lee So Hee kembali menginjak partai final bersama tandem berbeda yakni Kim Hye Rin. Sayang bersama Kim, Lee gagal menaklukkan juara dunia sekaligus pasangan terbaik China, Chen Qingchen/Jia Yifan, 21-7 18-21 21-14.
Lee So Hee yang berparas cantik memiliki smash keras dan cerdas dalam bermain. Pemain berusia 23 tahun ini mampu menginjak final di tiga super series terakhir mulai dari Denmark dan Prancis. Ia menjadi salah satu bibit unggul di nomor ini sekaligus segelintir pemain Korea Selatan yang kini mencuri perhatian dunia. Kemampuan Korea Selatan mencetak pemain tidak secepat China, namun Negeri Ginseng pandai memaksimalkan potensi pemain dengan main rangkap dan bongkar pasang. Pada akhirnya terlihat kekuatan merata di semua lini. Mau dipasangkan dengan siapapun tetap kelihatan setara.
Saat ini kita praktis hanya mengandalkan Owi/Butet. Praveen Jordan dan Debby Susanto yang dipersiapkan sebagai pelapis pasangan senior itu malah semakin jauh dari harapan. Pasangan pelapis lainnya masih jauh tertinggal di belakang. Usia Butet tak bisa lagi dibohongi, cedera mendekat dan sepertinya enggan lekas pergi segera. Bila kita terus menerus berharap pada keduanya maka sulit membayangkan bila suatu ketika hal tak diharapkan terjadi pada pasangan ini.
Kita akan kelimpungan mencari pengganti. Ditambah bila sesewaktu Debby memutuskan gantung raket, isyarat yang sudah lama dikabarkan. Sebelum semua itu terjadi PBSI mesti berani mengambil langkah berani. Dengan pengalaman segudang, Debby bisa berbagi ilmu kepada para pemain muda. Begitu juga Owi dan Butet.
Pertanyaan mengemuka, kepada siapa para pemain senior itu berbagi? Apakah kepada generasi Alfian Eko Prasetya, Ronald Alexander dan Melati Daeva Oktavianti? Bisa saja. Tetapi pengalaman Owi dan Gloria misalnya menjadi bukti tak berjalannya proses bongkar pasang tersebut. Bila demikian mengapa harus takut mencoba memadukan dengan generasi dibawahnya? Praveen dan Phita atau Tontowi dan Fadia misalnya. Dengan national poin bisa langsung ke super series, jika belum berani, setidaknya bisa mencoba di level Grand Prix Gold.