Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Titik-titik Air pada Batu Keras Patriarki

13 Maret 2017   13:30 Diperbarui: 14 Maret 2017   18:01 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstruksi patriarki tentang wanita ideal kreasi Orde Baru dalam Panca Dharma Wanita masih bercokol dalam alam bawah sadar dan diawetkan dalam laku sadar kita. Konstruksi tersebut lantas menempatkan wanita dalam opsisi biner antara ideal dan tidak ideal. Panca Dharma Wanita itu mencakup: 1. Wanita sebagai pendamping yang setia; 2. Wanita sebagai pengelola rumah tangga; 3. Wanita sebagai pendidik dan penerus keturunan anak; 4. Wanita sebagai pencari nafkah tambahan; 5. Wanita sebagai warga Negara dan anggota masyarakat yang berguna.

Panca Dharma Wanita itu membuat ruang gerak wanita menjadi terbatas, dan dibatasi agar jangan sampai menjadi tidak ideal. Dalam bentuk berbeda apa yang oleh aktivis dan akademisi, Julia Suryakusuma, disebut sebagai “state ibuism” itu tidak hanya mempengaruhi peran wanita tetapi juga membentuk cara pandang terhadap tubuh perempuan.

Bahwa menjadi perempuan dan “ibu” haruslah “bersih” dari hal-hal yang membuatnya menjadi “kotor”. Tubuh dan perilaku yang “kotor” lantas diartikan sebagai perwujudan dari “perempuan kotor”. Bila perempuan merokok, bertato, pulang larut malam, juga berpakaian seksi, maka seabrek label akan langsung dilekatkan pada mereka, bukan?

Hampir tak ada pemahaman yang lebih seimbang selain pengelompokan biner dan simplistik setidaknya antara perempuan baik-baik vs perempuan jalang, ibu rumah tangga yang dianggap baik vs perempuan karier yang dianggap melalaikan keluarga.

Saat perempuan berhenti bekerja demi memberi waktu sepenuhnya untuk merawat anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya akan dilayangkan pujian sebagai “ibu yang baik.” Sebaliknya bila keputusan tersebut diambil oleh seorang bapak maka alih-alih pujian malah yang diperoleh adalah cap sebagai “bukan pria sejati” atau “suami takut istri.”  Dalam bahasa Sunda “suami takut istri” itu disebut sebagai lelaki yang “bersembunyi di balik sanggul istri” atau nyalindung ka gelung.

Tantangan Ladiesiana

Situasi tersebut tidak akan berubah selama pola pikir dan konstruksi patriarkat belum dibongkar.  Apalagi bila kontribusi terhadap awetnya situasi tersebut tidak hanya datang dari satu pihak saja dan dari satu latar belakang semata. Entah pria maupun perempuan, di ruang privat maupun publik, yang terdidik atau tidak, turut serta melanggengkan dikotomi tersebut.

Bila saja demikian maka adalah tanggung jawab bersama pula untuk merobohkan tatanan yang tidak adil itu. Tujuannya tidak untuk membuat wanita menjadi sama seperti pria, atau sebaliknya, tetapi lebih pada bagaimana memperlakukan wanita secara adil, dan melihat mereka sebagai makhluk yang setara dengan pria. Wanita dan pria adalah manusia, itu tujuan paling hakiki.

Bagaimana caranya? Banyak hal bisa dilakukan, mulai dari praktik sehari-hari hingga laku yang bersifat fundamental. Pertama,menjauhkan lelucon berbau seksis yang saat ini mudah ditemukan entah secara verbal maupun non verbal langsung ataupun tidak langsung, baik oleh pria maupun wanita. Mulailah dari luang lingkup terkecil, dari keluarga dan orang-orang terdekat. Bila mendapatkan orang terdekat melakukan praktit tak terpuji itu, tegurlah. Jangan sampai memperpanjang rantai dengan melakukan hal yang sama.

Kedua,praktik sederhana dan terkesan remeh temeh itu menjadi tolak ukur sekaligus ujian seberapa mampu kita mencerna dan mengejawantahkan kesetaraan gender. Memang tidak mudah karena lagi-lagi ini bersumber dari cara pandang.

Nah, untuk membentuk cara pandang itu tidak ada salahnya untuk belajar sedikit tentang feminisme. Ini bukan paham untuk merombak status quo dan gerakan untuk melengserkan peran laki-laki. Memahami feminisme secara baik penting karena feminisme berorientasi pada keadilan, memandang dan memperlakukan wanita sebagaimana layaknya memandang dan memperlakukan pria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun