Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Titik-titik Air pada Batu Keras Patriarki

13 Maret 2017   13:30 Diperbarui: 14 Maret 2017   18:01 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SHUTTERSTOCK


Laporan tahunan Komnas Perempuan pada 2017, seperti dilansir Kompas.com, mencatat. Ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Terbanyak dari antaranya kekerasan dalam keluarga. Pengadilan Agama melaporkan ada 245.548 kasus terhadap istri yang berakhir perceraian. Selain di ranah privat atau domestik, urutan kedua ditempati kekerasan di tingkat komunitas dengan 3.092 kasus. Sisanya di ranah negara sebanyak 305 kasus.

Dengan mengabaikan kemungkinan ada yang luput dihitung, apa yang bisa kita katakan dari data tersebut? Pastinya, statistik  itu berbicara banyak hal. Kaum perempuan di negeri ini belum dipandang setara dengan kaum pria. Sepak terjang mereka, mulai dari ranah privat hingga ruang publik bernegara, belum terbebas dari perlakuan diskriminatif dan subordinatif.

Konstruksi patriarkat, bahkan misogini masih kuat  dalam alam bawah sadar dan termanifestasi yata dalam perilaku sehari-hari. Dimulai dari ruang lingkup paling kecil seperti keluarga hingga lingkungan sosial kemasyarakat  menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua masih menjadi pemandangan umum.

Boleh saja ada yang berdalih bahwa data dan kesimpulan di atas terlalu mengada-ada. Tidak semua wanita diperlakukan tidak adil, apalagi menjadi objek kekuasaan pria. Banyak wanita sudah diperlakukan selayaknya, malah ada yang mampu berdiri lebih tinggi dari kaum pria dalam berbagai jabatan strategis baik yang bersifat administratif maupun politis, bahkan hingga dalam ruang lingkup negara sekalipun. Sudah ada perempuan yang menjadi pejabat eksekutif di perusahaan-perusahaan ternama, tokoh penting di lembaga-lembaga utama, bahkan ada yang menjadi menteri, hingga presiden.  

Tetapi berapa banyak wanita yang bernasib baik seperti itu? Prosentase wanita sukses dan populer tak sebanding dengan kaum pria,  atau hanya sebagian kecil dari kaumnya, bukan? Paparan di atas menjadi bukti bahwa kecemasan akan realitas dikotomis itu masih bercokol.

Bila kita masih sangsi dengan data tersebut kenyataan sehari-hari bisa menjadi bukti. Masih jamak ditemukan prasangka, pelabelan dan stereotip atau penyosokan terhadap perempuan yang kemudian menjustifikasi kekerasan baik fisik maupun verbal (catcalling), baik di dunia nyata maupun di jagad maya, mulai dari keluarga, hingga ruang publik.

Selain kekerasan suami terhadap istri, bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap wanita dalam dunia keseharian mengemuka.  Bentuk pelecehan terhadap wanita yang biasa terjadi di antaranya terhadap busana yang dipakai hingga perlakuan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan kerap disalahkan karena dianggap berpakaian terbuka sehingga memancing hasrat untuk dilecehkan. Begitu juga penyosokan terhadap perempuan oleh aparat penegak hukum yang menyata dalam pertanyaan seputar warna pakaian, dan jenis pakaian yang dikenakan.

Apakah bila wanita berpakaian tertutup otomatis terbebas dari aneka perlakuan tak pantas? Tentu saja tidak. Sejak masa purba yang membagi perempuan dan laki-laki dalam peran oposisional antara berburu dan mengurus anak hingga kini masih bertahan. Diawetkan entah secara sadar dan sengaja atau tidak dalam pranata-pranata masyarakat baik sosial, politik, budaya hingga agama sekalipun.

 Perempuan  masih dikerangkeng dengan peran-peran tertentu. Yang paling kentara adalah domestikasi dengan pekerjaan rumah tangga dan peran pengasuhan anak, meski ada peran dan fungsi yang terberi dan tak tergantikan.

Konstruksi patriarki tentang wanita ideal kreasi Orde Baru dalam Panca Dharma Wanita masih bercokol dalam alam bawah sadar dan diawetkan dalam laku sadar kita. Konstruksi tersebut lantas menempatkan wanita dalam opsisi biner antara ideal dan tidak ideal. Panca Dharma Wanita itu mencakup: 1. Wanita sebagai pendamping yang setia; 2. Wanita sebagai pengelola rumah tangga; 3. Wanita sebagai pendidik dan penerus keturunan anak; 4. Wanita sebagai pencari nafkah tambahan; 5. Wanita sebagai warga Negara dan anggota masyarakat yang berguna.

Panca Dharma Wanita itu membuat ruang gerak wanita menjadi terbatas, dan dibatasi agar jangan sampai menjadi tidak ideal. Dalam bentuk berbeda apa yang oleh aktivis dan akademisi, Julia Suryakusuma, disebut sebagai “state ibuism” itu tidak hanya mempengaruhi peran wanita tetapi juga membentuk cara pandang terhadap tubuh perempuan.

Bahwa menjadi perempuan dan “ibu” haruslah “bersih” dari hal-hal yang membuatnya menjadi “kotor”. Tubuh dan perilaku yang “kotor” lantas diartikan sebagai perwujudan dari “perempuan kotor”. Bila perempuan merokok, bertato, pulang larut malam, juga berpakaian seksi, maka seabrek label akan langsung dilekatkan pada mereka, bukan?

Hampir tak ada pemahaman yang lebih seimbang selain pengelompokan biner dan simplistik setidaknya antara perempuan baik-baik vs perempuan jalang, ibu rumah tangga yang dianggap baik vs perempuan karier yang dianggap melalaikan keluarga.

Saat perempuan berhenti bekerja demi memberi waktu sepenuhnya untuk merawat anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya akan dilayangkan pujian sebagai “ibu yang baik.” Sebaliknya bila keputusan tersebut diambil oleh seorang bapak maka alih-alih pujian malah yang diperoleh adalah cap sebagai “bukan pria sejati” atau “suami takut istri.”  Dalam bahasa Sunda “suami takut istri” itu disebut sebagai lelaki yang “bersembunyi di balik sanggul istri” atau nyalindung ka gelung.

Tantangan Ladiesiana

Situasi tersebut tidak akan berubah selama pola pikir dan konstruksi patriarkat belum dibongkar.  Apalagi bila kontribusi terhadap awetnya situasi tersebut tidak hanya datang dari satu pihak saja dan dari satu latar belakang semata. Entah pria maupun perempuan, di ruang privat maupun publik, yang terdidik atau tidak, turut serta melanggengkan dikotomi tersebut.

Bila saja demikian maka adalah tanggung jawab bersama pula untuk merobohkan tatanan yang tidak adil itu. Tujuannya tidak untuk membuat wanita menjadi sama seperti pria, atau sebaliknya, tetapi lebih pada bagaimana memperlakukan wanita secara adil, dan melihat mereka sebagai makhluk yang setara dengan pria. Wanita dan pria adalah manusia, itu tujuan paling hakiki.

Bagaimana caranya? Banyak hal bisa dilakukan, mulai dari praktik sehari-hari hingga laku yang bersifat fundamental. Pertama,menjauhkan lelucon berbau seksis yang saat ini mudah ditemukan entah secara verbal maupun non verbal langsung ataupun tidak langsung, baik oleh pria maupun wanita. Mulailah dari luang lingkup terkecil, dari keluarga dan orang-orang terdekat. Bila mendapatkan orang terdekat melakukan praktit tak terpuji itu, tegurlah. Jangan sampai memperpanjang rantai dengan melakukan hal yang sama.

Kedua,praktik sederhana dan terkesan remeh temeh itu menjadi tolak ukur sekaligus ujian seberapa mampu kita mencerna dan mengejawantahkan kesetaraan gender. Memang tidak mudah karena lagi-lagi ini bersumber dari cara pandang.

Nah, untuk membentuk cara pandang itu tidak ada salahnya untuk belajar sedikit tentang feminisme. Ini bukan paham untuk merombak status quo dan gerakan untuk melengserkan peran laki-laki. Memahami feminisme secara baik penting karena feminisme berorientasi pada keadilan, memandang dan memperlakukan wanita sebagaimana layaknya memandang dan memperlakukan pria.

Di sini kerja keras laki-laki ditutut karena pekerjaan untuk membongkar kemapanan dan cara pandang keliru yang telah tertanam dalam diri. Laki-laki yang menjadi pangkal persoalan harus menjadi bagian dari penyelesaian terhadap persoalan itu.

Ketiga,selain melalui praktik hidup sehari-hari, terus mengkampanyekan gerakan kesetaraan gender menjadi penting. Mengkampanyekan ide, gagasan, bahkan meluangkan waktu hingga donasi untuk membantu gerakan-gerakan yang memperjuangkan nasib perempuan dan masa depan laki-laki harus digalakkan dan didukung.

Patut diingan keterlibatan kita dalam aksi seperti itu tidak hendak menceburkan kita pada praktik aktivisme tetapi kita bisa mengambil bagian dengan cara kita masing-masing. Dengan tanpa menjadi aktivis kita bisa berbuat sesuatu untuk membentuk tatanan hidup yang adil.

Pada titik ini Ladisiana bisa ambil bagian. Sebagaimana media berperan besar dalam pelanggengan dikotimi itu, dengan wadah strategis yang telah tersedia, Kompasiana bisa dimanfaatan sebagai ruang kampanye, tempat bertukar ide dan gagasan  tandingan hingga mengambil langkah nyata melalui aksi-aksi kreatif konstruktif seperti yang dilakukan komunitas-komunitas lain di Kompasiana.

Bila ada KPK (Kompasianer Penggila Kuliner) yang rutin “menggerebek” sentra-sentra kuliner, mengapa Ladisiana tidak turut serta “menggerebek” institusi-institusi pendidikan dan pusat-pusat pengambil kebijakan untuk mengadvokasi feminisme. Bila ada KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) yang rajin berburu film-film terbaru, mengapa tidak mengajak mereka untuk turut serta berburu film-film yang membangun kesetaraan.

Bila ada Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana) yang merayakan petualangan sebagai kegembiraan utama, mengapa Ladiesiana tidak bisa berpetualang menambah ilmu dan laku yang telah lama dihidupi dan diperjuangkan komunitas-komunitas penggiat kesetaraan. Mulailah dari komunitas kecil, lantas merangkul Kompasianer lebih luas dan lebih banyak.

Gagasan ini bisa saja terlalu ideal, bahkan garing.Bisa saja dianggap mirip laku sisifus yang tak berujung hasil karena terbelenggu pada anggapan bahwa realitas itu sulit berubah, bahkan dianggap statis, dan tetap. Tetapi tidak berbuat apa-apa sama saja melanggengkan praktik yang ada karena perjuangan kita demi kepentingan bersama. Dan saya kira Ladiesiana ada dan mengada tidak hanya untuk memaknai Hari Perempuan Internasional saban 8 Maret, dan terlecut oleh protes besar Women's March  beberapa waktu sebelumnya, misalnya, tetapi lebih dari itu: berbuat sesutu lebih tekun dan berkesinambungan. Ibarat menghancurkan sebongkah batu keras dengan tetes-tetes kecil air secara terus-menerus.

Mari berjuang bersama Ladiesiana!

Facebook

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun