Di tempat tersebut masih bercokol nilai belas kasih dan perhatian meski kerasnya persaingan tak bisa dielak. Dua bocah pengamen yang menyambung hidup dari para penumpang yang singgah sempat bersitegang untuk mendapatkan sisa makanan yang sengaja ditinggalkan penumpang.
Namun melalui sosok seorang anak lainnya hendak disampaikan bahwa di tempat itu masih ada nilai kebaikan. Sebungkus roti yang diminta dari seorang penumpang yang hendak naik ke bus masih sempat ia bagikan kepada rekannya yang lain yang tadi beradu fisik untuk mendapatkan jatah yang tertinggal di kursi. Sekeras-kerasnya hidup di terminal, masih ada nilai humanisme di sana.
Menghancurkan Diskriminasi
Selain nilai-nilai tersebut ada pula nilai-nilai lain yang sudah tergerus dari kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari film-film yang ditampilkan para mahasiswa. Film “Different” yang dikemas dalam gaya animasi memperlihatkan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat.
Karakter-karakter yang ditampilkan memiliki warna berbeda-beda. Setidaknya pembagian itu berdasarkan jenis kelamin. Warna berbeda menunjukkan adanya distingsi atau pembedaan yang terkadang melahirkan diskriminasi. Demikian juga dengan warna kendaraan yang menunjukkan status sosial berbeda-beda.
Meski demikian film ini bukan hendak mengkampanyekan hal itu. Seperti diutarakan filmaker ini film tersebut hendak membongkar diskriminasi tersebut yang ditandai dengan adegan akhir yakni terjadi tabrakan kendaraan. Di sana pembedaan itu hendak dilebur.
“Setiap orang memiliki cara berbeda-beda untuk bahagia dan membahagiakan,”ungkap sang pembuat film tersebut dalam sesi tanya jawab.
Soal pembedaan itu terlihat juga di film lainnya yakni “Mereguk Asa di Teluk Jakarta.” Film ini berbicara tentang kehidupan manusia perahu asal Indramayu yang menggantungkan hidup dari mencari ikan di teluk ibu kota.
Namun kenyataan yang dihadapi sungguh memprihatinkan. Kondisi laut yang kotor mempersempit peluang mendapat hasil tangkapan yang banyak. Belum lagi tuntutan akan kebutuhan ekonomi dan pendidikan keluarga yang harus dipenuhi.
Di sini muncul kendala bahwa pria bernama Pak Bunali itu tidak bisa mendapatkan hak yang sama karena ia belum terdata secara resmi sebagai warga ibu kota. Hal ini benar-benar menyulitkannya untuk tidak bisa mendapatkan keistimewaan seperti warga ibu kota lainnya.