Dengan segala sesuatu yang serba terbuka dan tersedia, maka menulis dan menjadi penulis itu bukan lagi hal yang rumit. Hampir tidak ada lagi yang tertutup dan bisa disembunyikan ketika siapa saja bisa merangsek masuk ke wilayah-wilayah yang sebelumnya samar bahkan gelap, bahkan juga sangat pribadi. Dan cukup dengan perangkat dalam genggaman maka kabar atau berita sudah bisa tersiar. Entah itu berupa kata-kata, gambar atau video.
Demikian salah satu kesimpulan sederhana yang saya tangkap dari salah satu titik kumpul di antara keriuhan Pekan Raya Indonesia (PRI) di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Minggu, 6 November silam. Di tengah massa yang membludak yang mengalir ke sana ke mari tanpa bisa dikontrol, sekitar 30-an pasang mata setia mengarahkan pandangan ke panggung utama Booth Group of Digital Kompas Gramedia yang terletak di pintu masuk hall 11.
Di sana tiga penulis dari latar belakang berbeda sedang berbagi kisah. Maman Suherman, penulis kawakan yang sudah mewujud banyak buku; Yayat, Kompasianer of The Year 2016 dan Iskandar Zulkarnaen,Assistant Manager Kompasiana. Dimoderatori Mas Rizky Saragih, selama kurang lebih dua jam, ketiganya mengupas tajuk “Saatnya Warga Menulis.”
Menurut hemat saya, tema ini menarik dan kontekstual dan karena itu pula menjadi alasan mengapa saya harus ikut ambil bagian. Seperti sudah disinggung di awal, saat ini menulis bukan lagi monopoli apalagi hak jurnalis, kolumnis, editor atau pekerja profesional terkait semata. Siapa saja, dari mana ia berasal dan apapun latar belakangnya, bisa turut serta.
Dengan dunia yang kian terbuka, dan dibantu kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi kerja tersebut menjadi mudah. Lebih mudah lagi bisa lebih “bebas” dari jurnalis misalnya yang kerap dibatasi ruang, waktu dan terpenjara dalam tuntutan bahkan “kepentingan” tertentu.
Berbagai ruang yang tersedia baik itu berupa lapak menulis,blog, hingga platform sosial media bisa dimanfaatkan dengan leluasa. Dampak yang dihasilkanpun tak kalah dari liputan seorang jurnalis, bahkan bisa lebih dahsyat.
Beberapa contoh bisa disebut. Teranyar, beberapa hari lalu tulisan warga, Tjiptadinata Effendi di Kompasiana berjudul Lagi Lagi Gara Gara Ahok (Bukan Hoax) menjadi bahan pembicaraan luas di Ibu Kota. Pengalaman langsung Opa Tjip, demikian saya biasa menyapanya, di salah satu tempat parkir di Pasar Tanah Abang itu begitu cepat tersebar. Tulisan tak kurang dari 15 paragraf itu dikutip lagi oleh media-media arus utama dan tak berapa lama mendapat respon langsung dari pemerintah DKI Jakarta.
Tulisan Opa Tjip itu bukan yang pertama dan satu-satunya. Sudah banyak contoh tulisan warga biasa di Kompasiana menjadi bahan pembicaraan luas baik di dunia nyata maupun menjadi viral di dunia maya. Hal ini tidak bermaksud meremehkan tulisan-tulisan dari penulis lain dan di medium lain, karena tokh setiap tulisan memiliki jalan sendiri-sendiri.
Pada titik ini muncul pertanyaan, apakah semudah itukah menulis? Mudahkah menjadi penulis warga? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini penting diangkat sekaligus bisa dijawab dengan pertanyaan, mengapa begitu banyak tulisan fiktif (bohong) atau hoaxbisa begitu mudah kita temukan?
Menulislah Tetapi Jujur
Tantangan awal dalam menulis dan menjadi penulis warga sedikti banyak seperti dialami Yayat. Wanita murah senyum ini sudah menjadi bagian dari Kompasiana sejak 9 Oktober 2009. Pada pertemuan sebelumnya di sebuah acara Ngoplah yang saya tulis di sini, ia mengaku bahwa melalui dan oleh karena Kompasianalah ia menulis. Namun ada pergulatan dan tantangan tersendiri ketika mulai menulis bahkan hingga dalam perjalanan waktu hingga kini.