Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengawetkan Kebhinekaan dengan Literasi Sosial Media

29 Agustus 2016   15:43 Diperbarui: 29 Agustus 2016   18:05 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan tanpa melakukan studi mendalam, debat kusir hingga menyerang pribadi marak dan masif terjadi di sosial media, menjadi bukti bahwa kita belum terbiasa dengan berbeda pendapat, gagasan, pikiran, hingga kelebihan dan kekurangan.

Ketiga,bersama-sama, mulai dari lingkungan formal hingga nonformal, mulai dari pempimpin agama hingga para pemeluk membalikkan ujaran kebencian dengan menyebarkan pesan damai. Melawan ujaran kebencian, berbagai lini sosial media menjadi mimbar untuk mengkampanyekan kedamaian, kerukunan dan toleransi.

Bila selama ini dilakukan secara kasat mata, maka segala kemudahan yang ditawarkan sosial media menjadi ruang lapang, tanpa sekat, dan penuh kesetaraan untuk berdialog secara konstruktif. Mengutip teolog asal Swiss, Hans Kung (88 tahun), dialog masih memainkan peran penting dalam membangun kerukunan bersama. “ Tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa, tanpa perdamain di antara agama-agama; tidak ada perdamaian di antara agama-agama, tanpa dialog antaragama.”

Akhirnya, sudah saatnya kultur-kultur tersebut dibiakan untuk mendorong melek literasi sosial media agar kemewahan yang ditawarkannya benar-benar menjadi berkah di tengah kemajemukan bangsa.

Sinyal ancaman terhadap kebhinekaan Indonesia sudah semakin nyata. Hal itu terlihat dari indeks kebebasan sipil yang menurun di tengah kemajuan Indeks Demokrasi Indonesia 2009-2015 (Emil Salim, “Bangun Bangsa Pancasila”, Kompas,Kamis, 25 Agustus 2016, hal.7). Indeks kebebasan sipil yang menyangkut kebebasan berkumpul dan berserikat; kebebasan berpendapat; kebebasan berkeyakinan; dan kebebasan dari diskriminasi menurun dari 86,97 (2009) menjadi 80,30 (2015). Jangan sampai sosial media semakin mempercepat laju penurunan itu karena kegagalan kita merangi ujaran kebencian. Bila sampai gagal maka betapa bersalahnya kita pada mereka yang telah bersusah payah merawat kebhinekaan Indonesia selama 71 tahun.

Referensi buku:

Diah Wardhani dan Afdal Makkuraga Putra (eds.). (2012). Reposisi Komunikasi dalam Dinamika Konvergensi.Jakarta: Kencana.
Denis McQuail (2010). McQuail’s Mass Communication Theory (6th ed). London: SAGE Publications Ltd.
J.Riel, Christian, S., & Hinson, B. (2012). Charting digital literacy: A framework for information technology and digital skills education in the community college.Presentado en Innovations.
Facebook: Ale Theia  
Twitter: charlesemanueld

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun