Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengawetkan Kebhinekaan dengan Literasi Sosial Media

29 Agustus 2016   15:43 Diperbarui: 29 Agustus 2016   18:05 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 29 dan 30 Juli lalu benar-benar merobek kebhinekaan kita. Kerukunan yang telah terpelihara dan berusaha di jaga di tempat itu sirna seketika. Ironisnya, aksi anarki sekelompok orang yang merusak rumah ibadat umat agama Buddha dan Konghucu di tempat itu diletup oleh provokasi yang dilakukan orang tak bertanggung jawab melalui sosial media.

Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian seperti dilaporkan Kompas.com,Kamis 4 Agustus 2016, mengaku chaostersebut sebenarnya adalah persoalan individu. Ada yang merasa terganggu dengan suara adzan lantas melakukan protes.

Kita tentu menyayangkan si pemrotes suara adzan itu yang terkesan antipati terhadap ritus keagamaan yang lumrah. Sebagai orang yang sudah lama berdiam di daerah majemuk itu, suara adzan bukan lagi hal baru, atau sesuatu yang patut dipertanyakan.

Itulah bagian dari laku keagamaan yang patut dihormati. Dari pengakuan Kapolri kita akhirnya mafhum bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan kepribadian si pemrotes itu seperti tergambar dalam pernyataan “orangnya suka keras dan kasar kalau bicara sama tetangga di lingkungannya.”

Menurut Kapolri, masalah individual itu sudah diselesaikan secara baik dengan mediasi pihak Kepolisian. Namun yang terjadi kemudian sungguh di luar nalar. Bagaimana bisa ketidaksukaan satu orang terhadap satu hal di satu tempat lantas berubah menjadi amuk masa yang membabi buta.

Protes satu orang atas suara adzan berganti gelombang sentimen keagamaan yang luas. Apakah si pemrotes itu mewakili kelompok keagamaannya? Apakah rasa terganggu si pemrotes itu adalah representasi rasa ganggu bersama? Lantas, merusak rumah-rumah ibadat adalah harga yang pantas dibayar?

Irasionalitas menjadi semakin kuat ketika kita mengetahui bahwa amuk massa tersebut diletup provokasi tak berdasar oleh sosok tak kasat mata yang beroperasi dari jarak yang sangat jauh. Terkuak, gambar-gambar masjid yang dirusak sengaja disebarkan sosok yang kemudian diidentitikasi berinisial AT (41), warga Jakagarsa, Jakarta Selatan melalui situs jejaring sosial Facebook, lantas dengan cepat menundukkan akal sehat dan berubah menjadi api kemarahan yang membara. Padahal gambar-gambar tersebut adalah kejadian pada tahun 1990-an di tempat berbeda.

Bagaimana bisa AT dari Jakarta dengan cepat memancing emosi dan membakar amarah warga nun di Tanjungbalai sana? Bagaimana bisa postingan gambar-gambar lain dengan mudah menipu warga Tanjungbalai, memberi kesan bahwa mesjid di sana benar-benar telah dirusak? Bagaimana bisa satu-dua postingan bermetamorfosis menjadi kabar genting yang berhembus ke seantero Sumatera Utara, bahkan tak terkecuali kita di tempat-tempat lain? Bagaimana bisa melalui telepon genggam dan sebuah akun yang bisa dibuat secepat kilat bisa mencabik-cabik keharmonisan yang sudah dijaga selama bertahun-tahun?

Pada titik ini kita tertegun. Di satu sisi, walau tergaris sebagai bangsa ber-bhineka tunggal ika soal agama-juga anasir SARA lainnya- di negeri ini masih sangat sensitif. Akal sehat bisa lenyap seketika bila agama “disentuh.” Genderang “perang” lekas ditabuh bila ada yang menyentil atribut agama. Perpecahan pun mudah terjadi dengan memainkan bidak agama.

Di sisi lain, isu agama sangat “seksi” dijual, dipermainkan, dan dijadikan objek untuk kepentingan sesat. Laku AT menjadi bukti betapa “seksinya” agama di jaga maya dan betapa “berbahayanya” sosial media untuk memantik apa yang dalam istilah kekinian disebut ujaran kebencian (hate speech).

Umat lintas agama membersihkan Wihara Tri Ratna, Minggu (31/7/2016), yang dirusak massa di Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat (29/7/2016). Gambar dan keterangan gambar KOMPAS/NIKSON SINAGA.
Umat lintas agama membersihkan Wihara Tri Ratna, Minggu (31/7/2016), yang dirusak massa di Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat (29/7/2016). Gambar dan keterangan gambar KOMPAS/NIKSON SINAGA.
Pisau bermata dua

Ujaran kebencian adalah ancaman yang sedang kita hadapi saat ini. Kemunculannya tak bisa lepas dari “berkah” yang kita terima dari perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi yakni internet. Pakar komunikasi massa, Denis McQuail dalam bukunya McQuail’s Mass Communication Theory (2010:144) menyebutkan realitas baru yang ditawarkan oleh internet melalui aneka media baru.

Beberapa dari antaranya adalah interactivity (diindikasikan oleh rasio respons atau inisiatif dari pengguna terhadap tawaran dari sumber/pengirim), social presence (dialami oleh pengguna, sense of personal contactdengan orang lain), media richness (media baru dapat menjebatani adanya perbedaan kerangka referensi, mengurangi ambiguitas, memberikan isyarat-isyarat, lebih peka dan lebih personal), autonomy (seorang pengguna merasa dapat mengendalikan isi dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap sumber), playfulness (digunakan untuk hiburan dan kenikmatan), privacy (diasosiasikan dengan penggunaan medium dan/atau isi yang dipilih), dan personalization (tingkatan di mana isi dan penggunaan media bersifat personal dan unik).

Seperti pisau bermata dua, internet tak hanya mendatangkan faedah. Tetapi juga mudarat. Kita bisa berkaca pada sejarah bangsa ini yang mulai merasakannya sejak kehadiran internet pada era 1990-an. Tepatnya, sejak lengsernya rezim Soeharto pada 1998 dan dibukanya keran lisensi kepada PT Rahajasa Media Internet sebagai Internet Service Provider komersial pertama di Indonesia pada 1996.

Sebelum keran demokrasi dan otoritarianisme dibuka, menurut Agus Triyono, kaum oposisi kelas menengah perkotaan menggunakan internet sebagai media berkomunikasi antaraktivis demi menghindari sensor pemerintah yang diterapkan terhadap media konvensional. Internet dipakai para aktivis untuk berkoordinasi dan mengukur seberapa besar dukungan internasional terhadap aksi demonstrasi yang hendak dilakukan.

Setelah Suharto lengser, wajah internet itu menjadi semakin nyata. Masyarakat, siapa saja, secara bebas berkomunikasi dan mengungkapkan pikiran politik tanpa pembatasan. Aplikasi demokrasi tidak lagi bersifat face to face tetapi teledemokrasi. Dalam dunia maya (cyberspace) terbentuk begitu banyak komunitas cyberentah dalam jejaring sosial Facebook, twitter, line dan sebagainya.

Interaksi dapat dilakukan secara intensif tanpa batas personal dan demografi. Karena itu ia dapat menjadi penggerak bagi sebuah komunitas atau massa untuk menyikapi sebuah isu atau persoalan bangsa. Contoh, ada dukungan cyber-society terhadap perlakuan RS Omni Internasional tehadap Prita Muliasari (bdk. Kompas,Rabu, 3 Juni 2009).

Ranah virtual tidak pernah luput dipakai sebagai media komunikasi antara pemimpin dan rakyatnya atau calon pemimpin dengan konstituen. Tidak sedikit kegiatan wakil rakyat yang menggunakan media blog, Facebook, Twitter sebagai saluran berkomunikasi dengan masyarakat untuk mendapatkan informasi, saran maupun kritik atas kebijakan yang dilakukan. Contoh ada komunitas Jokowi dalam jejaring Facebooksebagai sarana berkomunikasi antara pemimpin dan masyarakat.

Selain sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi, internet dapat dipakai sebagai sarana untuk mempercepat pelayanan publik. Konsep e-govermentmenjadi salah satu solusi memperbaiki kelambanan pelayanan terhadap masyarakat meski perlu didukung oleh penguasaan teknologi baik pada level pemerintah maupun masyarakat.

Bentivegna sebagaimana dalam McQuail (2010:152) coba merangkum sejumlah keuntungan potensial penggunaan internet. Pertama,interaktif. Ada komunikasi antara komunikator dan komunikan (pemimpin dan rakyatnya) bahkan jika dimanfaatkan secara tepat dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tampuk kepemimpinan seperti yang ditunjukan Obama di Amerika Serikat.

Kedua,aspek kesetaraan. Komunikasi, dalam dunia maya setiap orang adalah setara. Berbeda dalam dunia nyata, ada hirarki yang amat jelas antara pemimpin dan rakyat. Ketiga,adanya efisiensi kerja bagi para jurnalis sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat karena dibantu oleh internet sebagai medium perantara pula.

Keempat, low-cost. Dibandingkan dengan pertemuan secara langsung (tatap muka) dengan berbagai prosedur dan aturan protokoler yang memakan biaya yang tidak sedikit, internet menawarkan biaya yang murah dan sekaligus menghemat waktu. Prinsip ini di Indonesia diterapkan oleh sejumlah pemimpin di antaranya saat Dahlan Iskan menjabat Menteri BUMN dengan membentuk group-group BBM untuk berkomunikasi dan melangsungkan pertemuan tanp harus bertemu muka.

Kelima,kecepatan. Berbagai kebijakan yang diambil dapat disebarkan secara cepat dan diterima oleh masyarakat luas, sehingga diandaikan implementasinya pun dapat segera dibuat. Keenam,hilangnya batasan geografis. Dalam waktu bersamaan informasi kebijakan dapat diterima oleh masyarakat di Jakarta dan Sumatra.

Namun berbagai kemudahan itu pun membawa persoalan. Hubungan-hubungan sosial dan komunikasi yang dbangun menjadi dangkal. Informasi hanya didapat melalui pertukaran lewat akun dan isi di dalamnya belum tentu merupakan sebuah fakta. Ada peluang bahwa informasi yang dikonsumsi dan didistribusikan tidak valid.

Kemajuan media sosial yang pesat membuat kita menjadi sulit untuk membedakan fakta dari opini, kebenaran dan kebohongan. Dengan memanfaatkan berbagai platform sosial media orang-orang beramai-ramai mengejar popularitas dan berlomba-lomba mengabarkan tentang selebritas. Hoax atau kabar bohong menjadi laris-manis. Alih-alih melakukan klarifikasi (debunk),yang terjadi justru penyebaran yang masif dan tak terkendali.

Manipulasi, pemelintiran, rekayasa dan black campaign (antara individu, individu dengan kelompok yang lebih luas atau antara pemimpin dan masyarakat atau sebaliknya serta antara para pemimpin) bertumbuh subur.

Selain itu, media sosial menjadi medium strategis untuk aktivitas kriminal, seperti perdagangan obat terlarang, prostitusi online, penipuan dan pornografi anak. Tak hanya itu. Media daring dimanfaatkan pula untuk menyebarkan ujaran kebencian berbasis suku, agama, rasa dan antar golongan, serta medium penyebaran paham hingga perekrutan anggota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) seperti yang sudah dan sedang ditangani pihak Kepolisian.

Mengapa berbiak?

Perkembangan teknologi tidak dapat dielak oleh siapapun. Media sosial hanyalah alat sehingga tidak salah dalam dirinya sendiri. In seia diciptakan tidak untuk merusak tatanan. Persoalannya adalah pada pengguna. The (wo)men behind the gun.Mengapa ujaran kebencian mudah berbiak di Tanah Air?

Doddy BU, pendiri Information Communication and Technology (ITC) Watch seperti ditulis Antony Lee di Kompas,Senin, 8 Agustus 2016, hal.2, memiliki hipotesis tersendiri. Menurutnya, fenomena tersebut adalah produk buruk rezim otoritarian yang membungkam kebebasan berpendapat dan pertukaran informasi.

Sebelum keran demokrasi dibuka pada 1998 dengan lengsernya Soeharto, kebebasan berpendapat dan bertukar informasi dikekang. Alih-alih bebas berpendapat dan mengungkapkan pikiran serta menyebarkan informasi, yang terjadi adalah pembungkaman dan sensor yang ketat. Tak heran dalam situasi terjepit itu, kultur debat secara kritis dan berargumentasi tak tumbuh.

Maka saat kebebasan dibuka, masyarakat gagap dan gamang menghadapi kebebasan itu. “Orang-orang belun sepenuhnya paham bagaimana mengungkapkan ekspresinya, tetapi tetap menghormati orang lain,”tulis Antony.

Ketika kemajuan internet menyapa Indonesia dan penggunanya meningkat, tak ada usaha untuk mendorong literasi media sosial. Informasi terkait bagaimana kode etik berinternet yang sehat, minim. Tak heran, lanjut Antony, tidak sedikit netizen yang tidak tahu batasan antara kritik, ujaran kebencian atau ujaran berbahaya lainnya.

Literasi sosial media

Mendorong gerakan literasi sosial media adalah penting. Itu ada pilihan yang paling mendasar untuk mengimbangi penetrasi internet yang begitu cepat dengan tingkat “keaktifan” penggunaan media sosial di kalangan masyarakat kita yang begitu tinggi.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pengguna internet di Indonesia telah mencapai 82 juta orang dari total populasi sekitar 259 juta jiwa. Indonesia menempati peringkat delapan dunia dari total 3,4 miliar pengguna atau 50 persen penduduk dunia.

Pengguna internet secara global/data dan gambar dari wearesocial.com.
Pengguna internet secara global/data dan gambar dari wearesocial.com.
Jumlah pengguna meningkat signifikan dengan tingkat penetrasi sebesar 34 persen. Menurut data WeAreSocial, rerata orang Indonesia menggunakan internet per hari melalui PC (Personal Computer) atau tablet selama 4 jam 42 menit. Sementara tak kurang dari 3 jam dan 33 menit dihabiskan saban hari untuk berselancar di dunia maya menggunakan ponsel pribadi.

Sebanyak 79 juta dari 88,1 juta pengguna itu merupakan pengguna media sosial aktif. Berdasarkan pengakuan Business Group Head Facebook Reyold D’Silva seperti dilansir Kompas.com,Jumat 15 April 2016, Indonesia merupakan pasar terbesar jejaring sosial yang muncul sejak 2004 temuan Mark Zuckerberg dan kolega.

Pengguna internet berdasarkan platform baik jejaring sosial (warna kuning) maupun messenger/chatt (warna merah)/gambar dari www.techinasia.com.
Pengguna internet berdasarkan platform baik jejaring sosial (warna kuning) maupun messenger/chatt (warna merah)/gambar dari www.techinasia.com.
Hal itu tak lepas dari popularitas facebook yang melebihi platform sosial media lainnya seperti Twitter, Google+, Linkedin, Instagram dan Pinterest. Jumlah pengguna aktif bulanan (mereka yang mengakses Facebook paling kurang sekali sebulan) mencapai kisaran 82 juta.

Sementara pengguna aktif harian (selalu membuka Facebook tiap hari), menginjak angka 43 juta. Tak pelak pengguna jejaring sosial yang berbasis di Menlo Park, California, Amerika Serikat itu tertinggi di Indonesia dan menempati urutan keempat di dunia setelah Amerika Serikat (194 juta), India (130 juta) dan Brasil (102 juta).

 Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah dari waktu ke waktu mengingat berbagai kemudahan dan terobosan yang terus dilakukan para raksasa sosial media itu. Bila tak diimbangi dengan kesadaran penggunaan secara baik maka potensi negatif sosial media akan semakin merebak.

Mengutip dan melengkapi konsep Paul Gilster, pencetus istilah digital literacy (literasi digital), literasi sosial media secara sederhana diartikan sebagai  kapabilitas menggunakan teknologi dan informasi secara benar, sadar, efekti f dan efisien. Media sosial tidak dipandang sebagai musuh yang harus dienyahkan, tetapi sarana untuk kepentingan yang sehat.

Pengguna facebook di Indonesia terbanyak berusia 13-19 tahun/data dan gambar dari www.smartbisnis.co.id.
Pengguna facebook di Indonesia terbanyak berusia 13-19 tahun/data dan gambar dari www.smartbisnis.co.id.
Sasaran literasi sosial media, mengikuti hasil penelitian Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah Workhsop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di Indonesia di Yogyakarta pada 2011 antara lain: (1) mampu menggunakan media secara efektif untuk memenuhi kebutuhan diri dan masyarakat; (2) mampu bersikap kritis terhadap konten baik pesan, bahasa dan sebagainya; (3)bisa menggunakan media secara kreatif untuk mengekpresikan ide dan pendapat; (4) menjadi kreatif untuk menciptakan konten yang sehat untuk kepentingan bersama (5)mampu mengakses, memilih, memilah, menyimpan dan berbagi konten secara kritis.

Di sisi berbeda literasi media penting untuk mengimbangi langkah yang ditempuh pemerintah untuk menegakan aturan atau cyber law.

Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the Law of internet mengemukakan tentang ruang lingkup dari cyber lawyakni Hak Cipta (Copy Right);Hak Merk (Trademark); Pencemaran nama baik (Defamation); Fitnah, penistaan, Penghinaan (Hate Speech); Serangan terhadap fasilitas computer (Hacking, Viruses, Illegal Access); Pengaturan sumber daya internet seperti IP_Address, domain name; Kenyamanan Individu (Privacy); Prinsip kehati-hatian (Duty care); Tindakan criminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat; Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll; Kontak/transaksi elektronik dan tanda tangan digital; Pornografi; Pencurian melalui intenet; Perlindungan Konsumen; Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti ecommerce, e-government,e-education, dll.

Indonesia belum memiliki definisi yang pasti tentang Cyber Law ini. Namun hal ini telah dibicarakan dalah sejumlah regulasi seperti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.

Usaha penegakan ini bukan tanpa kendala. Terminologi “ujaran kebencian” sangat luas mencakup tujuh hal yakni penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong berdasarkan 11 aspek yakni agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

Karena itu usaha ini menjadi kompleks dan problematis, termasuk di negara-negara Eropa yang lebih matang kebidupan demokrasinya sekalipun. Langkah sensor yang ditempuh Kementerian Informatika dan instansi terkait menjadi pelik.

Gambar dari www.yai.ac.id.
Gambar dari www.yai.ac.id.
Menurut Pengajar Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Budiawan, secara teknis sensor konten kurang efektif mengingat sistem sensor berdasarkan kata kunci tertentu berpotensi salah konteks.

Demikian pun bila ingin menerapkan kebijakan seperti yang diterapkan Komisi Eropa sejak akhir Mei 2016 yakni menekan perusahaan teknologi informasi besar untuk terlibat memerangi ujaran kebencian di Facebook, Twitter, Youtube dan Microsoftdi antaranya dengan menghapus ujaran kebencian dalam waktu kurang dari 24 jam.

Hal tersebut bakal menemui hambatan mengingat provider sosial media raksasa itu berbasis di luar negeri dan servernya tak ada di Indonesia. Apakah pemerintah menjamin mampu berkomunikasi secara cepat dan tepat dengan para raksasa itu sebelum ujaran kebencian tersebar luas? Dalam kasus Tanjungbalai, dalam hitungan detik, seperti sifat sosial media di atas, ujaran kebencian itu beredar cepat.

Sehingga langkah tepat dan urgen adalah membangun kesadaran para pengguna. Usaha tersebut lebih menyasar kepada para pengguna, ketimbang menempuh langkah teknis yang sifatnya menekan atau mengurangi “pasokan” ujaran kebencian. Bila kecakapan dan etika bersosial media tak juga dibenahi maka “pasokan” ujaran kebencian itu akan bertumbuh bak jamur di musim hujan dan usaha pemerintah pun tak lebih dari lakon sisifus.

Pelanggaran UU ITE pasal 28 ayat 2 dengan sanksi pidana penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar bagi para penyebar ujaran kebencian tak akan berdaya meredam praktik-praktit tak terpuji itu. Malah harga yang dibayar akibat penyebaran informasi bohong dan provokatif berdasarkan SARA jauh lebih mahal seperti yang kita saksikan di Tanjungbalai.

Lantas, langkah konkret apa yang perlu dilakukan untuk membangun literasi sosial media terutama demi menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia? Pertama,memanfaatkan jalur formal (sekolah dan universitas) untuk mengajari kecakapan bermedia sosial. Tak hanya secara teknis melaui mata pelajaran komputer dan media, juga Ilmu Pengetahuan Sosial, kesehatan, dan bahasa.

Mereka tidak hanya diarahkan untuk pandai membaca, menyimak dan menulis di berbagai platform-yang tentu saja akan tahu dan berkembang dengan sendirinya-namun lebih dari itu mampu membedakan fakta dari kabar bohong, memilah situs dan alamat web  yang berguna dari yang “abal-abal” dan menjadi agen kerukunan melalui aneka kreasi yang bisa mereka gunakan melalui beragam platform sosial media.

Kedua,memperkuat basis penanaman nilai-nilai etis melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga agama. Sebagai prinsip yang mengajari tentang kebaikan dan kebenaran, pengajaran tentang etika yang benar itu bisa dilakukan di dalam keluarga, sekolah-sekolah, universitas, maupun melalui mimbar keagamaan. Penting menekankan toleransi, keberagaman, penghargaan terhadap kebebasan berekpresi, berpendapat dan memeluk serta melaksanakan praktik keyakinannya.

Orang tua, para guru dan pengajar, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, tokoh pemerintahan, bisa menjadi teladan untuk mengajarkan prinsip-prinsip etis tersebut. Saat ini hampir tak ada seorangpun yang tak berkawan dengan sosial media, termasuk para pemimpin dan tokoh terpandang.

Melalui akun-akun sosial media, mereka bisa mengampanyekan keberagaman, kerukunan, saling hormat menghormati dan menghargai perbedaan. Jangan sampai para tokoh menjadi aktor utama menyebarkan ujaran kebencian seperti yang masih kita saksikan di sejumlah akun sosial media sejumlah orang yang terpandang dan dianggap sebagai tokoh panutan.

Ilustrasi dari berani.id.
Ilustrasi dari berani.id.
Kedua, membangun kultur demokrasi mulai dari keluarga hingga lingkungan pendidikan. Seperti hipotesis di atas, menekan ruang berpebdapat, berdebat dan berargumentasi secara sehat sangat kontraproduktif dengan perkembangan teknologi yang berjalan begitu cepat dengan segala kebebasan dan keterbukaan yang dibuka secara luas.

Jangan sampai mengharamkan debat secara kritis, dan diskusi secara konstruktif, yang pada gilirannya akan menjadikan sosial media sebagai medan pelampiasan.

Dengan tanpa melakukan studi mendalam, debat kusir hingga menyerang pribadi marak dan masif terjadi di sosial media, menjadi bukti bahwa kita belum terbiasa dengan berbeda pendapat, gagasan, pikiran, hingga kelebihan dan kekurangan.

Ketiga,bersama-sama, mulai dari lingkungan formal hingga nonformal, mulai dari pempimpin agama hingga para pemeluk membalikkan ujaran kebencian dengan menyebarkan pesan damai. Melawan ujaran kebencian, berbagai lini sosial media menjadi mimbar untuk mengkampanyekan kedamaian, kerukunan dan toleransi.

Bila selama ini dilakukan secara kasat mata, maka segala kemudahan yang ditawarkan sosial media menjadi ruang lapang, tanpa sekat, dan penuh kesetaraan untuk berdialog secara konstruktif. Mengutip teolog asal Swiss, Hans Kung (88 tahun), dialog masih memainkan peran penting dalam membangun kerukunan bersama. “ Tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa, tanpa perdamain di antara agama-agama; tidak ada perdamaian di antara agama-agama, tanpa dialog antaragama.”

Akhirnya, sudah saatnya kultur-kultur tersebut dibiakan untuk mendorong melek literasi sosial media agar kemewahan yang ditawarkannya benar-benar menjadi berkah di tengah kemajemukan bangsa.

Sinyal ancaman terhadap kebhinekaan Indonesia sudah semakin nyata. Hal itu terlihat dari indeks kebebasan sipil yang menurun di tengah kemajuan Indeks Demokrasi Indonesia 2009-2015 (Emil Salim, “Bangun Bangsa Pancasila”, Kompas,Kamis, 25 Agustus 2016, hal.7). Indeks kebebasan sipil yang menyangkut kebebasan berkumpul dan berserikat; kebebasan berpendapat; kebebasan berkeyakinan; dan kebebasan dari diskriminasi menurun dari 86,97 (2009) menjadi 80,30 (2015). Jangan sampai sosial media semakin mempercepat laju penurunan itu karena kegagalan kita merangi ujaran kebencian. Bila sampai gagal maka betapa bersalahnya kita pada mereka yang telah bersusah payah merawat kebhinekaan Indonesia selama 71 tahun.

Referensi buku:

Diah Wardhani dan Afdal Makkuraga Putra (eds.). (2012). Reposisi Komunikasi dalam Dinamika Konvergensi.Jakarta: Kencana.
Denis McQuail (2010). McQuail’s Mass Communication Theory (6th ed). London: SAGE Publications Ltd.
J.Riel, Christian, S., & Hinson, B. (2012). Charting digital literacy: A framework for information technology and digital skills education in the community college.Presentado en Innovations.
Facebook: Ale Theia  
Twitter: charlesemanueld

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun