Sementara dari kelapa kita dibangunkan dari mimpi. Lama tidak diperhatikan, tiba-tiba permintaan pasar kelapa baik air maupun daging meningkat karena sangat bermanfaat untuk kesehatan, namun apa daya peluang emas di depan mata tak kita tangkap maksimal karena kelapa sudah lama merana di Tanah Air.
Karena itu, bangunan yang kini tegak di Tawangmangu itu tidak hanya mengingatkan tetapi juga berdaya menggerakan para petani, pelaku usaha, akademisi, dan pemerintah. Menggerakkan kita semua yang tak ingin "dijajah" kedua kalinya.
Bila mengingat masa lalu sang kekasih, sang penyair Goenawan Mohammad bisa memandang sebuah poci keramik, prasasti minyak atsiri (dan kekayaan komoditas) kita kini ada di Tawangmangu. Namun, seperti poci itu, yang bisa retak dan pecah, maka terhadap Tawangmangu yang bisa dilupakan atau dianggap sebagai proyek mercusuar tanpa makna, atau obyek wisata belaka, pun ilusi saja (seperti pada goresan tahun 1973 itu), maka tugas kita kini adalah “membikinnya abadi”.
Selamat datang di Tawangmangu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H