Bahkan para pembuat dan penjual minyak atsiri seperti Yusuf di atas tak terlalu pahmam tentang pemanfaatannya. Ia hanya tahu bahwa ada permintaan tinggi yang mengalir ke mancanegara, seperti Singapura.
Kisah yang sama tertulis di halaman depan Kompas,Selasa 24 Maret 2016. Beberapa petani di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan beberapa daerah lain, tidak pernah tahu manfaat komoditas pinang, kemenyan, gambir, pala, cendana dan sebagainya.
“Meraka hanya mengetahui komoditas itu dijual ke pengepul dan kemudian baru diekspor ke Singapura dan negara lainnya.”
Menurut Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk Putri K Wardani, mengutip sumber tersebut, “banyak bahan baku kosmetik berasal dari tanaman di Indonesia, tetapi pengolahannya menjadi bahan penolong terjadi di luar negeri. Setelah itu, pengusaha baru mengimpor dari beberapa negara.”
Hal yang sama terjadi juga pada obat herbal. Walau menunjukkan tren penurunan, dari data Kompas, untuk kebutuhan obat herbal kita masih mengimpor jahe (6.308 ton pada 2013 dan 1.007 ton pada Januari-Juni 2014), temulawak (249 ton pada 2013 dan 170 ton pada Januari-Juni 2014), dan rempah-rempah lainnya (634 ton pada 2013 dan 334 ton pada Januari-Juni 2014) dari luar negeri. Per Januari-Juni 2014, Tiongkok masih menjadi sumber utama impor obat herbal (51,5 persen), India (17,8 persen), Nigeria (8,7 persen), Turki (5,2 persen), Belanda (5,2 persen), Jerman (2,7 persen), Vietnam (2,4 persen) dan Pakistan (1,7 persen).
Hal ini tentu disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya riset komoditas dalam negeri yang tak berjalan, minimnya dukungan dana pemerintah, minimnya perhatian akademisi, ketertutupan dari para pelaku usaha dan masih banyak lagi.
Intinya, bila hal ini tak segera dicarikan solusi, maka bukan hanya menjadi penonton di blantika bisnis dan industri komoditas yang kian menggiurkan, berbagai komoditas yang kini diburu asing itu menjadi semakin langka. Pada suatu waktu bakal punah seperti yang mulai terjadi pada getah kemenyan. Di Prancis minyaknya (setelah disuling) digunakan sebagai pengikat parfum supaya awet di badan, di Jerman getahnya dijadikan pengawet obat, dan ampasnya sebagai pewangi dupa di Tiongkok dan India.
Pada titik tertentu, keberadaan museum Atsiri adalah salah satu bentuk usaha untuk menghidupkan bahkan menggalakan kembali potensi minyak atsiri dalam negeri.
Keberadaan laboratorium anak, dan berbagai ikhtiar pendidikan dan keilmuan lain di museum tersebut, adalah jalan pulang untuk kembali pada kekayaan bangsa. Selain bertemu dan mengawetkan kekayaan itu, juga mengembangkan dan memaksimalkan secara ilmiah.
Dari kisah rempah-rempah kita belajar tentang pentingnya riset. Bahkan kini negara maju, yang sudah menemukan bahan aktif di dalam rempah, sedang mencari cara memproduksi bahan aktif secara massal di antaranya melalui pembiakan mikrobia. Dampaknya, kemasyuran rempah kembali melambung dan bila tak segera dikejar akan mengancam Indonesia karena mereka akan berpesta pora menikmati hasil dari tanaman yang hidup di bumi pertiwi.