Menulis bukan hanya soal teknik. Merangkai kata demi kata menjadi kalimat, paragraf hingga utuh sebagai sebuah tulisan, tak cuma bermodal waktu, kepandaian atau kecakapan linguistik. Ada faktor lain yang turut berperan agar tulisan yang dihasilkan itu bernyawa. Bisa hidup di hati pembaca, pun di sanubari sang penulis sendiri.
****
Sore itu, Sabtu 18 Juni 2016. Lewat pukul 16.00 petang. Studio Kompasiana yang terletak di lantai 6 Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Barat, Jakarta, terlihat seperti kapal pecah. Sejumlah barang bertebaran di sana sini mulai dari yang bersifat elektronik hingga perkakas ruangan. Namun, keadaan itu sama sekali tak memecah belah, apalagi memudarkan keceriaan kongkow sejumlah Kompasianer.
Suasanananya jauh dari kesan mentereng seperti promosi beberapa hari sebelumnya di Kompasiana dan jejaring sosial ikhwal acara bertajuk “Menangkap Momen dan Euforia Event Olahraga” yang sempat membuat saya harus berpikir serius untuk mempersiapkan diri.
Ternyata situasinya santai dan penuh keakraban. Sama sekali tak formal. Jumlah orang bisa dihitung dengan jari, mungkin karena itu pula, terasa sekali aura kedekatan di antara para penulis dan penggemar olahraga yang selama ini hanya bertemu dan bertutur sapa lewat kata. Seperti namanya, “Ngoplah,” Ngobrol di Palmerah, momen tersebut begitu cair dan hangat, seperti antarkawan lama yang sudah lama tak bersua.
Saya berkesempatan bertemu muka dan bercakap langsung dengan beberapa kompasianer yang selama ini hanya terjadi di ruang virtual. Mungkin saja karena jam terbang saya di Kompasiana yang terbilang “muda” alias pendatang baru. Bisa juga karena waktu dan kesempatan yang terlalu mahal.
Karena itu, Ngoplah kali ini datang pada waktu yang pas, persis ketika jagad nasional dan dunia disibukan dengan beragam agenda olahraga yang datang dan pergi silih berganti.
Kehadiran dua pembicara, Kompasianer Yayat dan Jalu Wisnu Wirajati dengan sendirinya membentuk topik pembicaraan sore itu. Yayat, fans sejati Valentino Rossi. Sementara Kang Jalu adalah seorang jurnalis berpengalaman yang sudah sangat akrab dengan sepak bola dan kini menjabat Assisten Managing Editor portal berita olahraga Juara.net. Jelas, yang satu bicara tentang balap. Lainnya, lebih tentang sepak bola.
“Jarang sekali ada tulisan tentang balap dan Vale,” demikian pengakuan Mba Yayat saat mulai “nge-blog” di Kompasiana pada Agustus 2010, atau dua tahun setelah komunitas itu berdiri.
Pemandangan serupa tak hanya terjadi enam tahun lalu, yang bisa jadi menjadi alasan lain Mba Yayat menulis di Kompasiana. Saat ini, situasi serupa tak juga berubah.
Di sisi lain, kehadiran Kang Jalu adalah representasi kaum dan isu mayoritas yang ramai diperbincangkan tanpa henti di Kompasiana. Walau bukan blogger, latar belakangnya sebagai seorang jurnalis profesional, membuka sisi lain yang kadang luput dari pengamatan Kompasianer. Sosok yang sudah belasan tahun bergulat dengan dunia olahraga itu menyuntik ilmu jurnalistik agar menjadi blogger profesional, blogger kekinian.
“Saat ini tulisan para blogger di Inggris lebih didengarkan dan dibaca,” aku penggemar berat Liverpool itu.
Nyaris Pingsan
“Yang saya bicarakan ini sebenarnya lebih sebagai sharing pengalaman saja karena mungkin saja ada Kompasianer yang lebih paham dari saya,” Mba Yayat merendah, membuka pembicaraan, tak lama setelah dipersilakan moderator Yos Mo.
Perjumpaannya dengan Velentino Rossi terjadi secara tak terduga. Saat dunia sedang mengelu-elukan pebalap asal Italia itu yang sedang bertarung di MotoGP 2002, Yayat hanya menatap sinis. “Siapa sih sosok yang pecicilan ini?” kira-kira demikian ringkasnya.
Namun, selepas tiga seri rasa sinis itu berganti penasaran. Yayat pun mulai jatuh hati setelah menyelami Rossi lebih jauh. Catatan prestasi dan kepribadian Rossi memerangkap Yayat dan membuatnya tak bisa lagi berpaling dari pebalap berambut kribo itu.
“Rossi itu sosok yang sangat menghibur, selalu juara, ramah, jago balap,”ungkap Yayat mantap.
Bahkan menurut Yayat, kepribadiannya yang sangat bersahaja itu selalu terpancar dalam segala situasi. Saat capek sekalipun, lanjut Yayat, kesahajaan itu tak juga pudar.
“Saat capek ia selalu tersenyum. Walau mulut tak bisa berbicara, dari mata terpancar keramahannya. Hal seperti itu tak ada pada pebalap lain.”
Pengakuan yang mengalir lancar dari mulutnya itu akhirnya membut kita mafhum mengapa Yayat sedemikian jatuh hati kepada Vale. Tak sekadar memuji, Yayat pun membuktikan bahwa Rossi benar-benar sosok idola.
Pada 2014 Yayat berjuang sendiri untuk menyaksikan pemilik nomor 46 itu melaju secara langsung di Sirkuit Sepang, Malaysia. Namun keputusannya untuk nonton langsung itu tidak datang dengan sendirinya.
Setelah “dikomporin” dan diyakinkan teman-teman yang sudah merasakan langsung sensasi menyaksikan sang idola dari dekat, Yayat akhirnya berubah sikap.
“Semula saya berpikir nonton langsung itu ribet, belum lagi butuh biaya. Mending nonton di TV,”
Yayat pun menyiapkan segala sesuatu sendirian mulai dari mencari informasi tentang akomodasi, harga tiket, hingga penginapan. Belum lagi saat berada di Malaysia, ia masih harus berjuang untuk bisa bertemu dengan sang idola. Semua itu benar-benar tak segampang membalikkan telapak tangan.
“Pagi-pagi jam 04.30 pagi teman udah ketuk kamar agar bisa segera sampai ke acara tanda tangan rider. Berangkat jam 7 dan baru mulai antri jam 11,” ungkapnya.
Namun, Vale bukan milik Yayat seorang. Dari pengakuannya saat mensambangi Sepang, dominasi fans Rossi terlihat jelas. “Jangan salah di Sepang pemandangan 70 persen berwarna kuning,” Tak heran bila Ia harus berjuang dengan ribuan orang untuk mendapat tempat terdepan. Bahkan untuk hal itu ia hampir jatuh pingsan.
“Jam 10 kami dapat kabar Vale tidak bisa melayani tanda tangan di tempat itu,” ungkap Yayat dengan raut sesal yang tampak masih terpelihara hingga kini.
Yayat tak kapok saat peristiwa tak mengenakkan kembali terjadi pada sesi pit line walk. Ia harus berjuang berdesak-desakan dengan 1.500 orang demi mendapatkan tempat terdekat dengan pagar pembatas agar bisa melihat Vale dari dekat.
“Udah nyelip masuk dekat pagar tetapi Vale tidak keluar. Setelah satu jam menanti baru diberitahukan oleh Dorna (penyelenggara MotoGP),” kisah Yayat.
“Sebagai gantinya motor Vale dikeluarkan. Mungkin sebagai bentuk hiburan kepada ribuan orang yang telah menanti.”
Perjuangan demi perjuangan untuk bertemu sang idola akhirnya terwujud setahun kemudian. Dengan proses yang kurang lebih sama, Yayat pun bisa melihat dari dekat sang idola.
“Tak bisa berkata-kata. Unforgettable,” beber Yayat dengan wajah berseri-seri.
Tak hanya berburu kesempatan saat musim balap di Sepang tiba. Yayat juga menunjukkan kecintaannya pada sang idola dengan turut membentuk komunitas fans Valentino Rossi yang tergabung dalam persekutuan Fan Club Valentino Rossi Indonesia (FCVRI) pada 16 Feruari 2014, tepat di hari ulang tahun Rossi.
Dengan segala dinamikanya FCVRI terus berkembang dan diorganisir dengan baik. Hal itu terlihat dari jumlah anggota yang terorganisasi dalam regional-regional mulai dari Papua (Timika, Jayapura), Jawa, Makassar, Bali, Medan, hingga Lampung.
Mereka tak hanya diikat dengan rasa cinta kepada sosok yang sama, dan hubungan tak hanya diantarai oleh jejaring sosial. Tali silaturahim di antara mereka juga dibangun secara kasat mata melalui aktivitas nonton bareng, kopi darat, touring, dan bakti sosial.
“Di bulan puasa kali ini regional Jakarta juga bagi-bagi takjil,” tutur Yayat menyebut salah satu contoh kegitan mereka bertempatan dengan bulan puasa kali ini.
Berbagi
Segelintir pengalaman itu menunjukkan bagaimana ‘kedekatan” Yayat dengan Rossi. Kedekatan itu tak disimpannya sendiri. Ia kemudian menuangkannya dalam tulisan di Kompasiana.
Yayat sendiri punya prinsip, yang kemudian dijadikannya sebagai tips, bahwa setiap informasi tak elok bila dipendam. Prinsip berbagi itu kemudian mendatangkan kepuasan tersendiri bagi Yayat.
Keyakinan itu benar-benar dipegang teguh. Sejauh pengamatan saya, Yayat hampir tak pernah melewatkan sedikitpun informasi tentang sang idola. Tolak ukur sederhana saja. Apakah setiap sesi balapan, Yayat bakal absen membuat reportase? Tentu saja tidak. Bila tak percaya, silahkan cek!
Saya sempat membuat ekperimen sendiri untuk membuktikan hal itu. Momen itu terjadi saat perhelatan Tour de Flores yang dimulai sejak 19-23 Mei lalu. Saat itu, Yayat terpilih meliput mewakili Kompasiana.
Berada di Flores yang notabene memiliki infrastrukter terutama komunikasi yang terbatas, serta agenda liputan yang padat, saya pun bertanya-tanya, apakah Yayat bakal melewatkan liputan tentang seri Mugello, Italia yang jatuh pada tanggal 22 Mei? Ternyata tidak. Dari jauh, Yayat tetap mengisi ruang di Kompasiana.
Sejak mulai menulis tentang Vale pada Agustus 2010, kini jumlah tulisannya di Kompasiana berjumlah 538 dan lebih dari separuh, atau 538 tentang dunia yang disukai dan sosok yang diidolai yakni MotoGP dan Vale.
Beberapa alasan itu akhirnya membuat Yayat hampir selalu diidentikan dengan Vale. Yayat sendiri merasakan hal itu. Sehingga tak heran Yayat kerap disapa Nyonya Vale. Baginya itu merupakan konsekuensi positif-untuk mengatakan berkah yang kemudian disebutnya sebagai personal branding.
Profesional
Bila Yayat dekat dengan Rossi dan telah mewujudkannya dengan berbagai cara, Kang Jalu memiliki cara tersendiri. Sebagai seorang jurnalis olahraga, Kang Jalu juga tak bisa menutup diri sebagai penggemar sepak bola.
Ia mengaku Liverpool mendapat tempat utama di hatinya. Selain itu ia juga menggemari klub Inggris lainnya yakni Crystal Palace. Alasannya menyukai Crystal Palace pun sederhana yakni lantaran pada suatu ketika pernah mengalahkan Manchester United.
Namun demikian sebagai seorang jurnalis, Kang Jalu selalu berusaha untuk menampilkan diri secara profesional. Profesionalisme dalam menulis itulah yang kemudian dibagikannya dalam tajuk Reporting Sports Story.
Hemat saya, ada beberapa poin penting dari pemaparan Kang Jalu yang bisa dipetik oleh para blogger. Pertama, memanfaatkan potensi unggul. Menurut Kang Jalu, blogger memiliki sejumlah keunggulan yang tak dimiliki para jurnalis.
Bila seorang wartawan terikat dengan target, deadline, ruang, atau juga framing tertentu, tidak demikian dengan blogger. Waktu lebih luas sehingga seorang blogger bisa lebih fokus dan leluasa untuk menulis.
Keunggulan inilah yang sejatinya menjadi modal untuk menghasilkan tulisan yang bermutu dengan gaya tulisan tertentu dan karakter yang kuat. Ditambah dengan riset yang kuat dan perencanaan yang matang, rasa ingin tahu yang tinggi, visualisasi yang kreatif (penambahan gambar, video dll), maka bukan mustahil akan menghasilkan tulisan yang bernas dan diapresiasi.
Kedua, berani tampil beda. Menurut Kang Jalu, dan sebagaimana kecenderungan umum, tulisan yang berbeda dari kebanyakan akan mendapatkan respon yang lebih. Mengikuti arus informasi atau topik yang sedang hangat diperbincangkan (riding the waves) boleh saja. Malah penting. Namun, melihat dan mengangkat sisi lain dari arus umum itu akan menjadi nilai lebih.
Namun, tampil beda atau nyeleneh tidak lantas berarti serampangan. Berkali-kali Kang Jalu menekankan soal objektivitas. “Boleh saja menjadi blogger ‘nakal’ tapi harus based on data.”
Tak bisa dipungkiri data menuntut akses. Pada titik ini patut diakui, dalam arti tertentu, tingkat aksesibilitas seorang jurnalis lebih besar dari blogger. Namun, menurut kang Jalu dengan berkaca pada pengalaman Amerika Serikat, bukan mustahil pada suatu ketika baik blogger maupun jurnalis akan mendapatkan akses yang sama.
Walau akses terbatas tak berarti tak ada jalan sama sekali. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, terutama ketersediaan internet, memungkinkan para blogger untuk mendapatkan informasi dan data memadai.
Dengan informasi serba ada, selain bersandar pada data yang benar dan tepat, Kang Jalu mengingatkan, agar tak alpa melakukan cross check atau mencari data pembanding.
To report well in a sport, you must know the sport thoroughly. Kira-kira demikian inti sarinya seperti diungkapkan Kang Jalu.
Lidah dan Rasa
Sulit memang untuk menarik benang merah pembicaraan sore itu. Di satu sisi Yayat enggan mengaku sebagai jurnalis walau dalam banyak hal telah menghidupi prinsip-prinsip jurnalisme. Sementara Kang Jalu telah tinggal tetap dalam dunianya sebagai jurnalis profesional.
Namun, dari pemaparan mereka ada hal kecil yang saling bersinggungan. Yayat dengan mudah menghembuskan kedekatannya terhadap dunia dan sosok yang diidolakan pada setiap tulisan.
Dengan kelebihan dan kekurangannya, tulisan Yayat tentang Vale adalah ekpresi jujur terhadap seorang idola. Karena saking dekatnya itu, Yayat masih belum bisa berpaling ke cabang olahraga lainnya.
“Saya pernah mau coba tulis F1, tetapi belum dapat feel.”
Rasa atau feel itu dirasakan pula oleh Kang Jalu yang sudah belasan tahun jatuh hati pada olahraga, terutama sepak bola. Menurutnya kejujuran sebagai nilai dasar olahraga sukar dimanipulasi.
Menyaksikan pertandingan sepak bola, hampir tak ada orang yang bisa membantah apalagi menyangkal ketika seorang striker mencetak gol. Pun air mata dan tawa seorang pemain adalah ekpresi jujur dari hati.
“Sport tidak mengajarkan kebohongan. Ekpresi di lapangan itu jujur,” aku Kang Jalu.
Bila bisa disimpulkan, Yayat dan Kang Jalu, atas cara mereka telah menghidupi seperti bunyi salah satu iklah produk makanan. Bagi mereka, menulis itu seperti lidah dan rasa, tak pernah bisa bohong.
N.B:
Foto-foto dalam tulisan ini diambil dari akun Facebook Rahab Ganendra yang diposting di grup KOPROL. Mohon izin dan terima kasih sebelumnya kepada Mas Rahab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H