Hamdan Daulay menjelaskan bahwa sejarah jurnalisme dan pers di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yakni sejarah pers kolonial, sejarah pers Cina, dan sejarah pers nasional.Â
Era Kolonial Belanda
Sejarah panjang jurnalisme Indonesia dimulai dalam era penjajahan Belanda.Â
Jurnalisme pada era tersebut ditandai dengan diterbitkannya surat kabar Memories der Nouvelles pada tahun 1615 oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen.
Awalnya, surat kabar masih diproduksi secara manual sebelum akhirnya mengeluarkan versi cetak pertama pada tahun 1688.
Setelah kemunculan surat kabar pemerintah Hindia Belanda tersebut, mulai lahir pula surat kabar lainnya yang diterbitkan oleh masyarakat pribumi maupun masyarakat keturunan etnis Tionghoa.
Kemudian, perkembangan dunia jurnalisme dan surat kabar di Indonesia pada masa itu terus meningkat pesat.
Tercatat bahwa terdapat sekitar 30 surat kabar berbahasa Belanda, 27 surat kabar berbahasa Indonesia, dan satu surat kabar berbahasa Jawa pada pertengahan abad ke-19.
Era Penjajahan Jepang
Kedatangan Jepang membawa perubahan yang masif pada dunia jurnalisme di Indonesia.
Seluruh surat kabar digabungkan menjadi satu dan dipaksa memuat konten yang telah disesuaikan dengan rencana serta tujuan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Perkembangan jurnalisme dan pers pada masa penjajahan sangatlah sulit.Â
Pembatasan secara ketat pers dan pemaksaan untuk mengikuti kepentingan pemerintahan Jepang pada waktu itu.
Era Pasca Kemerdekaan (Orde Lama)
Pada pasca kemerdekaan, Indonesia masih belum stabil dan terancam kedaulatannya oleh pihak-pihak luar.
Saat itu, surat kabar digunakan sebagai alat pendorong semangat dan motivasi para pejuang untuk melawan penjajah.
Surat kabar memegang peranan krusial sebagai sumber informasi bagi masyarakat Indonesia sekaligus menghindari sebaran propaganda media Belanda.
Namun setelah kedudukan Indonesia mulai stabil dan menguat kedaulatannya, fungsi pers justru berubah arah.
Surat kabar justru mulai dimanfaatkan sebagai senjata politik yang bertujuan menyerang lawan politik sehingga dapat memperoleh kekuasaan di badan pemerintahan Indonesia yang baru.Â
Banyak surat kabar yang dibredel karena dianggap melawan pemerintah saat itu, dan tak sedikit wartawan yang ditangkap karena dianggap mengancam pemerintahan.
Parahnya kondisi pers saat itu membuat tanggal 1 Oktober 1958 dianggap sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia dengan semakin banyaknya jumlah surat kabar yang dipaksa tutup dan wartawan ditangkap.Â
Terlebih lagi, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang semakin mempersempit ruang gerak dan kebebasan pers di Indonesia.
Tak lama kemudian, Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan baru yang mengharuskan setiap media massa seperti surat kabar dan majalah harus mendapatkan dukungan oleh minimal satu partai politik atau tiga organisasi massa.Â
Alhasil, seluruh surat kabar tidak ada yang bersifat netral dan justru berisikan kepentingan masing-masing organisasinya.
Era Pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru)
Era ini dikenal juga sebagai era demokrasi liberal yang berpengaruh pada kebebasan pers di Indonesia.
Hal ini dikarenakan setiap orang diperbolehkan menerbitkan media massa berupa surat kabar atau majalah tanpa memerlukan pengesahan pihak manapun selama memiliki modal.
Dengan begitu, masyarakat Indonesia terutama dari kalangan wartawan menjadi lebih bebas dan lapang dalam mengemukakan pendapat dan aspirasi mereka.
Namun justru karena itu pula, banyak surat kabar dan majalah menjadi tidak bermutu karena berlomba menerbitkan tulisan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kualitas media.
Selain itu, muncul permasalahan baru yaitu adanya media yang memuat konten pornografi dan disebarluaskan secara bebas dikarenakan tidak adanya pembatasan mengenai hal tersebut.
Karena keadaan semakin memburuk, pemerintah pun membuat peraturan yang berkaitan dengan dunia pers yang disesuaikan dengan dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966 yang disambut oleh kalangan wartawan dengan Deklarasi Wartawan Indonesia hasil dari konferensi kerja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Jawa Timur.
Era Reformasi
Pada era reformasi, surat kabar dan majalah terus beroperasi tanpa perlu pembaharuan izin karena Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sudah dihapuskan.
Jurnalisme di Indonesia segera berkembang pesat dan mencakup berbagai lapisan masyarakat karena semua kalangan masyarakat bisa membuat medianya sendiri.
Perkembangan jurnalisme dan pers meliputi media cetak, media digital, serta internet.
Keberadaan teknologi membuat akses internet menjadi jauh lebih cepat dan sanggup menjangkau area yang luas melalui komputer maupun gawai elektronik.
Masyarakat di berbagai daerah juga sudah tersentuh oleh arus informasi dan pemberitaan yang tersebar melalui media massa.
Seluruh media massa harus selalu memenuhi tanggung jawabnya dengan berpedoman pada UU Pers yang diakui bersama dalam dunia pers.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI