Mohon tunggu...
Chantika NurAsyfa
Chantika NurAsyfa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Blog/situs pribadi

Chantika Nur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seni dalam Hidup

23 Februari 2022   18:15 Diperbarui: 23 Februari 2022   18:26 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pukul 20.29 :  Awal mula hidup kami berantakan

Tok...tok...tok.... Ketukan pintu terdengar dari dalam rumah

"Elin... Ayah menitipkan adikmu yah, jaga adikmu dan sayangi dia, ayah akan pergi untuk beberapa saat. Percaya kepada ayah, ayah akan kembali dan mencarimu kemana saja meskipun kau sudah tidak di rumah ini lagi. Bila ada yang mencari ayah, ucapkan saja kau tak tahu apa-apa tentang semuanya. Ayah sayang kalian!" ucap ayah sambil mencium keningku dan Elsana adikku.

Aku menghela napas panjang sambil duduk di ujung pojok kamar, aku melihat punggung ayah untuk yang terakhir kalinya. Ia memasuki lemari yang merupakan itu adalah pintu rahasia untuk keluar dari rumah kami.

Bruuuugggg.... Suara dobrakan pintu dengan sangat kasar.

Seorang rentenir yang membuka semua sela-sela pojok bagian rumah untuk mencari ayahku, mereka membuka kan semua pintu dan jendela. Di luar hujan lebat dan petir tak ingin tertinggal. Saat gorden pintu kamar di buka, dingin seketika menyergap seluruh badanku, mengalir dari kaki, melalui pergelangan, menerobos ke dalam baju, dan kemudian masuk ke dalam hatiku, dingin sekali.

Angin malam disertai suara rintikan air hujan, seperti membekukan seluruh perasaanku, mengkristalkan semua keinginanku, ku kira malam ini adalah malam semua cerita hidup kami akan berakhir, tetapi aku salah, aku salah besar!. Malam ini adalah malam saat semuanya di mulai, saat ayah izin pamit dari kehidupan kami, saat semua barang-barang milik kami diambil, dan saat aku dan adikku harus mencari tempat tinggal baru untuk kami.

"Hai gadis manis, kemana ayahmu pergi?" ucap seorang rentenir yang badannya dipenuhi oleh tato.

"Mana saya tahu, saya dan adik saya ditinggalkan sebatang kara seperti ini!" ucapku ketus.

"Mulai besok rumah ini akan disita maka kau dan adikmu harus segera pergi dari rumah ini, mengerti?!." ucap seorang rentenir itu dengan penuh penegasan.

Aku mengangguk mengiyakan...

Meskipun mereka seorang rentenir yang terlihat cukup jahat dari perawakannya akan tetapi mereka tidak berani menyentuh kami sedikitpun, mereka tidak berani melukai kami meskipun ayah kami telah kabur. Mereka meninggalkan aku dan adikku di rumah. Lengang sejenak setelah kepergian mereka. Aku memikirkan kemana kami harus pergi, kami tidak memiliki siapapun, kami tak mempunyai keluarga disini.
Enam belas tahun aku tinggal di rumah mewah ini, jutaan kenangan keluarga kami, detik-detik terakhir bersama ibu kami untuk pertama kalinya aku meninggalkan tempat yang sangat berarti di hidupku, untuk pertama kalinya aku merasakan kebingungan tentang masa depan, untuk pertama kalinya aku kehilangan kepercayaan tentang janji masa depan yang terang. Mulai besok aku bukanlah Elinia anak yang mempunyai segala-galanya, aku bukanlah anak yang dimanja lagi, mulai besok aku adalah tulang punggung keluargaku, aku harus menjaga adikku dan aku harus tetap menjalani sekolahku.

Aku membenahi semua barang-barangku, aku membantu adikku yang usianya mungkin seharusnya belum mengerti situasi sekarang tapi ia tetap tenang dan membantuku membereskan barang-barangnya. Elsana itulah nama adikku, dia baru berumur 7 tahun. Ibu meninggal saat usianya baru menginjak 4 tahun sehingga ia tidak memiliki banyak ingatan kenangan tentang ibu. Ia terkadang sangat menyebalkan tetapi ia juga bisa sangat tenang disaat situasi seperti ini. Aku selalu takut jika ia merasa kekurangan sehingga ia merasakan beban sangat banyak dan dewasa sebelum waktunya, sehingga ia tidak bisa menikmati masa-masa kecilnya.

"Sana apa kamu ga merasakan ketakutan? Sejak tadi kau banyak diam dan tak merengek apapun ga kayak biasanya" ucapku di tengah keheningan.

"Takut apa? Ayah bilang ia hanya akan pergi untuk beberapa saat, dan dia janji akan kembali mencari kita, untuk barang-barangku yang mungkin gaakan kebawa semuanya, aku gapapa. Karena kalo nanti kakak dah banyak uang aku tinggal minta saja semuanya ke kakak kan?" ucap Sana.

Entah aku harus merasa sebal atau sedih oleh jawabannya tapi aku tetap harus terlihat tidak apa-apa karena dia sudah berusaha menahan ini semua dengan sangat baik. Kutimpuk dia dengan pakaian yang sedang ku lipat dan dia marah-marah sambil mengejarku. Itu mungkin adalah kenangan terakhir kami di rumah ini. Setidaknya kami meninggalkan jejak dengan banyak tawaan sehingga ibu bisa senang melihatnya di surga sana, dan ayah semoga tetap selamat dan dapat cepat kembali bersama dengan kami.

Keesokan harinya aku mengunjungi rumah sewaan tahunan dengan bangunan yang sangat kecil, aku memikirkan agar aku dan adikku ada tempat berteduh selama satu tahun terlebih dahulu, kami berjalan-jalan mencari dari bangunan satu ke bangunan lain. Adikku mungkin sudah kecapean karena kami dari tadi berjalan, biasanya kami selalu diantar jemput oleh sopir kami, sopir kami pun sebenarnya masih mau membantu kami, ia menawarkan agar kami tinggal bersamanya akan tetapi aku akan merasa merepotkan orang lain lagi dan aku merasa berhutang kepadanya dan aku sangat membenci perasaan seperti itu sehingga kami memutuskan untuk tinggal sendiri dengan uang tabungan yang kami tabung sejak kecil, mungkin akan cukup tiga sampai empat tahun lagi jika kami berhemat.

Akhirnya kami menemukan bangunan yang menurut kami cukup nyaman dan aman, setelah menemukan tempatnya kami memesan jasa antar pengiriman barang untuk membawa barang-barang kami, kami membawa beberapa barang berharga yang belum disita oleh bank dan rentenir, karena kemungkinan besar jika tabungan kami habis kami dan menjual beberapa barang itu.

Hari ini aku engga pergi ke sekolah, selain karena aku harus memindahkan barang-barangku berita ayahku sudah masuk banyak media, dan kemungkinan besar siswa sekolahku akan mengejekku apalagi yang dari dulu terlihat sangat iri dan dengki kepadaku.

Aku bersekolah di sekolah seni khusus yang terkenal di kota kami dan terkenal di negara kami juga. Aku menyukai menggambar, aku menggambar apapun seperti benda, bangunan, dan alam, tetapi aku tidak  pernah menggambar manusia atau wajah manusia. Karena pada dasarnya manusia memiliki sifat yang selalu berubah-ubah sehingga kita tidak dapat meninggalkan sesuatu kenangan atau sifat yang dapat dilihat untuk selama-lamanya.

Ayahku mungkin kabur ke luar negeri, ia berencana untuk memulai kembali semuanya dari awal dengan bergabung dengan temannya yang di luar negeri, hingga saat ini ayah belum mengabari kami. Aku... Aku tidak membenci ayah, aku tahu ayah tidak bersalah, ini adalah kesalahan perusahaan yang bekerja sama dengan ayah, akan tetapi aku sangat kecewa kepada ayah yang tak mengabari kami. Apakah ayah selamat? Apa ayah sudah makan? Apa ayah tidak mengkhawatirkan kami?.

Beberapa minggu kami menjalani hidup berdua di bangunan kecil, kehidupan di sekolah mungkin bisa dikatakan cukup berat apabila aku memedulikan ucapan teman-temanku, tapi sayangnya aku tidak pernah meladeni mereka, aku tidak mempunyai teman yang sangat di sekolah. Aku mempunyai tempramen yang sangat buruk, aku tidak menyukai apabila aku merasa tertekan oleh orang-orang sekitar, maka dari itu aku tidak mempunyai teman.

Elsana baru masuk selolah dasar, ia baru kelas satu. Sekolahnya cukup jauh dari rumah kami yang baru, tapi tidak jauh dengan sekolahku. Di kotaku daerah dibagi menjadi beberapa bagian untuk kawasan industri khusus ada tempatnya, dan begitu juga sekolah sehingga aku tidak perlu bulak-balik mengantarnya karena searah. Akan tetapi aku kasian padanya, karena adikku harus menungguku pulang sekolah, dia harus menunggu sekitar tiga sampai empat jam di sekolahnya.

Aku takut adikku terkena bully di sekolahnya, karena meskipun mereka anak kecil, sikap mengejek atau meremehkan orang lain sudah dikenal oleh anak kecil zaman sekarang. Sikap adikku tidak jauh dengan sikapku, tetapi bedanya ia memiliki satu teman yang sangat baik padanya, aku sangat bersyukur untuk itu. Aku lebih bersyukur karena temannya ini adalah anak laki-laki karena bila sama-sama perempuan aku tidak menjamin adikku akan merasa terlindungi, karena perempuan memiliki mulut bagaikan harimau.

Aku berencana bekerja part time karena aku takut kebutuhan kami semakin tinggi di depan, kami takut apabila sesuatu terjadi, tetapi aku tidak tega membiarkan adikku di rumah sendirian. Aku mencari waktu dan pekerjaan yang tepat agar adikku tidak sendirian di rumah.
Selagi menikmati masa-masa sulit kami, aku selalu menjalani hobiku menggambar. Sudah hampir satu tahun kami tinggal di rumah ini, dan ayah belum juga menghubungi kami sekalipun, kami tidak tahu ayah berada dimana, apa yang sedang ayah lakukan, apa ayah ingat kepada kami atau sudah lupa?. Aku takut akan apa yang terjadi di masa depan, kami tidak mempunyai wali untuk saat ini.

Pukul 07.30 : Menikmati Hidup dan Memulai Memikirkan ke Depan

"Deeeekkkkkk..... Cepetan nanti busnya keburu pergiii!! Nanti kita harus nunggu jadwal bus berikutnya dan malah kemalemannnn" teriakku dari pintu depan.

"Bukannya bantuin biar cepet malah teriak-teriak, dasar tua!" ucap dede dari dalam

Entah apa yang sedang dicari dede di dalam. Hari ini aku berniat jalan-jalan bersama dede, ini adalah jalan-jalan pertama kami setelah melewati hari-hari yang cukup melelahkan selama satu tahun ini. Dede terkadang sering menanyakan ayah, apa ayah sudah menelepon tetapi ia tidak pernah menangis minta ini itu. Aku sudah kelas tiga SMA, selain untuk mengajak jalan-jalan dede, aku ingin melihat bangunan-bangunan pedesaan, selagi berjalan-jalan aku membawa banyak alat gambarku.

Selama satu tahun ini aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa berkuliah, aku tidak memiliki cukup biaya untuk berkuliah. Aku berniat berlatih hobiku menggambar dan mengikuti lomba-lomba yang dapat memberikan beasiswa berkuliah.

Kami sudah menaiki bus tujuan kami, di sepanjang perjalanan dede banyak menunjuk sana-sini, ia terlihat sangat senang. Ini adalah pertama kalinya adikku banyak berbicara selama satu tahun. Aku sangat senang melihatnya, dede dan aku memiliki persamaan sifat. Tetapi wajah kami terlihat sedikit berbeda. Aku sangat mirip dengan ibu, wajahku seperti copy an wajah ibu, aku memiliki wajah yang mungkin bisa dikatakan sangat cantik. Garis-garis wajahku sangat memperlihatkan bahwa aku adalah gadis manis dan anggun, tetapi sikapku tidak menggambarkan demikian. Sedangkan wajah dede, ia lebih mirip dengan ayah, dan ia tak suka berambut panjang sehingga ia terkadang terlihat sangat tomboy. Akan tetapi, meskipun dede terlihat tomboy, ia memiliki wajah yang sangat cantik.

Kami telah sampai di desa yang kami tuju, kami menaiki bus sekitar dua jam setengah, pemandangan yang terlihat sangatlah indah, meskipun ini sudah mau menjelang siang tetapi udara disini tetaplah sejuk, kami berjalan-jalan mengelilingi desa ini. Sesekali kami bersapa dengan warga disini, warga disini sangat ramah aku tidak biasa bersapa sapa dengan orang, selagi aku menggambar beberapa rumah dede bermain air sungai.
Rumah-rumah disini masih sangat estetik, bentuk bangunan yang terlihat sederhana akan tetapi sangat kokoh. Aku senang berjalan-jalan disini, dede juga terlihat senang bermain air. Matahari sudah berada diatas kepala kami, dan dede bilang ia merasa lapar. Aku baru selesai menggambar satu rumah, aku dan dede berjalan-jalan lagi mencari tempat untuk memakan bekal kami. Aku sengaja membawa bekal makan, karena aku tidak mau uang kami cepat secara cuma-cuma karena kami mengikuti ego kami untuk makan diluar, tetapi untung saja kami mebawa bekal karena di dalam pedesaan ini tidak ada warung makan.

Saat kami menemukan saung dipertengahan persawahan, kami bertemu dengan nenek-nenek yang membawa cakul. Nenek ini mungkin yang memiliki sawah disini, aku menyapanya dan benar nenek ini adalah orang yang memiliki sawah ini dan saung ini. Kami izin ikut untuk memakan bekal kami, nenek itu sangat baik ia mengajak ngobrol adikku. Sedari tadi, dede sangat suka berbicara. Nenek mungkin tahu aku tidak menyukai banyak mengobrol jadi ia sesekali mengajakku berbicara.

Nenek bertanya kami dari kota mana, kami menjawabnya. Nenek sama sekali tidak bertanya tentang kemana orang tua kami, kenapa kami berjalan-jalan jauh sendirian tanpa dampingan orang tua. Nenek tidak bertanya tentang itu, setelah makan nenek mengajak kami untuk ke rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, dede sangat senang bermain dengan kucing peliharaan nenek, nenek juga memiliki banyak mainan anak-anak, setelah cape bermain kejar-kejaran dengan kucing, ia bermain mainan di rumah nenek.

Rumah nenek sangatlah besar, bangunannya pun terlihat sedikit berbeda dari warga-warga lain, nenek hanya tinggal berdua dengan suaminya. Ditengah teriknya matahari, nenek mengupaskan semangka dan buah-buahan lain untuk kami, aku sibuk menggambar rumah nenek. Aku seperti biasa tidak banyak berbicara, hanya menggambar dan sesekali memakan buah yang dikupaskan oleh nenek.

"Nek... Nenek banyak mainannya, apa cucuk nenek seumuran denganku?" celetuk dede ditengah heningnya siang hari.

Aku yang sedang menggambar tiba-tiba terhenti, sebenarnya aku juga kepo tetapi aku mengurungkan bertanya. Karena nenek saja dapat menahan tidak bertanya apapun tentang keluarga kami, meski aku melihat bahwa wajah nenek sangat terlihat khawatir kepada kami meskipun ini adalah pertemuan pertama kami.

"Cucuk nenek seumuran denganmu, tetapi sekarang cucuk nenek sedang melihat nenek di atas sana" ucap nenek sambil menunjuk langit

Aku buru-buru minta maaf kepada nenek, karena pertanyaan dede mungkin membuka kembali luka yang sudah susah payah nenek obati.
Nenek menggeleng, berkata tidak apa-apa. Nenek menceritakan semuanya bahwa saat itu nenek sangat ingim bertemu dengan anak dan cucuknya tetapi cuaca tidak mengijinkannya untuk bertemu. Saat perjalanan menuju desa hujan lebat tiba-tiba, jalan menuju pastinya sangat gelap dan jalan menuju desa pun tiba-tiba longsor, anak dan cucuknya jatuh ke jurang. Nenek bercerita bahwa kejadian itu mungkin baru satu tahun.

Awalnya nenek merasakan bahwa semua itu adalah kesalahan nenek, apabila nenek pada waktu itu tidak menelepon anak nenek untuk datang kesini semuanya tidak akan terjadi, tetapi selama satu tahun ini nenek belajar caranya menerima takdir. Meskipun sulit untuk diterima di hati, akan tetapi sesuatu yang akan terjadi dan sudah tidak terjadi kita tidak akan dapat memperbaiki semuanya. Kita hanya bisa menjalani kehidupan kita sekarang dan berusaha lebih baik belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu, terkadang seseorang itu akan sadar setelah ditampar oleh keadaan berkali-kali, dan manusia itu sering kali lalai, makanya terkadang semesta sesekali memberikan pelajaran kepada kita agar kita paham.

Matahari sudah mulai turun dari kaki langit, aku dan adikku izin pamit pulang kepada nenek, dan kami juga aangat berterima kasih kepada nenek karena nenek sangat baik, selain memberikan makanan saat kami di desa, nenek membekalkan banyak sayuran dan buah-buahan kepada kami. Nenek dan dede sangat akrab seperti sudah kenal lama, dede awalnya tidak ingin pulang akan tetapi kami mengejar bus, apabila kami terlambat kami tidak akan bisa pulang hingga besok pagi. Sepanjang perjalanan pulang, dede tertidur sangat lelap. Ia mungkin kecapean berlari-lari dengan kucing nenek, dan hari ini kami pun banyak berjalan-jalan kaki, mungkin kaki dede pegal.

Mulai dari situ, aku dan dede sering berjalan-jalan dede sepakat karena aku sedang melatih skill menggambarku sambil berjalan-jalan, minggu berikutnya aku dan dede pergi ke sebuah pantai, tidak begitu ramai dan tidak sepi juga. Setiap berjalan-jalan dede sangatlah bawel, sikap dede berubah perlahan dengan berjalannya waktu, ia tidak sependiam seperti diriku. Dede sekarang menjadi mudah akrab kepada siapapun, mungkin karena kami sering berpergian dan kami berjumpa dengan orang-orang yang ramah kepada kami dan dede merasa nyaman dan aman.

Saat di pantai, aku mendapat panggilan dari luar negeri, panggilan telepon yang selalu kutunggu-tunggu selama ini, seseorang yang aku kira telah lupa kepadaku dan adikku, seseorang yang selalu aku khawatirkan. Ayahku menelepon saat itu, ia berada di canada. Ayah belum tau kapan ia akan kembali kesini, karena modal yang belum cukup untuk memulai semua dan membereskan semuanya, ayah hanya menanyakan kabarku dan adikku. Aku sangat merindukannya, telepon itu terasa sangat singkat. Banyak hal yang ingin kuceritakan kepada ayah, banyak hal yang ingin aku keluhkan kepada ayah, tetapi waktu tak mengijinkan kami untuk berlama-lama. Ayah izin pamit menutup telepon.

Pukul 05.50 : Memulai perjuanganku

Dua minggu setelah menerima panggilan telepon jarak jauh dari ayah, aku akan mengikuti lomba-lomba desain arsitektur. Hari ini adalah hari Sabtu, dede tidak pergi bersekolah ia ikut denganku ke tempat perlombaan. Aku mengikuti perlombaan ini karena aku ingin mengumpulkan banyak sertifikat yang akan membantuku mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah. Aku tidak bisa berharap banyak kepada ayah untuk meminta agar ia mengkuliahkanku, hari ini aku mulai semuanya. Ini adalah pertama kali dari hidupku, dan aku merasa yakin akan berjuara karena aku telah melatih skill menggambarku dalam satu tahun ini.

Di tempat perlombaan banyak sekali peserta-peserta hebat yang sudah mempunyai banyak relasi dan banyak nama, aku berpikir apabila ayah masih seperti dahulu aku tidak perlu repot-repot mengikuti hal seperti ini. Sekarang di tempat ini, aku bukanlah siapa-siapa, tidak ada seorang pun yang mengenaliku. Ku antarkan dede ke tempat pengunjung dan aku mewanti-wantinya agar ia jangan pergi kemana-mana.

Perlombaan dimulai, kami diberi waktu 5 jam untuk menyelesaikan gambaran kami, ini adalah kali pertamaku merasakan perasaan seperti ini, aku percaya diri dengan gambaranku, tapi aku tidak percaya dengan hasilnya nanti,aku merasa gugup. Aku hanya ingin memenangkan perlombaan ini karena aku hanya membutuhkan sertifikatnya agar aku dapat mengikuti seleksi beasiswa untuk masuk perguruan tinggi.

Juri sesekali berjalan melihat proses kami menggambar, salah satu juri berdiam di tempatku cukup lama. Aku melihat wajahnya, ia tersenyum padaku. Aku kembali menggambar dengan sangat teliti. Tidak terasa waktu waktu sisa setengah jam lagi, gambaranku sudah hampir beres. Sesekali aku melihat gambaran orang lain, aku merasa yakin dengan gambaranku.

Teeenngggggg..... Bel tanda waktu habis.

Waktunya penilaian juri, muka ku pucat tanganku gemetar, aku tidak pernah merasa segemetar ini, aku takut tapi aku juga percaya kepada diriku. Peserta yang mengikuti lomba ini tidak banyak seperti lomba seni lainnya, pesertanya hanya ada 10 orang. Yang akam mendapatkan sertifikat hanya dua orang.

Waktu pengumuman di sampaikan, urutan satu dan dua diumumkan. Karya mereka di perlihatkan, aku tidak menang, aku mendapati urutan ke tiga, aku merasa ini tidak adil, aku melihat gambaran yang mendapati posisi pertama, gambaranku lebih bagus dari gambarannya. Aku langsung berjalan ke arah meja juri, aku protes karena ini sangat tidak adil bagi diriku. Aku membenci ketidak adilan apapun itu.

"Mohon maaf bapak-ibu yang terhormat, saya merasa ini tidak adil, gambaran saya bahkan lebih bagus dan teliti dari pada gambaran yang dibuat olehnya. Penilaian apa yang kalian lihat dari sebuah gambaran ini?!." Ucapku dengan nada tinggi.

Juri itu melihat wajahku yang sudah merah padam, juri itu menahan amarahnya ia hanya tersenyum. Semua orang melihatku, aku malu bertingkah seperti ini tapi aku tidak suka aku tidak diadili tanpa penjelasan. Aku hanya ingin tahu apa yang membuat gambaranku tidak menang. Aku tidak kecewa kepada diriku, aku sudah berlatih menggambar seperti ini selama satu tahun.
Kuikuti langkahnya hingga ke ruangan juri itu, dede melihat tingkahku, tatapannya mengatakan bahwa aku seharusnya tidak melakukan hal sampai sejauh ini, tapi aku tidak bisa. Aku tidak memohon kepada juri untuk aku dimenangkan tapi aku hanya ingin tahu alesan gambaranku, agar aku bisa mempelajari dari kesalahanku, tapi aku rasa aku tidak ada kesalahan dalam menggambar.

"Pak, saya mohon jelaskan dimana letak kesalahan saya, saya juga tidak merasa melakulan plagiarisme karya orang lain." Ucapku sambil mengikutinya berjalan.

Juri itu tidak merasakan risih oleh kehadiranku, dia tetap berjalan seperti aku tidak ada. Aku merampas tangannya dengan kasar, dia berhenti dia melihatku. Dia mengajakku ke atap. Juri itu menatapku, dia melihatku dari atas sampai ke bawah. Sekali lagi aku bertanya apa kekurangan dari gambarku.

"Kamu ingin tahu letak kekurangan gambarmu? Baik aku akan mengatakannya, Gambaranmu tidak memiliki rasa yang kuat dan mudah dilupakan!." Juri itu pergi

Seperti dipanah dengan begitu kuat, hatiku terasa sakit saat mendengar ucapannya, aku marah kepada diriku sendiri dan kepada juri itu, aku merasa ini tidak adil, jika sebuah gambar hanya mendalkan rasa untuk apa ketelitian sebuah garis diperlihatkan? Kenapa tidak menonton film saja? Agar bisa merasakan rasanya!.

Aku turun ke bawah menghampiri adikku, dede tidak banyak berbicara, ia tidak bisa menghiburku tapi dia mengerti aku tidak baik-baik saja. Aku membawa gambarku pulang. Ini adalah awalan yang buruk untukku, saat aku sudah menyimpan banyak ekspetasi kepada diriku sendiri tapi juri itu mematahkannya.
Aku mengikuti perlombaan-perlombaan lagi, aku akan membuktikan kepada juri itu bahwa juri itu salah menilai gambaranku. Sudah mengikuti lebih dari tiga perlombaan aku tetap tidak pernah mendapatkan kejuaraan, aku selalu mendapati di urutan ke empat atau ke lima, aku hampir menyerah dengan semua kerja kerasku. Aku merasa aku gagal dalam semua hal, aku membenci diriku yang tak pernah mempunyai kemajuan dalam melakukan segala hal.
Setelah mengikuti perlombaan yang kuyakini itu adalah perlombaan terakhir yang aku ikuti, aku dipanggil oleh seorang dosen universitas. Aku hampir tidak akan menjumpainya, karena aku tidak mempunyai sertifikat apapun untuk mendaftarkan beasiswa, aku selalu membenci momen dimana saat ini semuanya terjadi, saat ayahku mengalami semua ini sehingga aku harus merasa khawatir akan masa depan yang akan aku jalani.

Aku dan dosen itu bertemu di sebuah kafe, dia memperkenalkan diri terlebih dahulu, ia adalah seorang dosen universitas yang aku cita-citakan. Entah merasa senang atau sedih, aku sadar diri karena aku sekarang tidak bisa mengikuti tes beasiswa untuk masuk ke universitas itu. Dia mengobrol basa-basi denganku cukup lama hingga pada akhirnya ia mulai berbicara kepada inti dari pertemuan kami hari ini.

"Akan saya ceritakan sebuah kisahku untukmu ya, sebelum menjadi dosen saya sama sepertimu, saya selalu gagal dalam hal perlombaan. Kasusku sama disetiap gambarku, aku tidak mempunyai rasa tersendiri dalam sebuah gambar. Aku sangat membenci diriku saat itu, apakah aku seseorang dengan mati rasa? Sehingga semua gambar yang aku buat itu sangat tidak menarik, se detail apapun gambarku, aku tidak pernah memenangkan sebuah perlombaan. Hingga suatu hari aku kembali melihat kenang-kenangan yang membuat hatiku tenang kembali, aku mengingat semua momen dimana aku merasa disayangi oleh orang-orang yang aku cintai, aku mulai mengenali diriku sendiri, bagaimana hidupku selama ini. Sampai pada akhirnya aku menemukan sebuah kesalahan besar dalam diriku, aku selalu merasa tidak apa -apa dan tidak peduli dalam hal apapun, yang ada pada diriku ini hanya sebuah ambisi tidak dengan niat baik. Mulai saat itu, aku mulai mencintai diriku sendiri, gambar yang pertama aku buat kembali adalah dimana aku ingin kembali ke momen itu. Karena meskipun itu adalah sebuah gambar yang jika kita menggambar gunung, maka hanya terlihat seperti gunung tanpa membuat orang itu merasa penasaran apa yang ada di dalam gunung itu, atau cerita ada di dalam gunung itu saya rasa sebuah gambar itu percuma diperlihatkan, kita juga hanya capek-capek membuatnya. Dengarlah nak, kau senang membuat gambar sebuah bangunan yang didominasi oleh sebuah garis-garis dan perspektif, tetapi guratan sebuah garis itu harus menjelaskan sesuatu nak, cobalah memperhatikan sesuatu yang kecil, meskipun itu adalah sebuah coretan, semoga nak Elinia paham apa yang saya sampaikan ya, maaf jika saya malah bertele-tele menceritakan kisah saya, tetap semangat atas mimpimu karena rezeki itu bisa datang dari mana saja, akankah bisa jadi suatu hari Elinia ini lebih sukses dari pada saya? Bisa jadi saya nanti tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nak Elinia, tetap semangat saya izin pamit." Ucap dosen itu dan langsung pergi meninggalkan saya di kafe itu.

Pukul 19.50 : Inilah garis start ku dimulai

Beberapa minggu setelah bertemu dengan dosen itu aku tetap menjalankan hobi ku, akan tetapi aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan, karena aku sudah lulus sekolah dan aku tidak berkuliah karena aku tidak mempunyai cukup biaya, dan aku gagal untuk mengikuti beasiswa. Malam hari ini aku berniat untuk mempublikasikan karyaku disebuah blog khusus karya-karya seni, aku mulai mengupload beberapa gambarku, aku menamakan situsku adalah E'E itu adalah awal dari namaku dan adikku.

Aku berniat bekerja paruh waktu karena aku rasa uangku sudah sangat menipis, karena dede sudah masuk tahun ajaran baru banyak yang harus dibeli, sewaktu aku mencari lowongan pekerjaan di blog khusus, tiba-tiba ada notifikasi dirrect message, aku merasa kaget karena yang mengirim pesan kepadaku adalah seseorang yang memiliki akun bercentang biru, yang berarti orang ini sudah diakui oleh masyarakat banyak dan mempunyai nama atau citra yang cukup baik di mata masyarakat.

Setelah kami berkirim pesan yang sangat panjang, artis ini berniat membeli sebuah karya gambarku, lebih tepatnya adalah gambar rumahku yang dahulu, ia membeli dengan harga yang sangat mahal yang diperkirakan itu dapat mencukupi kebutuhan hidup saya dan adik saya selama 5tahun kedepan.

Setelah saat itu, akun saya menjadi sangat terkenal setelah artis itu memposting lukisan saya dan menandai saya dipostingannya. Meskipun banyak orang yang ingin mewawancarai saya, saya tidak ingin wajah saya dipublikasikan terlebih dahulu dan nama saya pun tidak boleh diketahui oleh siapapun, sehingga beberapa saat ini saya dipanggil dengan sebutan Seniman E'E, aku dan dede belum sempat berpindah lagi dari rumah yang kami sewa sekarang. Saya berniat ingin membeli lagi rumah saya dahulu, akan tetapi saya rasa uang kami lebih baik ditabung terlebih dahulu sebelum kami membelikan yang lain-lain.

Hingga pada akhirnya aku mulai memamerkan karyaku disebuah pameran seni, lukisanku memiliki harga jual yang sangat tinggi, karena beberapa kali ini saya banyak menggambarkan sebuah bangunan milik seseorang yang sangat terkenal di negara kami.

Aku sangat bersyukur atas apapun yang saya dapat di hari ini dan sebelumnya, aku sangat berterima kasih kepada orang-orang yang telah berjumpa denganku dan memberiku banyak sebuah pelajaran yang dapat menjadikan saya menjadi seseorang yang seperti ini. Hingga saat ini, aku tetap menyimpan sebuah kalimat dari seorang dosen yang pernah berjumpa denganku dan menceritakan sebuah kisahnya, satu kalimat yang selalu aku pegang adalah "Rezeki itu datang dari mana saja" saat itu aku berpikir saat kami memiliki ambisi ingin mendapatkan sesuatu, tetapi jika niat kami belum baik maka apa yang kita inginkan bisa saja tidak terjadi pada saat itu juga. Mulai saat itu saya belajar meniatkan sesuatu dari dalam hati, dan saya yakin pintu rezeki itu sangat banyak, kita hanya perlu membukanya dengan cara yang baik tidak peduli dari pintu yang manapun rezeki itu, jika kita niat dengan baik maka rezeki itu akan sampai kepada kita dengan mudah.

Satu tahun kemudian ayah kembali dengan kami, ia membeli rumah kami yang dahulu ia memulai kembali semuanya dari awal, dan aku berniat untuk berkuliah jurusan arsitektur di luar negeri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun