Mohon tunggu...
Chantika NurAsyfa
Chantika NurAsyfa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Blog/situs pribadi

Chantika Nur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seni dalam Hidup

23 Februari 2022   18:15 Diperbarui: 23 Februari 2022   18:26 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua minggu setelah menerima panggilan telepon jarak jauh dari ayah, aku akan mengikuti lomba-lomba desain arsitektur. Hari ini adalah hari Sabtu, dede tidak pergi bersekolah ia ikut denganku ke tempat perlombaan. Aku mengikuti perlombaan ini karena aku ingin mengumpulkan banyak sertifikat yang akan membantuku mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah. Aku tidak bisa berharap banyak kepada ayah untuk meminta agar ia mengkuliahkanku, hari ini aku mulai semuanya. Ini adalah pertama kali dari hidupku, dan aku merasa yakin akan berjuara karena aku telah melatih skill menggambarku dalam satu tahun ini.

Di tempat perlombaan banyak sekali peserta-peserta hebat yang sudah mempunyai banyak relasi dan banyak nama, aku berpikir apabila ayah masih seperti dahulu aku tidak perlu repot-repot mengikuti hal seperti ini. Sekarang di tempat ini, aku bukanlah siapa-siapa, tidak ada seorang pun yang mengenaliku. Ku antarkan dede ke tempat pengunjung dan aku mewanti-wantinya agar ia jangan pergi kemana-mana.

Perlombaan dimulai, kami diberi waktu 5 jam untuk menyelesaikan gambaran kami, ini adalah kali pertamaku merasakan perasaan seperti ini, aku percaya diri dengan gambaranku, tapi aku tidak percaya dengan hasilnya nanti,aku merasa gugup. Aku hanya ingin memenangkan perlombaan ini karena aku hanya membutuhkan sertifikatnya agar aku dapat mengikuti seleksi beasiswa untuk masuk perguruan tinggi.

Juri sesekali berjalan melihat proses kami menggambar, salah satu juri berdiam di tempatku cukup lama. Aku melihat wajahnya, ia tersenyum padaku. Aku kembali menggambar dengan sangat teliti. Tidak terasa waktu waktu sisa setengah jam lagi, gambaranku sudah hampir beres. Sesekali aku melihat gambaran orang lain, aku merasa yakin dengan gambaranku.

Teeenngggggg..... Bel tanda waktu habis.

Waktunya penilaian juri, muka ku pucat tanganku gemetar, aku tidak pernah merasa segemetar ini, aku takut tapi aku juga percaya kepada diriku. Peserta yang mengikuti lomba ini tidak banyak seperti lomba seni lainnya, pesertanya hanya ada 10 orang. Yang akam mendapatkan sertifikat hanya dua orang.

Waktu pengumuman di sampaikan, urutan satu dan dua diumumkan. Karya mereka di perlihatkan, aku tidak menang, aku mendapati urutan ke tiga, aku merasa ini tidak adil, aku melihat gambaran yang mendapati posisi pertama, gambaranku lebih bagus dari gambarannya. Aku langsung berjalan ke arah meja juri, aku protes karena ini sangat tidak adil bagi diriku. Aku membenci ketidak adilan apapun itu.

"Mohon maaf bapak-ibu yang terhormat, saya merasa ini tidak adil, gambaran saya bahkan lebih bagus dan teliti dari pada gambaran yang dibuat olehnya. Penilaian apa yang kalian lihat dari sebuah gambaran ini?!." Ucapku dengan nada tinggi.

Juri itu melihat wajahku yang sudah merah padam, juri itu menahan amarahnya ia hanya tersenyum. Semua orang melihatku, aku malu bertingkah seperti ini tapi aku tidak suka aku tidak diadili tanpa penjelasan. Aku hanya ingin tahu apa yang membuat gambaranku tidak menang. Aku tidak kecewa kepada diriku, aku sudah berlatih menggambar seperti ini selama satu tahun.
Kuikuti langkahnya hingga ke ruangan juri itu, dede melihat tingkahku, tatapannya mengatakan bahwa aku seharusnya tidak melakukan hal sampai sejauh ini, tapi aku tidak bisa. Aku tidak memohon kepada juri untuk aku dimenangkan tapi aku hanya ingin tahu alesan gambaranku, agar aku bisa mempelajari dari kesalahanku, tapi aku rasa aku tidak ada kesalahan dalam menggambar.

"Pak, saya mohon jelaskan dimana letak kesalahan saya, saya juga tidak merasa melakulan plagiarisme karya orang lain." Ucapku sambil mengikutinya berjalan.

Juri itu tidak merasakan risih oleh kehadiranku, dia tetap berjalan seperti aku tidak ada. Aku merampas tangannya dengan kasar, dia berhenti dia melihatku. Dia mengajakku ke atap. Juri itu menatapku, dia melihatku dari atas sampai ke bawah. Sekali lagi aku bertanya apa kekurangan dari gambarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun