Sekitar tahun tujuhpuluhan dia ikut dipindahkan dari tempat penampungan rehabilitasi sosial ke pemukiman di atas atas stren kali. Di sana dia tinggal serumah dengan Marsidi, lelaki yang dikenalnya di tempat penampungan. Tak lama kemudian mereka menghadap seorang kyai minta dikawinkan. Jadilah mereka suami-istri. Sah dengan beberapa orang saksi. Ketika itu usianya sekitar tigapuluhan.
Dari perkawinan itu lahir tiga orang anak. Yang pertama perempuan diberi nama Isnawati. Dua tahun kemudian lahir bayi kedua lelaki diberi nama Bima, dan lahirlah bayi ketiga perempuan diberi nama Sulistyawati satu tahun kemudian. Ketika Sulistyawati berusia lima tahun sebuah yayasan sosial menyelenggarakan kegiatan kawin massal. Mereka ikut. Pulangnya kantongi surat nikah dan amplop berisi uang.
Anak-anak mereka tumbuh dengan baik di tengah lingkungan kumuh stren kali. Waktu itu becak merupakan idola. Marsidi bekerja sebagai pengayuh becak. Ketika anak-anaknya mulai bersekolah Sunarsih turut bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya yang tinggal di kampung seberang.
Waktu berganti, anak-anak itu pun semakin dewasa. Suatu ketika datang berita dari majikannya. Pemerintah menggelar program pemutihan akta kelahiran. Sunarsih yang mendengar berita itu segera membedah celengannya. Dia berikan pada majikannya untuk membantu mengurus akte kelahiran anak-anaknya. Meski hidupnya melarat Sunarsih ingin anak-anak mereka bersekolah sampai ke jenjang yang tinggi dan memiliki surat-surat penting bagi masa depan mereka. Cukup dirinya yang merasakan pahitnya masa-masa hidup dengan latar belakang gelap di kota besar. Sunarsih tidak ingin anak-anaknya kelak berkeliaran di kota sebagai gelandangan tanpa identitas yang jelas.
Selain mengayuh becak Marsidi juga mengumpulkan rosokan yang didapat dari tong-tong sampah kota. Begitu juga Sunarsih, sepulang dari kerja selalu membawa pulang rosokan yang didapatnya sepanjang perjalanan pulang. Tidak jarang majikannya mengumpulkan kardus, kertas, atau pun botol-botol bekas untuk diberikan kepada Sunarsih. Lama-lama orang-orang di kampung seberang merasa simpatik dengan Sunarsih. Diam-diam mereka menyisihkan sampah-sampah kering untuk diberikan padanya.
Di rumah sepulang sekolah kedua anak perempuan mereka memilah-milah rosokan ke dalam jenisnya masing-masing. Kertas, botol plastik, kaleng, dan sebagainya. Sedang Bima, anak lelaki mereka, mayeng di kota dengan berbekal karung di belakang punggung di usianya yang masih muda. Yang paling sering Bima ikut berkeliling menyasar tong-tong sampah kota bersama bapaknya dengan menggunakan becak pada malam hari. Sedari kecil anak-anak itu telah diajar bekerja selain bersekolah. Kesibukan itu memisahkan anak-anak itu dari pengaruh buruk pergaulan teman-teman sebaya mereka.
Namun kebersamaan di antara mereka tidak lama. Ketika Isnawati, anak tertua, lulus sekolah tingkat atas Marsidi meninggal. Bima waktu itu masih dua tahun lagi akan lulus sekolah tingkat atas. Sedangkan Sulistyawati baru akan masuk tingkat atas tahun depan. Dengan kematian Marsidi, praktis Sunarsih harus mengurusi tiga anaknya seorang diri.
Setelah kematian suaminya Sunarsih berharap dalam waktu dekat Isnawati yang telah lulus segera kawin. Dengan begitu bebannya akan menjadi lebih ringan. Lagipula siapa tahu suami Isnawati bersedia membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Sedang untuk Bima dan Sulis, entah bagaimana caranya kedua anak itu harus melanjutkan sekolah mereka. Dia berpesan kepada anak-anaknya, “Kita adalah orang melarat, karena itu kalian harus bersekolah. Dan jangan pernah kalian berhenti bekerja dan bermalas-malasan.” Petuah tua dari ibu keramat.
Harapannya terkabul tak lama kemudian. Isnawati dilamar seorang lelaki yang rantau di kota. Dia bekerja sebagai tukang di sebuah proyek pembangunan kota. Begitu proyek selesai Isnawati diboyong ke desa. Di sana menantunya itu memiliki sawah warisan orang tuanya yang cukup luas. “Rejekinya Isnawati,” pikir Sunarsih. Ada rasa bangga tersendiri baginya menyaksikan anaknya kawin dengan lelaki dari keluarga terhormat. Meski tidak banyak, Isnawati mengirim uang setiap bulan kepada ibunya. “Untuk sekolah adik-adik,” katanya.
Selepas sekolah tingkat atas Bima bekerja di pelabuhan. Seorang guru memperkenalkan Bima kepada seorang kontraktor perkapalan. Kesukaannya di bidang teknik membuatnya cepat menguasai pekerjaannya. Dalam waktu satu tahun dia telah dipercaya memborong pekerjaan yang ada. Upah yang didapatnya sekarang cukup untuk memenuhi keperluan mereka bertiga dan biaya sekolah adiknya. Kakaknya, Isnawati, dipesan supaya mengurangi jatah kirimannya karena sekarang dia sudah bekerja. “Untuk tabungan kakak,” katanya. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang rapat memiliki pengertian yang lebih satu sama lain.
Kini Sunarsih tidak perlu lagi memungut rosokan dari tempat sampah. Cukup menjadi pembantu saja. Bima, anak lelakinya, melarangnya mencari rosokan. Tapi orang-orang yang sampai pada saat itu masih mengumpulkan sampah kering untuknya tidak ditolaknya. Sedang adiknya yang masih bersekolah diberi modal untuk membuka toko kecil di rumah. Sebab dengan memilah rosokan akan menyita waktunya untuk belajar. Perlahan tapi pasti kehidupan bergerak naik di atas stren kali itu.
“Pak, anak-anakmu sudah jadi orang sekarang,” kata Sunarsih ketika ziarah di makam suaminya suatu hari. “Kalau kau masih hidup tentu kau akan menangis seperti aku sekarang. Anak perempuanmu yang pertama kawin dengan orang desa. Anaknya dua, cucumu sudah dua sekarang.
“Anak lanangmu sekarang pandai mencari uang. Kerja di pelabuhan. Aku dibelikannya baju-baju bagus. Kadang untuk menyenangkanku dia mengajak ke pasar dan menyuruhku memilih kerudung yang aku sukai. Ya anak lanangmu itu yang menyekolahkan adiknya sampai tamat. Sekarang anak perempuanmu yang terakhir akan kawin. Dapat laki temannya Bima, mestinya pandai mencari uang juga lakinya nanti. Dan aku beri tahu, anak-anakmu sangat pintar. Nilai mereka selalu masuk ranking. Dan tingkah mereka tidak neko-neko.Pantasnya mereka mendapat jodoh yang baik.
“Pendeknya, Pak, kamu akan gembira menyaksikan mereka. Dulu kita hidup terlunta-lunta di penampungan. Lalu dipindah ke pinggir kali. Kita yang tidak pernah bersekolah bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anak kita sampai lulus. Kita yang dibawa dari dusun...Kok kersane Gusti, anak-anak gelandangan bisa sekolah dhuwur. Oalah, Pak, Pak...”
Setelah menikah Sulis tinggal bersama suaminya. Mereka menyewa sebuah kamar yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan. Meski suaminya berasal dari kota kabupaten yang bersebelahan dengan kota ini, pada awal-awal perkawinannya mereka menyewa sebuah kamar yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan. Supaya dekat dengan tempat kerja. Kelak ketika usia kandungannya tua, Sulis diboyong oleh suaminya ke rumah orang tuanya. Dan di sana mereka selanjutnya tinggal.
Satu demi satu Sunarsih mulai ditinggalkan anak-anaknya. Tinggal Bimo yang menemaninya di rumah. Itu pun sepertinya tidak akan lama. Bimo jatuh cinta pada penjaga warung di tempat kerjanya. Gadis itu sudah berkali-kali diajak ke rumah. Sunarsih berpesan agar jangan terlalu lama pacaran. Dia pernah muda. Masa di mana gairah sesaat bisa menentukan masa-masa selanjutnya. Dia tidak ingin anak lelakinya berbuat keliru terhadap gadis pacarnya.
Benar saja. Kurang dari satu tahun Bimo kawin. Karena kedua-duanya bekerja di lokasi yang sama, Bimo bersama istrinya menyewa kamar di tempat yang dulu disewa oleh adiknya.
Sunarsih merasa lega. Anak-anaknya sekarang telah kawin. Kewajibannya sebagai seorang ibu telah tuntas. Anak-anaknya telah mandiri dan berkeluarga. Rupanya umurnya cukup panjang untuk bisa hidup melihat cucu-cucunya. Hidup mereka juga tidak semiskin dirinya dulu. Kalau pun tidak menjadi kaya paling tidak mereka tidak menjadi gelandangan kota sebagaimana dulu ditakutkan ketika anak-anak itu dilahirkan. O, masa-masa hitam. Dulu sempat terpikir agar anak-anak yang lahir itu dititipkan pada arus sungai saja. Kelewat takut dia membayangkan masa depan anak-anaknya kelak.
Kini tinggal di rumah sendirian tanpa anak-anak terasa sunyi. Anak perempuan biasanya membawa masuk suaminya ke dalam keluarganya. Dengan begitu mereka bisa merawat ibu mereka yang menapak usia senja. Tapi Sunarsih tidak mau memaksa anak-anaknya yang tidak ingin tinggal di sini. Dia sendiri berharap anak-anaknya keluar dari tempat ini. Memang lebih baik kalau mereka tidak tinggal di sini. Lingkungan di sini dapat berpengaruh buruk pada anak-anak mereka nanti.
Untungnya tetangga di kampung adalah orang-orang baik. Mereka mau saja menemani Sunarsih. Apalagi kalau anak-anak Sunarsih datang bersama cucunya. Tetangga-tetangga perempuan akan datang mengerumuni. Sebagian dari mereka ada yang pernah tinggal di penampungan bersama-sama. Mereka memuji-muji Marsidi dan Sunarsih di hadapan bayi-bayi yang sedang digendong. Mereka tahu nenek mereka dulu adalah kembang lelaki di timur sana. Diam-diam mereka iri, peruntungan berpihak pada Sunarsih.
Tapi kesunyian itu terusik dengan beredarnya berita pemukiman yang ada di atas stren kali akan segera digusur. Kampung-kampung lain yang terletak di stren kali telah lebih dulu digusur. Orang-orang kampung mengusahakan berbagai cara agar tidak dilakukan penggusuran terhadap rumah-rumah mereka. Mereka bersama dengan warga dari kampung lain yang tinggal di sepanjang aliran sungai membentuk paguyuban warga stren sebagai wadah perjuangan bersama.
Ketiga anak Sunarsih berembug lewat telepon. Mereka memutuskan ibunya akan ikut bersama Isnawati ke desa. Saat ini Bimo dan Sulis bekerja di luar pulau. Majikan mereka mengirim mereka ke sana untuk mengawal pekerjaan di sana.
Tapi Sunarsih tidak mau. Berita tentang pembongkaran rumah di stren kali memang sudah ada sejak dulu, katanya. Tapi tak pernah ada buktinya. Itu hanya isu yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab agar warga merasa tidak betah dan segera angkat kaki. Mungkin mereka ingin menghaki rumah-rumah itu. Tapi bisa saja berita itu benar adanya. Buktinya di kampung-kampung stren kali yang lain telah berlangsung pernggusuran. Kampung-kampung yang tergusur atau terbakar adalah cerita yang mewarnai kehidupan kota-kota besar.
Meski di kampung-kampung lain yang terletak di atas stren kali telah digusur namun tidak terjadi apa-apa di kampung Sunarsih. Orang-orang mengira kampung itu akan lolos dari penggusuran. Sebab dulu pemerintah jadikan kampung ini sebagai tempat relokasi. Mereka yakin kebijakan relokasi pada masa itu jadi dasar yang kuat bagi eksistensi kampung mereka. Tapi mendekati akhir dasawarsa pertama abad milenium yang ditakutkan semua orang terjadi. Ribuan aparat beserta mesin-mesin penghancur tiba di muka pintu rumah mereka. Surat peringatan yang disebar beberapa hari sebelumnya bukan isapan jempol belaka.
Rumah yang telah ditinggalinya untuk membesarkan tiga orang anaknya selama puluhan tahun hancur. Mesin excavator dan buldozer telah ratakan rumahnya beserta puluhan rumah lain di atas stren kali itu. Dia hanya bisa pasrah ketika mesin-mesin hasil kemajuan teknologi industri itu mulai menggaruk atap rumahnya hingga terbuka. Atap-atap seng koyak. Dengan sekali hentak dinding rumahnya yang terbuat dari papan roboh oleh kuku-kuku mesin yang dingin. Kemudian mesin itu menghentak beberapa kali lagi. Dan runtuhlah sudah seluruh rumahnya.
Sebuah lemari tua pemberian kepala penampungan waktu itu menyeruak di antara puing-puing yang dulunya merupakan ruang tamu. Kemudian meja dari potongan-potongan kayu bekas di sebelahnya. Beberapa gelas dari plastik yang tak sempat dia bawa nampak di sela-sela reruntuhan. Dan dari ruang yang dulu digunakan sebagai tempat tidur, sebuah dipan ditimpa reruntuhan nampak seperti tempat pembaringan mayat.
Dia ingat bagaimana dulu orang-orang membantunya mengangkat rangka rumah yang dibelinya dari uang pemberian kepala penampungan. Dia ingat bagaimana dia bersama suaminya mengangkuti kayu-kayu bekas dari rumah kepala penampungan, juga beberapa perabot tua. Dia ingat atap-atap terpal campur seng bekas bocor ketika hujan pertama tiba karena belum cukup uang untuk membeli atap baru. Dia ingat pesan almarhum kepala penampungan agar dia dan suaminya bekerja keras agar hidup mereka menjadi lebih baik. Dia ingat, jauh di masa silam, bagaimana pertama kali datang ke kota ketika usianya masih belasan tahun, berjalan digandeng bapaknya susuri jalan sepanjang sungai lalu tiba di rumah kenalan bapaknya. Dia ingat...segala hal yang sudah dilalui sama tubuh tuanya.
Dia ingin menangis. Tapi situasi di mana dia sekarang berada tidak memungkinkannya. Dia, bersama dengan ratusan orang lain yang dulunya tinggal di atas stren kali, berusaha merengsek maju. Dari sisi sebelah sana, seorang perempuan meneriakan umpatan entah kepada siapa. Segala macam binatang beserta setan telah meloncat dari mulutnya. Tapi tak lama karena beberapa saat kemudian perempuan itu jatuh pingsan.
Dia sendiri ingin mundur dari kerumunan. Marah, putus asa, kecewa, bercampur mengaduk kesadarannya, kesadaran orang-orang yang tempat tinggalnya dirobohkan di hadapan mereka. Sudah cukup baginya melihat rumahnya dirobohkan. Dia sengaja datang untuk melihat rumahnya itu untuk kali penghabisan. Barangkali saja masih ada belas kasihan dan tenggang waktu sehingga masih sempat melihat lagi rumahnya karena mungkin ada yang tertinggal di sana. Sebuah rumah, seburuk apa pun, adalah segala-galanya bagi seseorang yang tiba di penghujung senja.
Tapi tidak ada belas kasihan dan tenggang waktu. Orang-orang yang coba lindungi kampungnya dengan tekad dan badan mereka tidak dapat lawan ribuan petugas yang dikerahkan untuk melakukan penggusuran. Apalagi ada anjing-anjing yang dibawa serta. Hewan itu membuat nyali orang-orang menjadi ciut. Seolah-olah yang dihadapi adalah satu batalion tempur. Jumlah petugas yang ada melebihi jumlah warga yang rumahnya digusur. Padahal mereka hanyalah rakyat yang berusaha mempertahankan tempat tinggal mereka di atas bumi manusia yang merdeka.
“Penggusuran akan dibatalkan,” teriak beberapa orang. Harapan datang ketika ada beberapa wakil rakyat datang ke lokasi. Orang-orang bersorak gembira menyambut kedatangan para wakil rakyat.
Sementara itu di antara kerumunan beberapa perempuan berteriak. “Mbah Sih pingsan! Mbah Sih pingsan!”
Beberapa orang lelaki segera datang membopong Sunarsih. Di antara mereka ada yang menggerutu kenapa Sunarsih ikut massa. Akibatnya mereka harus merawat perempuan tua itu. Setelah memasrahkan Sunarsih kepada warga yang tinggal di kampung di seberang stren, orang-orang itu kembali ke lokasi.
Ketika sadar, salah seorang perempuan mengatakan agar Sunarsih istirahat saja dan tidak usah ikut ke lokasi. Seorang lagi menanyakan kepada yang lain tentang anak-anaknya. Tapi tidak ada jawaban. Yang lain lagi berkata sesuatu, juga tidak ada yang menyahut. Kemudian kerumunan itu bubar sendiri-sendiri. Tinggal Sunarsih dan pemilik rumah.
“Barang-barangnya ada di mana, Mbah?” tanya pemilik rumah. Sekali pun tidak saling kenal, pemilik rumah tahu perempuan tua yang kini duduk di teras rumahnya itu tinggal di atas stren kali yang kini tengah dibongkar.
“Saya titipkan di rumah majikan,” katanya.
“Sedhereke ke mana, apa ikut sama orang-orang di sana?” tanya tuan rumah lagi. Tuan rumah tidak tahu keluarga Sunarsih, karena itu dia menggunakan kata sedherek yang maksudnya bisa merujuk orang terdekat.
“Entahlah. Orang-orang mengatakan himbauan agar warga membongkar sendiri bangunannya itu tidaklah benar sehingga saya menuruti keputusan mereka. Sebab sampai saat ini orang-orang masih rapat dengan petinggi-petinggi untuk membahas masalah penggusuran. Lagipula kalau saya harus membongkar sendiri, tenaga siapa yang mau saya pakai? Uang dari mana yang saya gunakan untuk membayar kuli-kuli? Kalau memang hendak dibongkar, ya sudah bongkar saja sendiri...
“Tapi anak perempuan saya yang tinggal di desa sudah saya diberitahu. Baru sore nanti sepulang kerja anak majikan saya akan mengantar saya ke sana. Sedang untuk barang-barang saya bisa dipikir belakangan. Oalah, Gusti Gusti! Kog ya masih ada orang sebaik majikan saya yang mau perhatian pada saya.”
Tak lama kemudian dia kembali ke rumah majikannya dengan diantar oleh anak tuan rumah tadi. Dia merasa perlu berbaring. Kepalanya terasa pening. Dadanya sesak dihantam tangan-tangan buldozer yang dingin. Dalam hati dia berharap dengan sangat bisa segera bertemu anak-anaknya.
Sebelum matanya terpejam dia berharap ketiga anaknya di sini sekarang. Dalam tidurnya dia bermimpi, suaminya naik sebuah perahu pergi ke timur mengikuti arus kali. Tangannya melambai. Ketiga anaknya melepaskan tambatan pada perahu itu. Di atasnya langit meratap berwarna kelam di atas reruntuhan kampung. Seperti sapuan kuas muram di atas kanvas yang ditinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H