Tapi Sunarsih tidak mau. Berita tentang pembongkaran rumah di stren kali memang sudah ada sejak dulu, katanya. Tapi tak pernah ada buktinya. Itu hanya isu yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab agar warga merasa tidak betah dan segera angkat kaki. Mungkin mereka ingin menghaki rumah-rumah itu. Tapi bisa saja berita itu benar adanya. Buktinya di kampung-kampung stren kali yang lain telah berlangsung pernggusuran. Kampung-kampung yang tergusur atau terbakar adalah cerita yang mewarnai kehidupan kota-kota besar.
Meski di kampung-kampung lain yang terletak di atas stren kali telah digusur namun tidak terjadi apa-apa di kampung Sunarsih. Orang-orang mengira kampung itu akan lolos dari penggusuran. Sebab dulu pemerintah jadikan kampung ini sebagai tempat relokasi. Mereka yakin kebijakan relokasi pada masa itu jadi dasar yang kuat bagi eksistensi kampung mereka. Tapi mendekati akhir dasawarsa pertama abad milenium yang ditakutkan semua orang terjadi. Ribuan aparat beserta mesin-mesin penghancur tiba di muka pintu rumah mereka. Surat peringatan yang disebar beberapa hari sebelumnya bukan isapan jempol belaka.
Rumah yang telah ditinggalinya untuk membesarkan tiga orang anaknya selama puluhan tahun hancur. Mesin excavator dan buldozer telah ratakan rumahnya beserta puluhan rumah lain di atas stren kali itu. Dia hanya bisa pasrah ketika mesin-mesin hasil kemajuan teknologi industri itu mulai menggaruk atap rumahnya hingga terbuka. Atap-atap seng koyak. Dengan sekali hentak dinding rumahnya yang terbuat dari papan roboh oleh kuku-kuku mesin yang dingin. Kemudian mesin itu menghentak beberapa kali lagi. Dan runtuhlah sudah seluruh rumahnya.
Sebuah lemari tua pemberian kepala penampungan waktu itu menyeruak di antara puing-puing yang dulunya merupakan ruang tamu. Kemudian meja dari potongan-potongan kayu bekas di sebelahnya. Beberapa gelas dari plastik yang tak sempat dia bawa nampak di sela-sela reruntuhan. Dan dari ruang yang dulu digunakan sebagai tempat tidur, sebuah dipan ditimpa reruntuhan nampak seperti tempat pembaringan mayat.
Dia ingat bagaimana dulu orang-orang membantunya mengangkat rangka rumah yang dibelinya dari uang pemberian kepala penampungan. Dia ingat bagaimana dia bersama suaminya mengangkuti kayu-kayu bekas dari rumah kepala penampungan, juga beberapa perabot tua. Dia ingat atap-atap terpal campur seng bekas bocor ketika hujan pertama tiba karena belum cukup uang untuk membeli atap baru. Dia ingat pesan almarhum kepala penampungan agar dia dan suaminya bekerja keras agar hidup mereka menjadi lebih baik. Dia ingat, jauh di masa silam, bagaimana pertama kali datang ke kota ketika usianya masih belasan tahun, berjalan digandeng bapaknya susuri jalan sepanjang sungai lalu tiba di rumah kenalan bapaknya. Dia ingat...segala hal yang sudah dilalui sama tubuh tuanya.
Dia ingin menangis. Tapi situasi di mana dia sekarang berada tidak memungkinkannya. Dia, bersama dengan ratusan orang lain yang dulunya tinggal di atas stren kali, berusaha merengsek maju. Dari sisi sebelah sana, seorang perempuan meneriakan umpatan entah kepada siapa. Segala macam binatang beserta setan telah meloncat dari mulutnya. Tapi tak lama karena beberapa saat kemudian perempuan itu jatuh pingsan.
Dia sendiri ingin mundur dari kerumunan. Marah, putus asa, kecewa, bercampur mengaduk kesadarannya, kesadaran orang-orang yang tempat tinggalnya dirobohkan di hadapan mereka. Sudah cukup baginya melihat rumahnya dirobohkan. Dia sengaja datang untuk melihat rumahnya itu untuk kali penghabisan. Barangkali saja masih ada belas kasihan dan tenggang waktu sehingga masih sempat melihat lagi rumahnya karena mungkin ada yang tertinggal di sana. Sebuah rumah, seburuk apa pun, adalah segala-galanya bagi seseorang yang tiba di penghujung senja.
Tapi tidak ada belas kasihan dan tenggang waktu. Orang-orang yang coba lindungi kampungnya dengan tekad dan badan mereka tidak dapat lawan ribuan petugas yang dikerahkan untuk melakukan penggusuran. Apalagi ada anjing-anjing yang dibawa serta. Hewan itu membuat nyali orang-orang menjadi ciut. Seolah-olah yang dihadapi adalah satu batalion tempur. Jumlah petugas yang ada melebihi jumlah warga yang rumahnya digusur. Padahal mereka hanyalah rakyat yang berusaha mempertahankan tempat tinggal mereka di atas bumi manusia yang merdeka.
“Penggusuran akan dibatalkan,” teriak beberapa orang. Harapan datang ketika ada beberapa wakil rakyat datang ke lokasi. Orang-orang bersorak gembira menyambut kedatangan para wakil rakyat.
Sementara itu di antara kerumunan beberapa perempuan berteriak. “Mbah Sih pingsan! Mbah Sih pingsan!”