Beberapa orang lelaki segera datang membopong Sunarsih. Di antara mereka ada yang menggerutu kenapa Sunarsih ikut massa. Akibatnya mereka harus merawat perempuan tua itu. Setelah memasrahkan Sunarsih kepada warga yang tinggal di kampung di seberang stren, orang-orang itu kembali ke lokasi.
Ketika sadar, salah seorang perempuan mengatakan agar Sunarsih istirahat saja dan tidak usah ikut ke lokasi. Seorang lagi menanyakan kepada yang lain tentang anak-anaknya. Tapi tidak ada jawaban. Yang lain lagi berkata sesuatu, juga tidak ada yang menyahut. Kemudian kerumunan itu bubar sendiri-sendiri. Tinggal Sunarsih dan pemilik rumah.
“Barang-barangnya ada di mana, Mbah?” tanya pemilik rumah. Sekali pun tidak saling kenal, pemilik rumah tahu perempuan tua yang kini duduk di teras rumahnya itu tinggal di atas stren kali yang kini tengah dibongkar.
“Saya titipkan di rumah majikan,” katanya.
“Sedhereke ke mana, apa ikut sama orang-orang di sana?” tanya tuan rumah lagi. Tuan rumah tidak tahu keluarga Sunarsih, karena itu dia menggunakan kata sedherek yang maksudnya bisa merujuk orang terdekat.
“Entahlah. Orang-orang mengatakan himbauan agar warga membongkar sendiri bangunannya itu tidaklah benar sehingga saya menuruti keputusan mereka. Sebab sampai saat ini orang-orang masih rapat dengan petinggi-petinggi untuk membahas masalah penggusuran. Lagipula kalau saya harus membongkar sendiri, tenaga siapa yang mau saya pakai? Uang dari mana yang saya gunakan untuk membayar kuli-kuli? Kalau memang hendak dibongkar, ya sudah bongkar saja sendiri...
“Tapi anak perempuan saya yang tinggal di desa sudah saya diberitahu. Baru sore nanti sepulang kerja anak majikan saya akan mengantar saya ke sana. Sedang untuk barang-barang saya bisa dipikir belakangan. Oalah, Gusti Gusti! Kog ya masih ada orang sebaik majikan saya yang mau perhatian pada saya.”
Tak lama kemudian dia kembali ke rumah majikannya dengan diantar oleh anak tuan rumah tadi. Dia merasa perlu berbaring. Kepalanya terasa pening. Dadanya sesak dihantam tangan-tangan buldozer yang dingin. Dalam hati dia berharap dengan sangat bisa segera bertemu anak-anaknya.
Sebelum matanya terpejam dia berharap ketiga anaknya di sini sekarang. Dalam tidurnya dia bermimpi, suaminya naik sebuah perahu pergi ke timur mengikuti arus kali. Tangannya melambai. Ketiga anaknya melepaskan tambatan pada perahu itu. Di atasnya langit meratap berwarna kelam di atas reruntuhan kampung. Seperti sapuan kuas muram di atas kanvas yang ditinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H