Mohon tunggu...
Chamim Rosyidi Irsyad
Chamim Rosyidi Irsyad Mohon Tunggu... Guru - nama pena: Chrirs Admojo

Ajang berbagi, bermanfaat bagi sesama, hidup semakin bermakna dalam ridlo Allah Azza wa Jalla.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketlisutnya Pusaka Tiga Taji

6 Februari 2021   18:06 Diperbarui: 6 Februari 2021   18:14 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Chrirsadmojo

Kisah tentang ketlisutnya sebuah pusaka ini awalnya saya peroleh dari Kang Tain, Dr. Mustain Baladan, M.Pd.I. Damarsi Sidoarjo, pada 11 April 2018. Kang Tain pun mendapatkannya dari Gus Nuh Sepanjang, kilahnya. Nah, sesaat setelah memperoleh kisah ini, bakda magrib hari itu juga sempat saya posting di akun fb saya. Sampai hari ini masih dapat dikunjungi di alamat https://www.facebook.com/chamim.irsyad/posts/10213163038003975.

Kawan, hampir tiga tahun yang lalu saya turut berbagi kisah ini meski sebatas melalui akun fb saya. Kang Mas Jack Parmin Unesa sempat mengomentari postingan ini dengan “Kisah abadi yang takboleh hilang … nilainya, tentunya.”

Sempat saya sambut komentar Kang Mas Jack Parmin ini dengan “Iya ya … jika direnung-renungkan … ada kisah abadi yang terpatri kokoh pada jamak insan di sepanjang zaman …. Ada pula kisah abadi yang perlu diabadikan dengan laku para insan yang telah (dimampukan) memetik keagungan nilainya ….”

Begitu pula komentar Kang Mas Agung Pramujiono, “Sangat mengharukan. Meski berkali-kali pernah membaca kisah ini. Selalu saja tidak kuasa menahan haru.”

Kawan, dua tahun sepuluh bulan kemudian. Ketika saya sempat singgah dan berguru pada artikel Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, M.Si. pada Jumat, 5 Februari 2021 kemarin di portal https://www.uin-malang.ac.id/r/150101/kebersamaan-dalam-menjaga-nilai-nilai-islam.html, saya jadi semakin yakin bahwa kisah ini mengabadi.  Teladan inspiratif yang dilakukan oleh sahabat Salman Al-Farisi berenergi untuk mempersuasi generasi kapan saja dan di mana saja untuk dimampukan melakukan hal-hal heroik serupa.

Ketlisutnya Pusaka Tiga Taji sebagaimana pernah saya posting pada fb saya dengan judul “Pusaka Yang Hilang” ijinkanlah saya sajikan lagi yang kisahnya kurang lebih seperti berikut ini.

Siang itu Khalifah Umar bin Khattab sedang duduk di bawah pohon kurma di dekat Masjid Nabawi. Beliau tengah dikelilingi para sahabat beliau. Dari kejauhan datanglah tiga orang pemuda. Dua pemuda di antaranya memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit di antara mereka.

Ketika sudah berhadapan dengan Amirul Mukminin, kedua pemuda ini ternyata kakak beradik itu berkata, "Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!" dua pemuda  ini pun melanjutkan kata-katanya, "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!".

Khalifah Umar segera bangkit dan berkata, "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai Anak Muda?"

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, "Benar, wahai Amirul Mukminin!"

"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya!" pinta Khalifah Umar.

Pemuda lusuh itu memulai ceritanya, "Aku datang dari pelosok. Kaumku memercayakan aku suatu urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota dua pemuda ini. Sesampainya aku di kota yang dimaksud kaumku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku.  Aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Rupanya untaku terlepas dan merusak kebun miliknya. Ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu," ucap salah satu dua bersaudara itu.

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.

Khalifah Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh, "Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda saleh lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf atas kemarahan sesaat".

"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu", lanjut Khalifah Umar.

"Maaf Amirul Mukminin, kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa", jawab dua bersaudara itu.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah" ujarnya dengan tegas, "Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".

"Mana bisa begitu?" ujar kedua pemuda.

"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Khalifah Umar.

"Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin! Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya.

"Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Namun, harus ada yang mau menjaminmu agar kamu kembali untuk menepati janji," kata Umar.

"Aku tidak memiliki seorang kerabat pun di sini. Hanya Allah, hanya Allahlah penjaminku, wahai Orang-orang beriman", rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, "Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin". Ternyata Salman al Farisi yang berkata.

"Salman, kau belum mengenal pemuda ini. Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini!", kata Khalifah Umar.

"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati Khalifah Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi untuk mengurus kepentingan kaumnya.

Hari pertama, hari kedua, dan hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda lusuh. Mereka pun mulai mengkhawatirkan nasib Salman. Salah satu sahabat Rasulullah SAW yang sangat utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berganti petang. Orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Khalifah Umar menyimpan gelisah dengan ketenangan seorang khalifah.

Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh. Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi.

Hadirin mulai terisak, orang hebat seperti Salman akan dikorbankan. Tiba-tiba dari kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok. Jatuh, bangkit. Kembali jatuh, lalu bangkit kembali. ”Itu dia!” teriak Khalifah Umar, “Dia datang menepati janjinya!”

”Hh ... hh ... maafkan ... maafkan ... Aku ...,” ujar Si Pemuda lusuh dengan susah payah, “Tak kukira ... urusan kaumku ... menyita ...banyak ... waktu …,” kemudian lanjutnya, ”kupacu ... tungganganku ... tanpa henti, hingga ... ia sekarat di gurun ... terpaksa ... kutinggalkan ... lalu aku berlari dari sana ...”

”Demi Allah, mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya Khalifah Umar.

”Agar ... jangan sampai ada yang mengatakan di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.” jawab si pemuda lusuh itu.

“Lalu …, kau Salman. Mengapa mau-maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?" tanya Khalifah Umar.

"Agar jangan sampai ada yang mengatakan bahwa di kalangan muslimin tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”, jawab sahabat Salman dengan penuh ketenangan.

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak, “Saksikanlah wahai kaum Muslimin. Bahwa kami telah memaafkan saudara kami ini!” Semua orang tersentak kaget.

“Apa maksudmu ini? Mengapa kalian ...?” Tanya Khalifah Umar.

”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya” ujar kedua pemuda bersaudara itu.

Kawan, inilah pusaka yang telah ada dan terjaga sejak era lima belas abad silam. Pusaka indah nan sakti tiga taji yang saat ini jamak ketlisut dari sikap dan tabiat perikehidupan keseharian. Telah menjarang ada lagi hubungan sesama yang bertambat sangat kuat dengan Allah Azza wa Jalla. Banyak hal tidak lagi dilakukan dengan semangat ikhsan.

Kerinduan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, M.Si. (2015) akan hadirnya kebersamaan dalam menjaga nilai-nilai kehidupan hakiki di zaman ini adalah kerinduan kita bersama juga  di sepanjang zaman. Kerinduan akan menyuburnya kembali nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab, kejujuran, keikhlasan, mudah memaafkan, dan kesabaran dalam perikehidupan keseharian. Kerinduan akan hadirnya iklim hidup nan indah.

Siapakah yang mampu menemukan pusaka yang sempat ketlisut ini? Hanya kita yang mau berikhtiar hidup bersama dalam kebinekaan dimampukan untuk dapat mempusakai diri kita agar hidup ini indah dalam rida-Nya senantiasa.

Bumi KaBeDe Gresik, 6 Februari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun