"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya!" pinta Khalifah Umar.
Pemuda lusuh itu memulai ceritanya, "Aku datang dari pelosok. Kaumku memercayakan aku suatu urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota dua pemuda ini. Sesampainya aku di kota yang dimaksud kaumku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku. Â Aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Rupanya untaku terlepas dan merusak kebun miliknya. Ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."
"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu," ucap salah satu dua bersaudara itu.
"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.
Khalifah Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh, "Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda saleh lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf atas kemarahan sesaat".
"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu", lanjut Khalifah Umar.
"Maaf Amirul Mukminin, kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa", jawab dua bersaudara itu.
Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah" ujarnya dengan tegas, "Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".
"Mana bisa begitu?" ujar kedua pemuda.
"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Khalifah Umar.
"Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin! Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya.