Saya menerima pesan Whatsapp dari kepala sekolah kami dan pesan itu berisi tautan ke sebuah artikel berjudul "Perpustakaan Sekolah dan Literasi Membaca Kita yang Memprihatinkan," dan saya membacanya dengan perasaan sedang mendengar orang berkeluh-kesah soal rendahnya minat baca siswa. Artikel itu terbit di Floresa, dua hari setelah perayaan Hari Perpustakaan Sekolah Nasional 2024, dan tidak menutup kemungkinan kalau ia merupakan refleksi si penulis pada momen itu.
Di perpustakaan sekolah kami, Perpustakaan Pelita Bangsa, tentu saja, tak ada perayaan apa-apa pada 18 Oktober. Semua berjalan seperti biasa. Para petugas perpustakaan -- termasuk saya -- bahkan tidak tahu kalau hari itu adalah hari besar bagi perpustakaan sekolah. Sementara itu, di luar, murid-murid datang dengan wajah tak bergairah dan masuk ke kelas seolah dalam kondisi setengah sadar. Tentu tidak semua murid seperti itu, hanya beberapa orang saja, tetapi hampir pasti para guru juga melakukan hal yang -- kurang lebih -- sama seperti hari-hari lain. Bagi guru yang perokok, merek rokok yang mereka hisap juga sama.
Saya sendiri merasa senang sebab ditugaskan di perpustakaan. Sebagai petugas, yang sudah barang tentu berada dekat dengan buku-buku, saya cukup mengambil satu buku bagus (novel maupun cerpen) dari rak ketika ada waktu luang, masuk ke dunia cerita yang ditawarkan oleh si penulis melalui kata kata, lalu keluar dengan perasaan baru saja mengalami hal baru. Ini seperti yang dikatakan Ernest Hemingway, salah satu penulis favorit saya: "Semua buku berkualitas itu memiliki sifat yang sama. Setelah selesai membacanya, Anda akan merasa seolah semua pengalaman yang tertera di dalamnya menjadi pengalaman Anda juga -- termasuk yang baik dan yang buruk, kegirangan, penyesalan, kesedihan...." Ringkasnya, membaca buku fiksi membuat saya memiliki pengalaman baru, hal-hal yang mungkin tidak saya lihat dan tidak saya alami di kehidupan sehari-hari.
Saya berkeyakinan, sebagaimana yang ditulis AS Laksana dalam status-statusnya di Facebook, bahwa kegemaran membaca merupakan hasil dari pembiasaan secara sadar dan sengaja. Jika seseorang tidak terbiasa membaca sejak kecil, membentuk kebiasaan ini pada usia dewasa merupakan misi yang sulit. Ia memerlukan motivasi tinggi dan kemampuan berkonsentrasi dan kesanggupan mencerna gagasan tertulis dan tidak semua orang sanggup melakukannya. Di samping itu, yang lebih penting dari membaca, kata Jorge Louis Borges, adalah membaca ulang. Johann Wolfgang von Goethe, yang berusia satu setengah abad lebih tua dari Borges, melakukannya dengan sangat baik; ia membaca berulang-ulang Kisah 1001 Malam.
Lalu, bagaimana agar para murid gemar membaca kalau sejak kecil mereka tidak memiliki kebiasaan membaca? Itu pertanyaan yang belum terjawab dalam tautan yang saya terima dari kepala sekolah kami, dan saya bermaksud menambahkannya.
Kalau kita bersepakat bahwa kegemaran membaca adalah hasil dari pembiasaan secara sadar, kita bisa menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh behavior scientist -- Brian Jeffrey Fogg, misalnya, penulis Tiny Habits. Dalam salah satu cermahnya di TEDx Talks pada awal Desember 2012 lalu, ia mengingatkan kita bahwa yang paling berpengaruh dalam membentuk prilaku (kebiasaan) sehari-hari adalah tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan.Â
Pandangan ini juga dikemukakan James Clear dalam Atomic Habits; bahwa kita tidak dilahirkan dengan membawa kebiasaan kita sendiri. Kita meniru. Kita meniru gaya orang tua dan orang dewasa di sekitar kita bicara; kita meniru gaya mereka berpakaian;Â
kita juga meniru cara mereka memaki atau memaknai keadaan. Karena itu, untuk membangun satu kebiasaan baru ketika kita sudah memiliki kebiasaan sendiri, kita bisa memulainya setelah kita melakukan satu tindakan.Â
Gampangnya seperti ini: Pertama-tama, kata B.J. Fogg, kita perlu memperjelas aspirasi kita, lalu menuliskan sebanyak mungkin prilaku pendukungnya. Ketika ingin menurutkan berat badan, misalnya, satu dari beberapa prilaku pendukung yang ia lakukan adalah push up, dan ia menggunakan 'kencing' sebagai pengingat untuk push up. Jadi, setiap selesai kencing, ia akan melakukan push up sebanyak dua kali. Kalau dalam sehari ia kencing sebanyak sepuluh kali sehari, artinya ia melakukan push up sebanyak 20 kali -- dua kali setiap selesai kencing. Dan ia terus melakukan kebiasaan ini sampai mendapat berat badan yang ia inginkan. Apakah hanya push up saja? O, tentu tidak, bung. Ia bisa melakukan apa saja yang mendukung aspirasinya -- push up, leg lift, sit up, mungkin juga squat dan sprint. Semakin banyak prilaku pendukung tentu semakin baik.
Kalau Anda dikelilingi oleh para penggosip dan Anda juga ingin menurunkan berat badan, saya kira Anda bisa memanfaatkan orang-orang itu sebagai pengingat untuk push up. Jadi, setelah mendengar mereka menggosip, anda bisa push up sebanyak sepuluh kali. Tentu mereka tidak perlu tahu mengapa Anda push up, dan penting bagi Anda untuk melakukannya setelah mereka selesai bergosip atau Anda akan menjadi bahan gosip selanjutnya.
Begitulah cara B.J Fogg memanfaatkan tindakan sehari-harinya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan (aspirasinya). Rumusnya kira-kira seperti ini; setelah saya melakukan..., saya akan....
Metode yang ditawarkan B.J Fogg sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan sebagian orang biasa melakukan cara itu selama bulan Ramadhan. Agar dapa membaca satu juz Al-Quran dalam sehari, mereka meluangkan beberapa menit untuk membaca Al-Quran setiap selesai salat. Kalau dalam sekali duduk mereka mampu membaca sebanyak 5 halaman saja, misalnya, maka dalam dari salat Subuh sampai salat Magrib mereka sudah dapat 20 puluh halaman. Sisanya mereka selesaikan sesudah salat Witir.
Murid-murid juga bisa menerapkan cara semacam ini untuk menumbuhkan minat baca. Misalnya, mereka membaca satu halaman buku sesudah sarapan, satu halaman lagi ketika tiba di sekolah, lima belas menit sebelum jam pertama dimulai, setengah lembar lagi pada saat istirahat, setengah lembar lagi sebelum pulang ke rumah, dan satu lembar lagi setelah tiba di rumah. Ada banyak kesempatan untuk membaca buku dan mereka tentu lebih tahu bahwa mereka bisa melakukan lebih dari itu. Kalau mereka merasa kesulitan, ingat kata Ipho Santosa; "Paksa, bisa, terbiasa".
Menulis surat untuk murid juga boleh di coba. Beberapa tahun lalu saya pernah mengirim  surat terbuka -- minimal satu kali seminggu -- di grup Whatsapp yang berisi murid-murid tahun pertama. Melalui surat itu, saya mencoba mengingatkan mereka tentang pentingnya belajar. Kadang-kadang, dengan maksud membuat mereka terbiasa menulis, saya juga meminta mereka membalas surat saya, dan ini membuat saya mendapat satu hal yang tidak terencana; hubungan kami terasa semakin dekat.
Ada juga murid di sekolah kami yang punya cara tersendiri agar dapat membaca buku kapan dan di manapun ia mau. Muhammad Faiz namanya. Ia termasuk siswa yang menjadi bahan perbincangan karena sikapnya yang pendiam dan kegemarannya tidak sekolah yang pada akhirnya membuatnya ketinggalan banyak pelajaran. Untuk menutupi tugas-tugas dan menyelesaikan pelajaran yang terlewatkan, ia mengganti walpaper gawainya dengan foto halaman buku. Ada banyak sekali foto-foto buku dalam gawainya dan masing-masing foto mendapatkan giliran menjadi walpaper. Dengan cara itu, kapapun ia menghidupkan gawai, hal pertama yang lihat adalah foto halaman buku, dan ia akan mebaca halaman itu sebentar sebelum melakukan hal lain -- browsing, misalnya, atau melihat status teman-temannya di Whatapps. Saya pikir, apa yang dilakukan Faiz bisa menjadi contoh bagi murid-murid lain untuk membangun kebiasaan membaca. Jika selama di sekolah saja murid-murid bersedia mengganti walpaper dengan foto halaman buku, itu akan membantu mereka membentuk kebiasaan membaca.Â
Namun, saya masih tidak tahu mengapa Dra. Robiyaton mengirimkan saya artikel itu. Untuk mendorong literasi di sekolah, kami, pihak perpustakaan, bekerja sama dengan perpustakaan provinsi dan meminjam sejumlah buku (fiksi dan nonfiksi) dan meletakkannya di setiap rak dengan harapan murid-murid mau membacanya. Kami juga membuat perpustakaan online dan meletakkan Budi (buku digital) di seiap rak, baik buku pelajaran maupun bahan bacaan, yang bergambar maupun yang minus gambar, yang legal maupun ilegal, tetapi bahkan buku yang ditulis oleh penerima hadiah Nobel atau penerima penghargaan Pulitzer atau yang mengisahkan tentang kehidupan di alam akhirat pun tidak membuat murid-murid tertarik. Agaknya kami perlu melakukan terobosan baru seperti meletakkan selembar uang di setiap halaman buku agar murid-murid mau membacanya. Semoga kepala sekolah kami setuju dengan terobosan ini.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI