Mohon tunggu...
Chairil Anwar B.
Chairil Anwar B. Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Kasar

Dilihat dari sisi manapun, rasanya tak ada yang menarik dari diri saya. Karena itu, ada baiknya bila saya abaikan saja bagian ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semoga Siswa Kita Gemar Membaca, Bu

2 Februari 2025   23:44 Diperbarui: 3 Februari 2025   00:19 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menerima pesan Whatsapp dari kepala sekolah kami dan pesan itu berisi tautan ke sebuah artikel berjudul "Perpustakaan Sekolah dan Literasi Membaca Kita yang Memprihatinkan," dan saya membacanya dengan perasaan sedang mendengar orang berkeluh-kesah soal rendahnya minat baca siswa. Artikel itu terbit di Floresa, dua hari setelah perayaan Hari Perpustakaan Sekolah Nasional 2024, dan tidak menutup kemungkinan kalau ia merupakan refleksi si penulis pada momen itu.

Di perpustakaan sekolah kami, Perpustakaan Pelita Bangsa, tentu saja, tak ada perayaan apa-apa pada 18 Oktober. Semua berjalan seperti biasa. Para petugas perpustakaan -- termasuk saya -- bahkan tidak tahu kalau hari itu adalah hari besar bagi perpustakaan sekolah. Sementara itu, di luar, murid-murid datang dengan wajah tak bergairah dan masuk ke kelas seolah dalam kondisi setengah sadar. Tentu tidak semua murid seperti itu, hanya beberapa orang saja, tetapi hampir pasti para guru juga melakukan hal yang -- kurang lebih -- sama seperti hari-hari lain. Bagi guru yang perokok, merek rokok yang mereka hisap juga sama.

Saya sendiri merasa senang sebab ditugaskan di perpustakaan. Sebagai petugas, yang sudah barang tentu berada dekat dengan buku-buku, saya cukup mengambil satu buku bagus (novel maupun cerpen) dari rak ketika ada waktu luang, masuk ke dunia cerita yang ditawarkan oleh si penulis melalui kata kata, lalu keluar dengan perasaan baru saja mengalami hal baru. Ini seperti yang dikatakan Ernest Hemingway, salah satu penulis favorit saya: "Semua buku berkualitas itu memiliki sifat yang sama. Setelah selesai membacanya, Anda akan merasa seolah semua pengalaman yang tertera di dalamnya menjadi pengalaman Anda juga -- termasuk yang baik dan yang buruk, kegirangan, penyesalan, kesedihan...." Ringkasnya, membaca buku fiksi membuat saya memiliki pengalaman baru, hal-hal yang mungkin tidak saya lihat dan tidak saya alami di kehidupan sehari-hari.

Saya berkeyakinan, sebagaimana yang ditulis AS Laksana dalam status-statusnya di Facebook, bahwa kegemaran membaca merupakan hasil dari pembiasaan secara sadar dan sengaja. Jika seseorang tidak terbiasa membaca sejak kecil, membentuk kebiasaan ini pada usia dewasa merupakan misi yang sulit. Ia memerlukan motivasi tinggi dan kemampuan berkonsentrasi dan kesanggupan mencerna gagasan tertulis dan tidak semua orang sanggup melakukannya. Di samping itu, yang lebih penting dari membaca, kata Jorge Louis Borges, adalah membaca ulang. Johann Wolfgang von Goethe, yang berusia satu setengah abad lebih tua dari Borges, melakukannya dengan sangat baik; ia membaca berulang-ulang Kisah 1001 Malam.

Lalu, bagaimana agar para murid gemar membaca kalau sejak kecil mereka tidak memiliki kebiasaan membaca? Itu pertanyaan yang belum terjawab dalam tautan yang saya terima dari kepala sekolah kami, dan saya bermaksud menambahkannya.

Kalau kita bersepakat bahwa kegemaran membaca adalah hasil dari pembiasaan secara sadar, kita bisa menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh behavior scientist -- Brian Jeffrey Fogg, misalnya, penulis Tiny Habits. Dalam salah satu cermahnya di TEDx Talks pada awal Desember 2012 lalu, ia mengingatkan kita bahwa yang paling berpengaruh dalam membentuk prilaku (kebiasaan) sehari-hari adalah tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan. 

Pandangan ini juga dikemukakan James Clear dalam Atomic Habits; bahwa kita tidak dilahirkan dengan membawa kebiasaan kita sendiri. Kita meniru. Kita meniru gaya orang tua dan orang dewasa di sekitar kita bicara; kita meniru gaya mereka berpakaian; 

kita juga meniru cara mereka memaki atau memaknai keadaan. Karena itu, untuk membangun satu kebiasaan baru ketika kita sudah memiliki kebiasaan sendiri, kita bisa memulainya setelah kita melakukan satu tindakan. 

Gampangnya seperti ini: Pertama-tama, kata B.J. Fogg, kita perlu memperjelas aspirasi kita, lalu menuliskan sebanyak mungkin prilaku pendukungnya. Ketika ingin menurutkan berat badan, misalnya, satu dari beberapa prilaku pendukung yang ia lakukan adalah push up, dan ia menggunakan 'kencing' sebagai pengingat untuk push up. Jadi, setiap selesai kencing, ia akan melakukan push up sebanyak dua kali. Kalau dalam sehari ia kencing sebanyak sepuluh kali sehari, artinya ia melakukan push up sebanyak 20 kali -- dua kali setiap selesai kencing. Dan ia terus melakukan kebiasaan ini sampai mendapat berat badan yang ia inginkan. Apakah hanya push up saja? O, tentu tidak, bung. Ia bisa melakukan apa saja yang mendukung aspirasinya -- push up, leg lift, sit up, mungkin juga squat dan sprint. Semakin banyak prilaku pendukung tentu semakin baik.

Kalau Anda dikelilingi oleh para penggosip dan Anda juga ingin menurunkan berat badan, saya kira Anda bisa memanfaatkan orang-orang itu sebagai pengingat untuk push up. Jadi, setelah mendengar mereka menggosip, anda bisa push up sebanyak sepuluh kali. Tentu mereka tidak perlu tahu mengapa Anda push up, dan penting bagi Anda untuk melakukannya setelah mereka selesai bergosip atau Anda akan menjadi bahan gosip selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun