Kemudian, Indonesia mendukung resolusi PBB yang mengutuk invasi dan menuntut Rusia menarik pasukannya, tetapi kembali menegaskan bahwa Indonesia hanya mendukung solusi seimbang yang memenuhi tuntutan semua pihak. Di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia memberikan suara abstain dalam resolusi untuk mengeluarkan Rusia dari dewan tersebut.Â
Sebagai tuan rumah KTT G20 pada November tahun lalu, Indonesia menolak permintaan Barat untuk tidak mengundang Putin.
Banyak orang Indonesia melihat klaim moralitas Amerika Serikat sebagai hipokrit; apa perbedaan antara invasi Rusia ke Ukraina dan intervensi AS di Irak? Kebijakan Timur Tengah AS dan penolakan untuk menerapkan solusi dua negara bagi Israel dan Palestina juga membuat Indonesia melihat kepura-puraan AS. Opini publik di Indonesia cenderung pro-Rusia, sebagian karena ada sentimen anti-AS di masyarakat.
Bagi Presiden Joko Widodo, ia tidak ingin KTT G20 diculik oleh politik geopolitik dan tidak dapat mendorong inisiatif kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan inti negara-negara berkembang seperti kesehatan masyarakat global, pengembangan ekonomi digital, dan transisi energi.Â
Oleh karena itu, ia secara pribadi mengunjungi Rusia dan Ukraina, mengundang Zelensky ke KTT G20, dan meminta pemimpin Barat merenung apakah mereka benar-benar ingin memboikot Putin.
Selama kunjungan tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan bahwa Joko Widodo memilih untuk berkontribusi daripada diam, menolak "diplomasi pengeras suara", dan mempertahankan kelayakan perdamaian dunia.
Joko Widodo juga meminta Rusia untuk tidak menghalangi ekspor biji-bijian Ukraina, menjaga keamanan pangan Indonesia dan negara-negara Global Selatan.
Merefleksikan Kebijakan Luar Negeri "Non-Blok"
Namun, beberapa akademisi di Indonesia menyadari kebutuhan untuk menyesuaikan konten kebijakan "non-blok". Sebagai produk dari Perang Dingin abad ke-20, gerakan "non-blok" mengusulkan agar Indonesia tetap netral dalam konfrontasi ideologi antara AS dan Uni Soviet.Â
Namun, konfrontasi antar negara besar saat ini bukan berasal dari persaingan ideologi, melainkan persaingan geopolitik dan geoekonomi.
Kesepakatan awal antara para akademisi Indonesia adalah untuk tetap terhubung dengan China dan Rusia dalam hal ekonomi, dan bekerja sama dengan AS dalam hal militer dan keamanan. Pendekatan seperti ini telah digunakan oleh banyak negara Asia selama bertahun-tahun, tetapi menurut saya, strategi ini masih belum cukup proaktif.