Oleh: Chaerol Riezal*
Tak ada yang menyangka bahwa seorang orientalis asal Belanda yang bernama lengkap Dr. Christiaan Snouck Hurgronje merupakan sosok yang mengundang kontroversi bagi Aceh, tetapi ia menjadi pahlawan bagi Belanda dan begitu diagungkan. Ini persis seperti halnya pertanyaan yang sering kita dengar: Bagi Aceh dan Belanda, apakah Teuku Umar itu seorang pahlawan atau pemberontak?
Publik di Aceh pasti tidak akan pernah melupakan kunjungan misterius Snouck Hurgronje pada tahun 1891-1892 ke daerah yang mendapat julukan Serambi Mekkah. Bagaimana tidak, orientalis asal Belanda itu membawa misi ganda dalam membantu negaranya untuk meredam pasukan rakyat Aceh yang telah frustasi dihadapi oleh pasukan Belanda.
Ya benar, Snouck melakukan tindakan nekad sekaligus kontroversial dengan cara melakukan penyamaran (detektif) dan penelitian di Aceh. Entah Belanda sengaja atau tidak mendatangkan Snouck sebagai mata-mata untuk kepentingan kolonialisme di Aceh, yang jelas Snouck telah nekad melakukan tindakan kontroversi di Aceh. Sangking kontroversinya, bahkan aksi nekad yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje bermula dari pertualangannya yang berbahaya di kota suci Mekkah, sebelum akhirnya ia melakukan hal yang sama di Aceh.
Konon, pertualangan Snouck di Aceh sempat membawa dampak negatif. Dampak itu muncul dalam sebuah pepatah atau hadih maja Aceh, yang kemudian menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Aceh sampai hari ini. Pepatah itu berbunyi: "Meunye na pakat, lampoh jeurat ta peugala". Artinya adalah jika ada ajakan, tanah kuburan pun bisa digadaikan. Pepatah itu diyakini hasil peninggalan Snouck yang telah memanipulasi sejarah Aceh. Akibatnya adalah Aceh pernah mengalami sebuah fenomena menjual tanah atau kompleks yang berisikan makam, dan terkadang terdapat nisan-nisan tokoh sejarah Aceh. Ironis memang.
Apa yang dilakukan oleh Snouck dianggap publik sebagai hal yang fenomenal, karena keberaniannya memasuki kota suci Mekkah melalui proses penyamaran sebagai seorang muslim (mualaf). Meski demikian, pertualangan berbahaya Snouck di Mekkah bukanlah yang pertama atau paling banyak dibicarakan, karena sebelumnya sudah ada orang-orang orientalis asal Eropa melakukan misi seperti yang Snouck lakukan. Sebut saja seperti Louis Massignon. Louis Massignon melakukan penelitian dan mengkaji tentang masyarakat muslim di Maroko. Louis Massignon adalah seorang orientalis terkenal asal Perancis yang pernah bekerja di kementerian luar negeri Perancis dan pemerintah kolonial Perancis di Maroko.
Tujuannya pun sama, yaitu bermula dari permintaan negaranya, kemudian dilanjutkan dengan penelitian dan berujung dengan tujuan akhir; kolonialisme dan imperialisme. Perlu diketahui bahwa orang non muslim yang melakukan kajian terhadap dunia ketimuran dan agama Islam, seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje atau Louis Massignon, dapatlah disebut sebagai seorang orientalis. Sementara tujuan seorang orientalis adalah orientalisme.
Snouck dan Mekkah: Sebuah Pertualangan Berbahaya
Snouck Hurgonje adalah contoh bagi kita bahwa ilmu dan hidayah merupakan dua hal yang berbeda. Orang-orang non muslim bisa saja mengkaji Islam secara mendalam, atau bahkan sampai ke sum-sumnya. Orang-orang non muslim juga bisa saja memandang Islam lewat perspektif keyakinan agamanya. Namun, persoalan hidayah untuk menerima Islam secara lahir dan batin merupakan mutlak urusan Allah. Itulah yang terjadi pada Snouck Hurgonje.
Snouck, meskipun ia telah mengkaji Islam secara mendalam dan juga secara terang-terangan mengatakan bahwa ia menaruh minat pada Islam dan jatuh cinta pada beberapa ajaran dalam Islam, tapi Allah tidak memberikan hidayah dalam hatinya sampai ajal menjemputnya pulang.
Ya benar, Snouck adalah produk nyata bahwa seberapa pun orang non muslim yang mengkaji Islam secara mendalam dan sungguh-sungguh, jika Allah tak memberinya hidayah, maka Islam pun tak akan masuk sepenuhnya dalam hatinya. Jadi, tidak ada iman Islam dalam hati si orientalis, sekalipun ia mengkaji Islam lewat sumber tertinggi (Al-Qur'an dan Hadist). Dengan kata lain, hidayah merupakan mutlak urusan Allah dan tidak dapat di ganggu gugat.
Snouck Hurgonje lahir pada 8 Februari 1857 di Belanda. Sempat terdengar informasi bahwa Snouck tidak mempercayai Tuhan. Tapi belakangan kita tahu bahwa semenjak kecil, ia sudah diarahkan oleh keluarga besarnya untuk memperlajari bidang teologi. Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah, Snouck kemudian melanjutkan studi di Universitas Leiden. Pada tahun 1880, Snouck sukses meraih gelar doktor dalam kesusasteraan Semitis dengan disertasinya berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Mekkah) yang menggambarkan tentang pelaksanaan ibadah haji beserta pernak-pernik adat dan istiadatnya.
Meski sudah meraih gelar doktor dan kemampuannya yang mahir dalam bidang teologi dan bahasa, Snouck ternyata tidak langsung berpuas diri. Pada tahun 1884, Snouck melanjutkan pendidikan misteriusnya dengan mengusung misi ganda ke kota suci umat Islam: Mekkah. Inilah tindakan nekad dan kontroversi Snouck yang berhasil memasuki kota suci Islam yang notabene dikenal oleh dunia sebagai kota yang dilarang masuk bagi umat non Muslim, kecuali ia telah mendapatkan visa Islam. Apa itu visa Islam? Adalah menguncapkan kalimah syahadat.
Pada tahun 1884, berkat di danai oleh negaranya sendiri (Belanda), Snouck dikirimkan ke Jeddah untuk meneliti kehidupan kaum muslimin yang dianggap oleh orang Eropa sebagai kaum yang fanatik. Sebab disanalah kaum muslimin dan muslimah seluruh dunia berkumpul setiap tahun atau apa yang disebut sebagai ... melaksanakan ibadah haji.
Tetapi, jika memang kota suci Mekkah sebagai kawasan yang diharamkan bagi non muslim untuk masuk ke dalamnya, mengapa Snouck Hurgronje berhasil memasuki Mekkah? Jawaban yang paling pupuler menyebutkan bahwa Snouck melakukan penyamaran dengan mengaku dirinya telah memeluk agama Islam dihadapan para ulama di Mekkah dan menggantikan namanya menjadi Abdul Gafar. Apa yang dilakukan oleh Snouck ini adalah semata-mata untuk merebut hati pemerintah Arab Saudi dan ulama di Mekkah serta mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat. Padahal semua itu adalah tipu belaka Snouck. Berkat cara itulah, Snouck akhirnya diizinkan untuk memasuki kota suci Mekkah pada tahun 1885.
Sekitar 6-7 bulan menetap di kota Mekkah, meski terbilang singkat, Snouck berhasil melakukan observasi; mengamati, mencatat, memotret, mempelajari, dan bahkan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat setempat di Mekkah. Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Snouck. Selama kurun waktu itu juga, Snouck tidak hanya berhasil mempelajari Islam secara mendalam tepat di jantungnya, tetapi juga berhasil memperoleh informasi penting di kota suci Mekkah. Disana ia juga menemukan bahwa Mekkah adalah pusat kegiatan Pan-Islamisme. Bahkan ia salut terhadap perlakuan kepada budak yang lebih manusiawi.
Lebih dari itu, Snouck juga berhasil melakukan pendekatan terhadap aktivitas kaum muslimin Nusantara, baik yang pendatang, pelajar ataupun yang menunaikan ibadah haji di kota Mekkah, termasuk juga kaum muslimin asal Aceh. Di sanalah untuk pertama kalinya Snouck mengenal bahasa Aceh. Kebetulan ia juga tinggal dekat dengan Hotel Aceh di Mekkah.
Aceh dan Mekkah Kedua
Setelah melakukan pertualangan berbahaya di kota suci Mekkah dan pulang ke negeri asalnya di Belanda, Snouck langsung menetapkan Aceh sebagai Mekkah kedua untuk pertualangan berikutnya. Penetapan Aceh sebagai Mekkah kedua tidak terlepas dari kenyataan bahwa di daerah inilah Islam pertama sekali disinari dan menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Selain itu, tingginya obsesi Belanda untuk menguasai Aceh sebagai pintu gerbang masuk ke Nusantara di ujung utara pulau Sumatera dan takut dikuasai oleh bangsa lain, menjadi alasan lengkap bagi Snouck untuk datang ke Aceh demi membantu negaranya.
Keinginan Snouck untuk datang ke Aceh begitu kuat. Hal itu tidak terlepas dari perkenalannya dengan orang-orang Aceh selama di Mekkah. Karenanya, Snouck harus ke Aceh. Dan yang menarik disini adalah jika sebelumnya Snouck mengkaji Islam tepat di jantungnya (Mekkah), maka kali ini ia akan melakukan kajian dan penyamaran di daerah pertama kali masuknya Islam di Nusantara dan masyarakatnya juga sangat kental dengan ajaran Islam, yaitu Aceh.
Saya meyakini, jika Snouck tidak bisa datang ke Aceh, apa yang telah ia kerjakan selama menyamar di kota suci Mekkah, maka seolah-olah akan menjadi kurang lengkap dan sia-sia saja. Itulah sebabnya mengapa Snouck menjadikan Aceh sebagai Mekkah kedua. Bahwa ia ingin meneliti dan mempraktekkan langsung di Aceh.
Tapi, jika kita melihat jauh ke belakang, penyamaran Snouck di Aceh seperti mempunyai ikatan yang kuat dengan pertualangannya di kota suci Mekkah. Itu memang benar adanya dan tidak dapat dibantah lagi. Ya, Snouck menjadikan Aceh sebagai Mekkah kedua (tempat pertualangan berikutnya) setelah ia memperoleh pengetahuan tentang Islam dan bergaul dengan masyarakat Aceh di Mekkah.
Ketika Snouck memilih Aceh sebagai tempat pertualangan berikutnya, ia tidak mempunyai keraguan lagi terhadap bekal apa yang akan dibawa ke Aceh. Ia sudah mendapatkan itu selama bersemayam di Mekkah. Mulai dari sejarah, bahasa, karakter dan budaya masyarakat Aceh. Baginya, informasi-informasi yang telah dihimpun selama menyamar di Mekkah, sudah cukup untuk bisa melanjutkan pertualangan kedua di Aceh.
Namun, berkat segala keyakinan yang ada dalam benaknya, Snouck dengan tekad bulat berani mempercayai akan menaklukkan Aceh, bahkan secara tidak langsung ia berkeinginan untuk mengadakan revolusi sosial di Aceh. Tentu saja lewat penyamaran, kajian tentang masyarakat Aceh, dan memanfaatkan pengaruh yang ada. Hal ini dilakukan untuk membantu negaranya yang ingin menguasai Aceh secara total.
Bagi saya pribadi, Snocuk adalah fenomena. Tetapi ia juga adalah pemberontak. Bagaimana tidak? Ia muncul di tengah-tengah masyarakat Aceh yang anti-Belanda --ketika Aceh dan Belanda sedang terlibat dalam perang-- Snouck justru melakukan hal yang sebaliknya.
Seperti diketahui, kala itu sikap anti-Belanda begitu tinggi dan menyeruak dalam tubuh masyarakat Aceh sehingga menjadikan sebuah identitas. Buktinya, rakyat Aceh menyebut Belanda sebagai kapee (kafir) yang telah mencoreng kedaulatan dan marwah Aceh serta menodai agama Islam. Cut Nyak Dhien adalah orang yang paling gencar menyuarakan hal tersebut. Karena itulah, Snouck ingin memberontak terhadap keyakinan anti-Belanda itu.
Tapi masalahnya adalah Snouck menyamar di tengah-tengah masyarakat Aceh yang anti dengan kolonial Belanda itu. Apakah mungkin Snouck ikut-ikutan latah dan mengatakan ia juga anti-Belanda? Rasanya tidak mungkin, Snouck melakukan blunder dengan menghasut rakyat Aceh agar terus membenci Belanda, atau menyebut kehadiran Belanda di Aceh akan membawa malapetaka. Tidak mungkin Snouck melakukan itu. Justru ia mengeluarkan statment ajakan kepada rakyat Aceh agar lebih mementingkan ibadah ketimbang berperang. Bahkan ia melarang ulama untuk terlibat dalam politik di Aceh, terlebih lagi soal peperangan dengan Belanda.
Tiba di Aceh
Setelah urusan (menyamar) di kota suci Mekkah dianggap selesai, pada tahun 1898 Snouck menyatakan keinginannya untuk berlayar ke Hindia Belanda dengan membawa kepentingan ilmu dan misi negara. Gubernur Jenderal Belanda pun menyetujui keinginan Snouck yang ingin datang ke Hindia Belanda. Daerah pertama yang ditujukan oleh Snouck adalah Aceh. Meski demikian, keinginan Snouck untuk datang langsung ke Aceh melalui jalur Penang harus di kubur dalam-dalam. Memang Snouck mendapat restu dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk datang ke Nusantara, tapi tidak langsung ke Aceh. Akhirnya Snouck terpaksa berputar arah dan berlayar menuju ke Batavia.
Barulah pada masa Van Tijn keinginan Snouck dapat terlaksana ketika Jenderal Belanda itu mengundang Snouck ke Aceh untuk meneliti ulama Aceh setelah syahidnya Tengku Chik di Tiro. Disinilah terlihat dengan jelas adanya perpaduan antara kolonialisme (Belanda) dengan orientalisme (Snouck) yang saling bekerja sama, dan didasarkan atas kepentingan yang sama pula, yaitu imperialisme.
Untuk pertama kalinya Snouck Hurgronje menginjakkan kaki di Aceh tepat pada tanggal 16 Juli 1891. Snouck pun tiba Aceh yang dianggapnya sebagai Mekkah kedua. Sejak saat itulah pertualangan dan penyamaran Snouck di Aceh baru saja dimulai. Tapi Snouck tidak lama menetap di Aceh dan mengakhiri pertualangannya pada 4 Februari 1892. Keberadaannya di Aceh memang relatif singkat, bahkan durasi keberadaannya di Aceh, terutama di Aceh Besar dan sekitarnya hampir sama seperti keberadaannya di Mekkah, yaitu sekitar 6-7 bulan. Namun, dari hasil kunjungannya ke Aceh rupanya menghasilkan langkah yang penting, dan tentu saja turut membawa keuntungan yang besar bagi Belanda.
Hasil Penyamaran Snouck di Aceh
Ketika mengambil langkah kontroversial, Snouck tentu ingin merevolusi masyarakat Aceh yang dekat dengan ajaran Islam. Dan untuk mewujudkan keinginannya tersebut, dilakukanlah penyamaran sekaligus penelitian di Aceh sebagai awal dari langkah revolusi itu.
Penyamaran Snouck tentu menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Ia bukanlah orang yang sudah lama menetap dan mengenal Aceh. Penyamaran Snouck waktu itu, hanya didasarkan atas keberhasilannya saat menyamar sebagai mualaf di kota suci Mekkah. Itulah satu-satunya pengalaman Snouck mempelajari agama Islam tepat di jantungnya (Mekkah), termasuk juga melakukan observasi terhadap kaum muslimin Aceh dan Nusantara yang menetap disana. Lebih dari itu, Snouck mengenal Islam lewat penguasaan teori, buku, artikel, hasil penelitian dan kiriman informasi dari teman-temannya.
Namun, semua keraguan itu berhasil dijawabnya dengan baik. Snouck sukses melakukan misi penyamaran di Aceh. Hanya saja, Snouck gagal total merevolusi masyarakat Aceh. Meski demikian, Snouck berhasil merevolusi namanya sendiri. Dari awalnya yang tidak dikenal oleh kebanyakan orang menjadi sebuah fenomena dan membuat Snouck dikenal dunia. Kini pun kita ikut mengenal siapa orientalis asal Belanda itu.
Tugas Snouck, selain menyamar sebagai mualaf di Aceh, juga meneliti masyarakat Aceh tentu sangatlah berat. Bukan hanya karena harus menutup kedoknya sebagai orientalis dari masyarakat Aceh, melainkan juga karena harus bisa menyatukan misi-misi yang telah di usung, termasuk memasok informasi-informasi penting kepada Belanda. Jadi Snouck harus menjalankan tugas itu secara bersamaan.
Tapi, saya tidak tahu apakah pada saat Snouck tiba di Aceh, ia juga melakukan hal yang sama seperti di Mekkah: mengucapkan syahadat dihadapan para ulama untuk merebut simpati masyarakat Aceh? Saya juga tidak tahu apakah masyarkat Aceh memendam rasa kecurigaan selama Snouck bermukim di Aceh? Bukankah dalam situasi genting (berperang), wajar kalau masyarakat menaruh kecurigaan terhadap orang-orang sekitarnya sebagaimana yang terjadi pada saat konflik GAM dan RI sedang memenas? Untuk dua soal itu, saya tidak punya jawabannya. Tapi satu hal yang pasti, bahwa Snouck sudah memasuki Aceh dan menjalankan misi terselubung disana.
Snouck menganggap bahwa dirinya sukses menjalankan penyamaran di Aceh. Itu terbukti dengan adanya hasil peneltian dan memberikan pandangannya kepada petinggi Belanda untuk menjinakan perlawanan rakyat Aceh. Tapi mengenai praktek menjalankan ide-ide Snouck di lapangan, rasanya sulit untuk mengiyakan bahwa Snouck juga sukses. Sebab, kita juga harus melihat bagaimana respons pasukan Aceh ketika Belanda mengeksekusi ide-ide Snouck. Di satu sisi, iya, ide Snouck memang sukses dijalankan, bahkan terjadi pembantaian (genosida) di Aceh. Tapi di sisi lain tidak, karena rakyat Aceh meresponsnya dengan menampilkan perlawanan yang bervariasi dan begitu heroik.
Ketika misi penyamarannya di Aceh berakhir pada awal tahun 1892, Snouck menurunkan laporan kunjungannya ke Aceh dalam bentuk barisan kata-kata (buku dan artikel). Laporan penelitian Snouck tentang Aceh yang sangat panjang dan berjumlah empat jilid, diserahkan kepada Gunernur Jenderal Pijnacter pada 23 Mei 1892.
Verslag Omtrent de Religieus Politieke Atjehers (Laporan tentang Situasi Politik dan Agama di Aceh). Begitulah Snouck memberikan judul laporannya. Dari laporan itu, diterbitkan dua jilid buku yang berjudul De Atjehers (1893-1894) edisi bahasa Belanda atau The Acehnese dari edisi bahasa Inggris. Kini buku tersebut telah terbit dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul "Aceh di Mata Kolonialis" jilid I dan II. Bahkan edisi bahasa Indonesia telah beredar luas di internet dalam bentuk PDF. Selain laporan penelitian dan buku, Snouck juga pernah menerbitkan beberapa artikel dan surat tentang Aceh, baik saat ia telah kembali ke Belanda atau setelah ia tidak lagi terlibat secara langsung dalam urusan Hindia Belanda.
Inti dari laporan penelitian atau buku Snouck itu adalah tentang masyarakat Aceh itu sendiri. Dalam laporan dan buku itu, Snouck membahas masyarakat Aceh dari berbagai aspek, mulai dari Islam, budaya, adat istiadat, struktur masyarakat, sampai perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda.
Dalam kajian penelitiannya, Snouck menggunakan pendekatan tradsi orientalisme. Pertama-tama adalah mempelajari Islam dan kecakapan bahasa untuk menguak kehidupan masyarakat Aceh. Tak ada keraguan bahwa Snouck merupakan seorang orientalis yang mengkaji dunia ketimuran dan Islam, termasuk juga kepiawaiannya dalam penguasaan bahasa. Untuk dua hal itu, Snouck telah mempersiapkan diri selama bermukum di Mekkah, dimana ia telah belajar Islam dan mengkaji bahasa Aceh. Selain hal itu, Snouck juga menggunakan alat bantu analisis dalam mengkaji masyarakat muslim melalui ilmu antropologi. Hal itu pun terlihat jelas dalam hasil karyanya mengunjungi Aceh yang banyak membahas tentang budaya dan adat istiadat Aceh.
Namun, hasil penelitian Snouck tentang Aceh itu, ternyata banyak yang perlu dikritisi secara objektif. Hanya saja, untuk mengkritisinya tidak cukup melalui artikel ini saja. Perlu kajian ilmiah juga agar bisa mengimbangi hasil penelitian Snouck, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para sejarawan yang melakukan penelitian untuk membantah atau merevisi hasil penelitian dan kajian sejarah yang pernah dilakukan sebelumnya.
Untuk melengkapi laporan penelitiannya, Snouck juga memberikan pandangan dan nasihat kepada Belanda dalam menangani masalah perang dengan Aceh. Tapi pandangan Snouck juga mengundang kontroversi, seperti halnya ia melakukan pertualangan berbahaya di Mekkah dan Aceh yang sangat kontroversial. Hal ini membuatnya mendapat banyak kritikan dari pimpinan Belanda ataupun pasukan yang bertugas di Aceh.
Dua Rekomendasi Snouck
Lalu, apa rekomendasi Snouck setelah melakukan pertualangan Mekkah kedua di Aceh? Tentunya, setelah melakukan kajian dan telaah terhadap Islam dan masyarakat Aceh, Snouck memberikan beberapa rekomendasi kepada kolonial Belanda yang waktu itu sedang terlibat perang dengan Aceh.
Perlu dicatat bahwa sebelum kedatangan Snouck, perang Belanda di Aceh nyaris memakan waktu 20 tahun lamanya. Dan selama kurun waktu itu pula, Belanda sama sekali tidak berhasil menaklukkan Aceh. Bahkan sampai kedatangan Snouck ke Aceh dan pulang ke negerinya, Belanda gagal menjinakkan Aceh sampai harus angkat kaki pada tahun 1942. Tercatat hanya Kutaraja (Banda Aceh) saja yang berhasil di duduki Belanda. Itu pun hanya sebentar saja. Sebab, hampir seluruh wilayah Aceh, perang terus berkecambuk dan kobaran semangat jihad fisabilillah begitu menggelora di Aceh, meskipun pimpinan pasukan Aceh banyak syahid di medan pertempuran.
Setelah itu, masuklah Jepang ke Indonesia. Walau hanya 3.5 tahun, pendudukan Jepang lebih kejam dari penjajahan Belanda. Sampai-sampai di Aceh sempat terkenal sebuah ungkapan yang berbunyi: talet ase ta peu tamong buy (kejar anjing, malah yang masuk babi). Ucapan itu menggambarkan penjajahan Jepang lebih kejam dari Belanda. Anjing mungkin masih dapat dijadikan hewan peliharaan, tapi tidak dengan babi. Meski demikian, kedua binatang itu sama-sama jahat dan haram untuk di makan. Karenanya, kedua penjajahan negara itu (Belanda dan Jepang) sama-sama jahat, dan satu diantaranya ada yang jauh lebih jahat. Untuk alasan inilah, segala bentuk penjajahan diatas bumi ini, haram dilaksanakan dan sepenuhnya di larang.
Kembali ke Snouck Hurgronje. Apa yang di rekomendasi Snouck kepada Belanda, jelas berkaitan dengan perang. Artinya, rekomendasi Snouck bertujuan untuk menaklukkan Aceh. Meski demikian, Snouck memiliki pandangan yang berbeda dengan petinggi dan pasukan Belanda terhadap Aceh. Tetapi, dalam tulisan ini, penulis hanya membicarakan dua rekomendasi dari banyaknya rekomendasi Snouck. Dua rekomendasi itulah yang mempunyai pengaruh besar terhadap kekejaman Belanda dalam membantai pasukan Aceh, atau ... terjadi genosida di Aceh.
Berdasarkan hasil kesimpulkan penelitiannya, Snouck menemukan suatu temuan yang paling berharga selama bermukim di Aceh. Ya benar, Snouck menemukan "posisi sentral Islam" dalam perlawanan rakyat Aceh melawan pasukan Belanda. Hal ini diakui oleh Snouck dalam karyanya berjudul The Achehnese, bahwa: "semangat untuk melakukan perang agama yang sangat mengakar dalam ajaran Islam lebih terlihat lagi di kalangan masyarakat Aceh dibandingkan dengan mayoritas saudara-saudara mereka sesama muslim dari daerah-daerah lain ...," Silahkan Anda simpulakan sendiri ucapan Snouck Hurgronje tersebut.
Inilah letak kekuatan rakyat Aceh dalam menghadapi pasukan Belanda, sebagaimana yang telah diakui oleh Snouck diatas. Temuan yang paling berharga dari Snouck itu, kemudian turut memberikan dampak besar terhadap strategi perang yang diambil oleh kolonial Belanda. Tetapi di sisi lain, temuan itu justru menjadi malapeta bagi pasukan Aceh. Kenyataan bahwa pasukan Belanda kerapkali melancarkan serangan militer yang sangat membabibuta untuk membumihanguskan pasukan Aceh, menjadi indikator kuat atas dieksekusinya temuan Snouck tersebut.
Rekomendasi pertama Snouck adalah bagaimana selayaknya Islam dihadapi. Oleh karena itu, Snouck memberikan dua kategori, yaitu Islam dalam pengertian ibadah dan Islam politik. Atas dua kategori tersebut, Snouck melakukan pemisahan doktrin ibadah dalam Islam dan Islam politik, sehingga hal ini dianggap oleh Snouck sebagai langkah yang krusial untuk bisa menjinakkan masyarakat pribumi.
Dalam dua kategori tadi, aktifitas ibadah dalam Islam dibiarkan saja sebagaimana adanya, tetapi untuk Islam politik harus dilakukan tindakan keras melalui serangan militer. Snouck berpendapat, perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda, yang umumnya dipimpin oleh ulama, harus dihancurkan dan dilenyapkan dari bumi Aceh. Hanya melalui kekuatan militer yang besarlah pasukan Aceh dapat ditundukkan. Begitu pendapat Snouck Hurgronje.
Meski demikian, rekomendasi pertama Snouck diatas ternyata dihiraukan oleh Diejkerhoff selaku Gubernur Jenderal Belanda. Diejkerhoff mengatakan bahwa Snouck hanya membesar-besarkan peran ulama Aceh saja. Ia juga menganggap Snouck hanya memanfaatkan seenak hatinya saja dalam hal hobinya yang suka mengkaji dunia timur dan Islam, tak terkecuali di Aceh.
Pendapat Diejkerhoff cenderung mendapat dukungan dari pasukan militer Belanda. Namun, pendapat Snouck bukannya tidak mendapat dukungan. Pendapat Snouck mendapat beberapa dukungan, dan salah satunya adalah J.B. Van Heutsz. Van Heutsz yang kala itu masih berpangkat mayor, memiliki pandangan yang hampir dekat dengan rekomendasi pertama Snouck. Dalam sebuah tulisannya, Van Heutsz menegaskan bahwa perang Belanda di Aceh telah menggerogoti tanah jajahan Belanda dan harus segera diakhiri.
Pembelotan yang dilakukan oleh Umar --yang sebelumnya gigih mendukung pasukan Aceh, lalu menyeberang ke Belanda dan akhirnya kembali lagi ke pangkuan rakyat Aceh-- mengakibatkan Deijkerhoff dipecat sebagai Gubernur Belanda dan digantikan oleh Van Heutsz. Pada saat Van Heutsz mengambil alih tampuk pimpinan itu, ia langsung meninggalkan kebijakan dan pola lama yang diterapkan oleh Deijkerhoff dalam menghadapi pasukan Aceh: dari lunak menjadi agresif.
Van Heutsz, seperti wajahnya yang sangar, memang dikenal di Aceh sebagai jenderal Belanda yang agresif dan arogan. Ia tak segan-segan untuk menumpas setiap perlawanan rakyat Aceh, bahkan terkesan sangat mementingkan ego dan kehendaknya. Namun tanpa di duga, pada saat Van Heutsz berkuasa, sejak saat itulah saran Snouck mulai diterima dengan baik yang di dukung oleh kebijakan Van Heutsz yang dominan dalam ekspedisi militer Belanda diseluruh wilayah Aceh.
Berikutnya Snouck menyarankan kepada Van Der Wijk untuk menyerang Pidie, sebuah saran yang di aminkan oleh penguasa kolonial Belanda. Pada tahun 1898, dibawah pimpinan Van Heutsz, ekspedisi besar-besaran ke Pidie pun dimulai. Sungguh, ekspedisi ini merupakan operasi militer terbesar dan terparah dari seluruh perang Belanda di Aceh dan juga penghancuran yang paling besar dan sadis atau (sekali lagi) ada genosida di Aceh.
Untuk menyempurnakan langkah serangan militernya, Belanda mendatangkan Snouck dari Batavia ke Aceh dan menunjukknya sebagai penasehat perang untuk menemani Van Heutsz dalam setiap kali Van Heutsz hendak melakukan serang militer ke pos-pos pasukan Aceh.
Rekomendasi kedua Snouck adalah berkaitan dengan golongan aristokrat masyarakat Aceh yang dikenal dengan nama Uleebalang (kaum bangsawan). Dalam kajiannya mengenai struktur masyarakat Aceh selama menyamar di Aceh, Snouck menyimpulkan bahwa terdapat 3 golongan penting dalam masyarakat Aceh, yaitu sultan, ulama dan uleebalang.
Snouck berpendapat bahwa sultan adalah golongan yang paling rapuh dari segi politik, sebab ia tak memiliki kekuatan yang kuat dan hanya sebagai simbol kerajaan saja. Dengan kata lain, sultan tidak memiliki pengaruh apapun dan tidak berarti apa-apa. Bagi Snouck, hanya para uleebalang-lah yang memiliki kekuasaan di setiap wilayahnya masing-masing. Sementara ulama, adalah pemegang otoritas agama Islam di Aceh.
Karena itulah, Snouck menyarankan kepada kolonial Belanda agar tidak melihat arti penting kedudukan sultan dalam struktur masyarakat Aceh, dan karenanya harus ditinggalkan saja. Tetapi lain halnya dengan keberadaan para ulama dan uleebalang. Snouck berpendapat, bagi ulama yang tidak bisa diajak kompromi harus dihadapi secara tegas dan keras. Sementara para uleebalang harus diberikan kerjasama yang intens atau bentuk dukungan lainnya.
Mengenai kerjasama atau memberikan dukungan kepada para uleebarang Aceh (kelompok adat), dianggap oleh Van't Veer sebagai pola kebijakan kolonial tradisional. Untuk hal ini, Snouck memberikan rekomendasi yang serupa. Namun, hal ini juga dianggap oleh Snouck cukup relevan untuk diterapkan di Aceh, terutama terkait dengan apa yang diklaim sebagai polarisasi masyarakat Aceh ke dalam tiga kategori diatas.
Kebijakan itu rupanya membawa keuntungan bagi Belanda. Pada tahun 1898 di Aceh terjadi fenomena "lapor" cukup besar dari para uleebalang. Uleebalang Aceh kerapkali memberikan informasi penting kepada kolonial Belanda, terutama mengenai keberadaan pasukan Aceh dan tempat persembunyiannya. Bagi uleebalang yang melapor atau memberikan informasi penting mengenai Aceh kepada kolonial Belanda, maka sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan hadiah berupa uang atau kekuasaan di daerahnya masing-masing. Inilah yang disebut oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien sebagai cuak atau pengkhianat.
Dapatlah dikatakan bahwa para uleebalang Aceh yang menyerah dan bekerja sama dengan Belanda merupakan agen utama kolonial Belanda dalam melakukan berbagai kebijakan. Di sinilah keberadaan para uleebalang Aceh sebagai orang yang memikul "tugas peradaban" yang dicanangkan oleh Snouck sebagai "Asosiasi Budaya."
Khusus untuk Sultan Aceh yang dianggap oleh Snouck hanya sebagai simbol kerajaan dalam struktur masyarakat Aceh, saya (penulis) keberatan atas pendapat Snouck. Oleh karena itu, saya tidak setuju mengenai pendapat tersebut. Snouck, barangkali hanya melihat keberadaan sultan Aceh di masa perang melawan Belanda saja, tetapi tidak melihat jauh ke belakang.
Memang, untuk memperkuat pendapatnya diatas, Snouck sempat mengutarakan bahwa kehebatan Sultan Iskandar Muda yang di dengungkan oleh rakyat Aceh sebagai sultan terbesar di Kerajaan Aceh Darussalam, adalah tidak lebih dari sekadar mitos dan legenda belaka saja. Tapi belakangan, pendapat itu dibantah langsung oleh Denys Lombard melalui bukunya berjudul Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskdandar Muda (1607-1636). Lombard berpendapat bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang besar dan pernah membawa Aceh ke puncak kegemilangan. Karenanya, kebesaran Sultan Iskandar Muda bukanlah sebuah mitos atau dongeng yang melegenda di Aceh, sebagaimana yang diungkapkan oleh Snouck. Kali ini Snouck benar-benar keliru, dan ia pun telah memutarbalikkan fakta sejarah Aceh.
***
Snouck Hurgronje, selain dikenal sebagai Abdul Gafar (nama samarannya), ia juga dikenal oleh masyarakat Aceh (terutama di Gayo) dengan nama Abu Puteh. Mungkin karena kulitnya berwarna putih sebagaimana umumnya orang Eropa, maka masyarakat menjulukinya sebagai ulama berkulit putih atau Abu Puteh. Tapi jangan lupa, Snouck adalah ulama palsu. Dan untuk asumsi nama Abu Puteh ini hanya persepsi biasa saja, belum tentu benar pastinya.
Namun publik tidak terlalu peduli, meskipun juga menyimpan rasa kecurigaan, entah Snouck berkulit putih atau tidak, yang jelas ia memang membawa bekal pengetahuan agama Islam untuk diajarkan kepada masyarakat Aceh. Sehingga selamatlah Snouck dari kedok penyamarannya sebagai orientalis Belanda. Terlebih lagi, kelihaiannya dalam berbahasa Arab dan sebagian bahasa Aceh, turut membawa keuntungan besar bagi Snouck.
Andai waktu itu, meskipun dalam sejarah kami tidak dibolehkan untuk menggunakan kata seandainya, karena setiap sejarah itu telah terjadi, tetapi mengingat tulisan ini tidak bersifat ilmiah maka saya mencoba menggunakan kata "seandainya."
Ya, seandainya waktu itu, jika saja rakyat Aceh sudah mengetahui betul tentang keberadaan orientalis dan orientalisme yang telah menyatu padu dengan kepentingan kolonialisme dan imperialisme, saya membayangkan entah apa yang terjadi pada Snouck Hurgronje di Aceh.
Saya mulai mengira, sudah pasti rakyat Aceh akan berang atas kedok yang dilakukan oleh Snouck. Bisa jadi rakyat Aceh akan mengejar Snouck untuk mambalas atas penghinaan ini, atau Snouck terpaksa angkat kaki dari Aceh lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan. Jika itu yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa pertualangan Mekkah kedua Snouck di Aceh akan dihentikan oleh rakyat Aceh. Terlebih lagi, jika kedok Snocuk di Aceh terbongkar maka akan berakhir tragis. Praktis, hanya ada satu pertualangan berbahaya Snouck, yaitu di kota suci Mekkah, Arab Saudi.
Namun karena rakyat Aceh tidak mengetahui soal orientalis Belanda itu, maka Snouck Hurgonje sukses melakukan penyamaran di Aceh secara leluasa dan seenak hatinya. Alasan lain mengapa penyamaran Snouck di Aceh tidak diketahui oleh publik adalah waktu itu rakyat Aceh sangat patuh dengan para alim ulama, dan oleh karenanya, keberadaan dan penyamaran Snouck sebagai ulama (palsu) di Aceh begitu mudah dilakukan.
Di samping itu juga, rakyat Aceh sangat mencurahkan segala perhatiannya terhadap perang yang sedang terjadi. Segenap tenaga, pikiran dan nyawanya ditujukan untuk berperang dengan Belanda, apalagi di tambah dengan semangat jihad fisabilillah. Maka, atas alasan inilah keberadaan orientalis asal Belanda di Aceh, menjadi hal yang terabaikan bahkan cenderung tertipu. Barangkali rakyat Aceh memang lupa atas keberadaan intel dari orang Belanda itu sendiri, bukan hanya intel atau cuak dari orang Aceh yang memihak Belanda saja.
Tetapi, terlepas dari itu semua, kenyataan bahwa sejarah itu telah terjadi di masa lalu, Snouck pun berhasil melakukan penyamarannya di Aceh. Itulah sebabnya mengapa tidak ada kata "seandainya" dalam sejarah. Semuanya telah terjadi di masa lalu dan tidak dapat diandaikan lagi. Jika suatu waktu Anda menemukan kata "seandainya" dalam penulisan sejarah, itu jelas hanya sebatas imajinasi dari seorang penulis saja atau anggaplah sebagai sebuah tesa yang diajukan oleh si penulis. Paham?
Solo, 30 September 2017.
= = = = = =
**Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, asal dari Aceh, Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H