Snouck Hurgonje lahir pada 8 Februari 1857 di Belanda. Sempat terdengar informasi bahwa Snouck tidak mempercayai Tuhan. Tapi belakangan kita tahu bahwa semenjak kecil, ia sudah diarahkan oleh keluarga besarnya untuk memperlajari bidang teologi. Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah, Snouck kemudian melanjutkan studi di Universitas Leiden. Pada tahun 1880, Snouck sukses meraih gelar doktor dalam kesusasteraan Semitis dengan disertasinya berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Mekkah) yang menggambarkan tentang pelaksanaan ibadah haji beserta pernak-pernik adat dan istiadatnya.
Meski sudah meraih gelar doktor dan kemampuannya yang mahir dalam bidang teologi dan bahasa, Snouck ternyata tidak langsung berpuas diri. Pada tahun 1884, Snouck melanjutkan pendidikan misteriusnya dengan mengusung misi ganda ke kota suci umat Islam: Mekkah. Inilah tindakan nekad dan kontroversi Snouck yang berhasil memasuki kota suci Islam yang notabene dikenal oleh dunia sebagai kota yang dilarang masuk bagi umat non Muslim, kecuali ia telah mendapatkan visa Islam. Apa itu visa Islam? Adalah menguncapkan kalimah syahadat.
Pada tahun 1884, berkat di danai oleh negaranya sendiri (Belanda), Snouck dikirimkan ke Jeddah untuk meneliti kehidupan kaum muslimin yang dianggap oleh orang Eropa sebagai kaum yang fanatik. Sebab disanalah kaum muslimin dan muslimah seluruh dunia berkumpul setiap tahun atau apa yang disebut sebagai ... melaksanakan ibadah haji.
Tetapi, jika memang kota suci Mekkah sebagai kawasan yang diharamkan bagi non muslim untuk masuk ke dalamnya, mengapa Snouck Hurgronje berhasil memasuki Mekkah? Jawaban yang paling pupuler menyebutkan bahwa Snouck melakukan penyamaran dengan mengaku dirinya telah memeluk agama Islam dihadapan para ulama di Mekkah dan menggantikan namanya menjadi Abdul Gafar. Apa yang dilakukan oleh Snouck ini adalah semata-mata untuk merebut hati pemerintah Arab Saudi dan ulama di Mekkah serta mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat. Padahal semua itu adalah tipu belaka Snouck. Berkat cara itulah, Snouck akhirnya diizinkan untuk memasuki kota suci Mekkah pada tahun 1885.
Sekitar 6-7 bulan menetap di kota Mekkah, meski terbilang singkat, Snouck berhasil melakukan observasi; mengamati, mencatat, memotret, mempelajari, dan bahkan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat setempat di Mekkah. Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Snouck. Selama kurun waktu itu juga, Snouck tidak hanya berhasil mempelajari Islam secara mendalam tepat di jantungnya, tetapi juga berhasil memperoleh informasi penting di kota suci Mekkah. Disana ia juga menemukan bahwa Mekkah adalah pusat kegiatan Pan-Islamisme. Bahkan ia salut terhadap perlakuan kepada budak yang lebih manusiawi.
Lebih dari itu, Snouck juga berhasil melakukan pendekatan terhadap aktivitas kaum muslimin Nusantara, baik yang pendatang, pelajar ataupun yang menunaikan ibadah haji di kota Mekkah, termasuk juga kaum muslimin asal Aceh. Di sanalah untuk pertama kalinya Snouck mengenal bahasa Aceh. Kebetulan ia juga tinggal dekat dengan Hotel Aceh di Mekkah.
Aceh dan Mekkah Kedua
Setelah melakukan pertualangan berbahaya di kota suci Mekkah dan pulang ke negeri asalnya di Belanda, Snouck langsung menetapkan Aceh sebagai Mekkah kedua untuk pertualangan berikutnya. Penetapan Aceh sebagai Mekkah kedua tidak terlepas dari kenyataan bahwa di daerah inilah Islam pertama sekali disinari dan menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Selain itu, tingginya obsesi Belanda untuk menguasai Aceh sebagai pintu gerbang masuk ke Nusantara di ujung utara pulau Sumatera dan takut dikuasai oleh bangsa lain, menjadi alasan lengkap bagi Snouck untuk datang ke Aceh demi membantu negaranya.
Keinginan Snouck untuk datang ke Aceh begitu kuat. Hal itu tidak terlepas dari perkenalannya dengan orang-orang Aceh selama di Mekkah. Karenanya, Snouck harus ke Aceh. Dan yang menarik disini adalah jika sebelumnya Snouck mengkaji Islam tepat di jantungnya (Mekkah), maka kali ini ia akan melakukan kajian dan penyamaran di daerah pertama kali masuknya Islam di Nusantara dan masyarakatnya juga sangat kental dengan ajaran Islam, yaitu Aceh.
Saya meyakini, jika Snouck tidak bisa datang ke Aceh, apa yang telah ia kerjakan selama menyamar di kota suci Mekkah, maka seolah-olah akan menjadi kurang lengkap dan sia-sia saja. Itulah sebabnya mengapa Snouck menjadikan Aceh sebagai Mekkah kedua. Bahwa ia ingin meneliti dan mempraktekkan langsung di Aceh.
Tapi, jika kita melihat jauh ke belakang, penyamaran Snouck di Aceh seperti mempunyai ikatan yang kuat dengan pertualangannya di kota suci Mekkah. Itu memang benar adanya dan tidak dapat dibantah lagi. Ya, Snouck menjadikan Aceh sebagai Mekkah kedua (tempat pertualangan berikutnya) setelah ia memperoleh pengetahuan tentang Islam dan bergaul dengan masyarakat Aceh di Mekkah.