Ketika Snouck memilih Aceh sebagai tempat pertualangan berikutnya, ia tidak mempunyai keraguan lagi terhadap bekal apa yang akan dibawa ke Aceh. Ia sudah mendapatkan itu selama bersemayam di Mekkah. Mulai dari sejarah, bahasa, karakter dan budaya masyarakat Aceh. Baginya, informasi-informasi yang telah dihimpun selama menyamar di Mekkah, sudah cukup untuk bisa melanjutkan pertualangan kedua di Aceh.
Namun, berkat segala keyakinan yang ada dalam benaknya, Snouck dengan tekad bulat berani mempercayai akan menaklukkan Aceh, bahkan secara tidak langsung ia berkeinginan untuk mengadakan revolusi sosial di Aceh. Tentu saja lewat penyamaran, kajian tentang masyarakat Aceh, dan memanfaatkan pengaruh yang ada. Hal ini dilakukan untuk membantu negaranya yang ingin menguasai Aceh secara total.
Bagi saya pribadi, Snocuk adalah fenomena. Tetapi ia juga adalah pemberontak. Bagaimana tidak? Ia muncul di tengah-tengah masyarakat Aceh yang anti-Belanda --ketika Aceh dan Belanda sedang terlibat dalam perang-- Snouck justru melakukan hal yang sebaliknya.
Seperti diketahui, kala itu sikap anti-Belanda begitu tinggi dan menyeruak dalam tubuh masyarakat Aceh sehingga menjadikan sebuah identitas. Buktinya, rakyat Aceh menyebut Belanda sebagai kapee (kafir) yang telah mencoreng kedaulatan dan marwah Aceh serta menodai agama Islam. Cut Nyak Dhien adalah orang yang paling gencar menyuarakan hal tersebut. Karena itulah, Snouck ingin memberontak terhadap keyakinan anti-Belanda itu.
Tapi masalahnya adalah Snouck menyamar di tengah-tengah masyarakat Aceh yang anti dengan kolonial Belanda itu. Apakah mungkin Snouck ikut-ikutan latah dan mengatakan ia juga anti-Belanda? Rasanya tidak mungkin, Snouck melakukan blunder dengan menghasut rakyat Aceh agar terus membenci Belanda, atau menyebut kehadiran Belanda di Aceh akan membawa malapetaka. Tidak mungkin Snouck melakukan itu. Justru ia mengeluarkan statment ajakan kepada rakyat Aceh agar lebih mementingkan ibadah ketimbang berperang. Bahkan ia melarang ulama untuk terlibat dalam politik di Aceh, terlebih lagi soal peperangan dengan Belanda.
Tiba di Aceh
Setelah urusan (menyamar) di kota suci Mekkah dianggap selesai, pada tahun 1898 Snouck menyatakan keinginannya untuk berlayar ke Hindia Belanda dengan membawa kepentingan ilmu dan misi negara. Gubernur Jenderal Belanda pun menyetujui keinginan Snouck yang ingin datang ke Hindia Belanda. Daerah pertama yang ditujukan oleh Snouck adalah Aceh. Meski demikian, keinginan Snouck untuk datang langsung ke Aceh melalui jalur Penang harus di kubur dalam-dalam. Memang Snouck mendapat restu dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk datang ke Nusantara, tapi tidak langsung ke Aceh. Akhirnya Snouck terpaksa berputar arah dan berlayar menuju ke Batavia.
Barulah pada masa Van Tijn keinginan Snouck dapat terlaksana ketika Jenderal Belanda itu mengundang Snouck ke Aceh untuk meneliti ulama Aceh setelah syahidnya Tengku Chik di Tiro. Disinilah terlihat dengan jelas adanya perpaduan antara kolonialisme (Belanda) dengan orientalisme (Snouck) yang saling bekerja sama, dan didasarkan atas kepentingan yang sama pula, yaitu imperialisme.
Untuk pertama kalinya Snouck Hurgronje menginjakkan kaki di Aceh tepat pada tanggal 16 Juli 1891. Snouck pun tiba Aceh yang dianggapnya sebagai Mekkah kedua. Sejak saat itulah pertualangan dan penyamaran Snouck di Aceh baru saja dimulai. Tapi Snouck tidak lama menetap di Aceh dan mengakhiri pertualangannya pada 4 Februari 1892. Keberadaannya di Aceh memang relatif singkat, bahkan durasi keberadaannya di Aceh, terutama di Aceh Besar dan sekitarnya hampir sama seperti keberadaannya di Mekkah, yaitu sekitar 6-7 bulan. Namun, dari hasil kunjungannya ke Aceh rupanya menghasilkan langkah yang penting, dan tentu saja turut membawa keuntungan yang besar bagi Belanda.
Hasil Penyamaran Snouck di Aceh
Ketika mengambil langkah kontroversial, Snouck tentu ingin merevolusi masyarakat Aceh yang dekat dengan ajaran Islam. Dan untuk mewujudkan keinginannya tersebut, dilakukanlah penyamaran sekaligus penelitian di Aceh sebagai awal dari langkah revolusi itu.