Seperti halnya dalam sebuah pertemuan forum atau pertempuran dalam suatu permainan (game) yang diberi julukan (bith match), Aceh dan Belanda pun layak untuk diberikan sebuah julukan (labelnya). Sebab, dalam catatan sejarah, baik Aceh ataupun Belanda sudah sempat bertemu dan pernah pula bertempur di medan perang. Karenanya, pantaslah kedua belah pihak itu layak untuk diberikan sebuah nama julukan atau label.
Untuk alasan inilah, saya mencoba memikirkan julukan apa yang pantas diberikan kepada kedua negara tersebut. Beberapa nama pun sempat muncul dan tenggelam dalam pikiran saya seperti, The Orloog Aceh. Tapi saya rasa nama itu lazim digunakan oleh kebanyakan orang. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah nama yang (saya anggap) pantas dijuluki, yaitu The Top One. Nama The Top One sendiri, jika dialih bahasakan ke Bahasa Indonesia berarti duel memperebutkan yang teratas.
Namun demikian, nama The Top One yang saya berikan untuk menjuluki pertemuan dan pertempuran antara Aceh dan Belanda tersebut, bukanlah sebuah nama yang resmi untuk digunakan seterusnya. Semata-mata nama itu hanya digunakan dalam menyesuaikan tulisan opini ini. Silahkan Anda menggunakan nama itu pada suatu waktu membicarakan Aceh dan Belanda, atau bahkan Anda juga dapat mencari nama inisiatif lainnya. Untuk itulah, Anda berhak menggunakan nama tersebut dan mencari nama lainnya yang Anda anggap pantas dijuluki.
Di samping itu, sejauh sepengetahuan saya, oleh karena Pemerintah, sejarawan, dan Rakyat Aceh sendiri pun belum pernah memberikan julukan atau menyebutkan nama label untuk kedua negara tersebut, seperti alasan yang saya ajukan diatas. Karenanya, setidaknya itu menjadi alasan kedua bagi saya untuk memberikan julukan kepada Aceh dan Belanda.
Setidaknya lagi, sampai pada tahun 1942, The Top One sudah menghasilkan puluhan pertemuan dan pertempuran. Para sejarawan pun mencoba membuat periodesasi perang, seperti perang 1873, l874 dan seterusnya. Barangkali alasan sejarawan membuat periode perang, tidak lain tidak bukan karena setiap kali perang meletus Belanda selalu kehilangan Jenderalnya yang tewas di medan perang. Karenanya, Belanda harus menggantikan Jenderal Perang yang tewas untuk memimpin pasukan yang diturunkan.
Namun dalam tulisan ini, saya tidak akan menyinggung soal periode perang tersebut. Saya hanya membagi ke dalam dua kategori besar saja, yaitu pertama pada pertemuan pertama dan kedua pada pertemuan kedua tahun l873 yang berakhir dengan perang.
Tapi dalam pertemuan keduanya, bukan hanya tensi pertempuran perang yang dasyat dan emosi saja yang lahir, melainkan juga ada sebuah adu pemikiran yang ditunjukkan oleh dua kekuatan besat itu. Saat si Tesis (Aceh) yang masih berlandaskan pada hukum Islam (Alquran dan Alhadist) percaya bahwa pasukan Aceh bisa meraih kemenangan dengan semangat jihad fisabilillah, melawan si Antitesis (Belanda) yang merasa bahwa dengan melakukan pendekatan militeristik serta menghadirkan Snouck Hurgronye dan ditambah pula pasukan gabungan dari Eropa-Balanda, Jawa, Ambon, Madura dan sebagainya atau apa yang disebut dengan pasukan Korps Marsose, jadi (anggapan si Antitesis) Kerajaan Aceh pun akan mudah ditaklukkan. Berikutnya, apa yang terjadi dalam pertemuan kedua antara Aceh dan Belanda itu, sepertinya tidak perlu saya jelaskan lagi, sebab kita bisa mengetahui bahwa pertemuan kedua itu berakhir dengan perang.
Maka, tak mengherankan bahwa pertemuan dan pertempuran antara Aceh dan Belanda ini pun dinobatkan sebagai perang terpanas dan terlama di Indonesia, disamping juga perang yang memakan korban begitu banyak, perang yang tidak bisa ditaklukkan oleh Belanda, dan perang yang melibatkan perputaran uang yang begitu kencang sehingga membuat kas Belanda hampir bangkrut. Lebih dari sekadar itu, rupanya pertempuran antara Aceh dan Belanda ini, juga menghadirkan sebuah duel pemikiran yang terjadi antara Aceh dan Belanda, yaitu Islam vs Kristen (Kolonialisme, Liberalisme dan Kapitalisme).
***
Seperti yang sudah disebutkan dalam uraian mengenai dialektika Hegel, model dialektika ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang juga berjalan dinamis. Ini berarti perseteruan antara Tesis dan Antitesis akan terus terjadi. Walaupun kelak akan ditemukan Sintesis yang merupakan hasil gesekan antar keduanya, akan muncul Anti-Tesis baru yang membuat Sintesis yang sudah ada kembali menjadi Tesis, dan begitu seterusnya.