Ketika De Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba di Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan diplomatik. Mengenai hubungan perdagangan, De Houtman bersaudara atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala’udin Ri’ayat Syah Said Al-Mukammal agar diperbolehkan untuk membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya, De Houtman berjanji akan membantu Sultan Aceh untuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Belanda melakukan kedustaan kepada Aceh. Perselisihan antara Sultan Ala’udin Ri’ayat Syah Said Al-Mukammal dengan De Houtman bersadura mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang berada di Aceh bersikap tidak sopan.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan oleh Frederick de Houtman adalah ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan dimana letak negeri Belanda dan berapa luasnya. Frederick de Houtman lalu membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri Belanda itu besar, yaitu hampir meliputi seluruh benua Eropa. Akan tetapi, Sultan tidak begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya satu bangsa kecil dan tidak punya raja, karena pada waktu itu Belanda merupakan negara republik yang baru saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala’udin Ri’ayat Syah Said Al-Mukammal tentu saja murka karena telah dibohongi oleh orang Belanda yang menetap diwilayah kekuasannya. Maka kemudian Sultan pun segera memberikan titah kepada pasukan Aceh untuk mencari, menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de Houtman. Rakyat Aceh bertambah geram terhadap awak-awak kapal Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati batas, seperti merampas barang perhiasan masyarakat Aceh, menenggelamkan kapal-kapal orang Aceh. Namun, ketika Kerajaan Aceh Darussalam mengukuhkan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa baru Negeri Aceh, orang-orang Belanda yang membuat kekacauan di Aceh berhasil dipukul mundur termasuk melenyapkan Portugis, kecuali bagi mereka yang menaati peraturan dan kebijakan kerajaan. Di luar itu semua, Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah memberikan pengakuan kemerdekaan kepada negeri Belanda, disamping juga adanya Traktat London dan kekacauan Traktat Sumatra.
Kesuksesan Kerajaan Aceh Darussalam menjadi salah satu dari 5 Kerajaan Islam terbesar di dunia, juga disertai filosofi Aceh yang sangat kental dengan Islam yang sudah tertanam sejak abad ke-7. Filosofi itu kemudian termakdub dalam Qanun Meukuta Alam (Undang-Undang Kerajaan Aceh Darussalam) menjadi Qanun yang digemari dan diterapkan juga oleh beberapa belahan negara di dunia.
Yang menjadikan segala pencapaian Aceh ini menjadi lebih mengesankan adalah mereka mendapatkan kejayaan Aceh tersebut dengan bertumpu pada hukum Allah dan Rasulnya serta menempatkan ulama dan perempuan dalam sistem pemerintahan. Siapa yang tak kenal Sultan Iskandar Muda, Syiah Kuala, Nurdin Ar-Raniry, Syamsudin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Putroe Phang, Malahayati, Taj’al Alam Safiatuddin Syah, Nurul Alam Nakiatuddin Syah, Inayat Zakiatuddin Syah, Kamalat Syah, bahkan pasukan gajah putih? Mereka semua adalah hasil binaan dan pengatur Kerajaan Aceh Darussalam yang berlandaskan Islam dan mengharumkan nama Aceh sekaligus sebagai role model untuk generasi selanjutnya. Beberapa dekade setelah itu, lahir pula tokoh-tokoh Aceh yang gagah berani seperti Teuku Umar, Teuku Chik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Cut Meurah Intan, Pocut Baren, Tengku Fakinah, dan sebagainya.
Dengan segala yang sudah diraih oleh Aceh, mereka pun menjadi sebuah Tesis di Nusantara dan Dunia Internasional. Si Tesis (Aceh) yang memiliki hukum dan filosofi tersendiri serta berhasil memanfaatkan letak geografis yang sangat strstegis untuk meraih kemenangan dan kesejahteraan, menjadikan Aceh sebagai sebuah bahan percontohan bahwa dengan menggunakan hal tersebut (sebenarnya masih banyak lagi), kemenangan dan kesejahteraan bisa diraih.
Negara Belanda yang diperintahkan oleh salah seorang ratu ternama di dunia ini, memiliki caranya sendiri untuk meraih kesuksesan di negeri orang. Jika Aceh memilih jalan dengan menerapkan hukum Islam, Belanda justru meraih kesuksesan dengan cara mengirim intelijennya untuk memantau kondisi Indonesia, menguasai jalur perdagangan dan berujung dengan penerapan (penjajahan) Kolonialisme di Hindia Belanda. Dengan kata lain, Belanda menerapkan kebalikan dari Aceh (si Tesis), yaitu kolonialisme, liberalisme dan kapitalisme.
Maka tak heran, tercatat dalam sejarah ada beberapa nama besar Jenderal Belanda yang berhasil mengatarkan keuntungan yang diraupnya di Nusantara, tetapi melalui kelicikan dan kepicikan. Dengan caranya sendiri, yang berbeda dari Aceh, Belanda pun berhasil meraup keuntungan besar dari kekayaan alam Indonesia. Bahkan si Antitesis Belanda juga mampu membangun Negeri Kincir Angin dan memperkuat Negeri Jajahannya di Hindia Belanda.
Mereka pun akhirnya mewujud menjadi Antitesis dari Aceh. Oleh karena itu, bayangkanlah bagaimana jika si Tesis Aceh bertemu dengan si Antitesi Belanda dalam suatu wilayah. Maka pertempuran yang dikumandangkan secara resmi oleh si Antitesis Belanda pada tanggal 26 Maret 1873 lewat ultimatum perang yang ditujukan kepada si Tesis Aceh, menghadirkan pertempuran yang sangat sengit nan mengerikan.
Label Pertemuan dan Pertempuran Untuk si Tesis (Aceh) dan si Antitesis (Belanda)