(In Memoriam Teuku Umar: 11 Februari 1899 -- 11 Februari 2017)
Oleh: Chaerol Riezal*
Ada begitu banyak kisah dan peristiwa yang menarik dalam sejarah Aceh untuk dibicarakan, terutama pada masa Perang Belanda di Aceh (1873-1942). Anda tahu, kini saya sudah tidak pernah mau lagi untuk menyebut perang ini sebagai “Perang Aceh.” Sebab, yang memulai perang ini adalah Belanda dan bukan sebaliknya dari Aceh. Bukti sejarahnya pun masih ada dan tersedia hingga saat ini. Jadi, tidak ada alasan (lagi) untuk mengatakan bahwa perang ini sebagai sebutan “Perang Aceh”, tetapi sebutkanlah sebagai “Perang Belanda di Aceh.”
Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi dalam Perang Belanda di Aceh, salah satu peristiwa yang pernah dituliskan adalah tentang Teuku Umar. Namun, untuk Belanda, kehadiran Teuku Umar bukanlah sejarah yang menyenangkan untuk dibaca. Bab-bab yang menarik dalam sejarah tersebut, juga melibatkan perpindahan pasukan Aceh ke pasukan Belanda atau pun sebaliknya.
Kita yang mengikuti perjalanan sejarah ini, tentu saja tahu cerita tentang Teuku Umar yang pindah dari pasukan Aceh ke pasukan Belanda. Atmosfer mengerikan pun menyelimuti perjalanan panjang sejarah ini; Umar dan Belanda.
Untuk melihat seberapa mengerikan perlakuan yang diterima oleh Umar, baik ketika masih berpihak pada pasukan Aceh, lalu mendukung dan menyeberang ke pihak Belanda, maupun pada saat Teuku Umar kembali ke pangkuaan rakyat Aceh, setidaknya sejarawan telah mengungkapkan hal tersebut, atau paling tidak telah memberikan gambaran akan hal itu.
Salah satunya adalah: ketika Umar menerima gelar kehormatan “Johan Pahlawan”, Umar juga mendapat cercaan dan sebutan baru oleh Belanda, yaitu “pengkhianat”. Umar pun mendapat dua gelar yang berbeda.
Teuku Umar yang hidup pada masanya (1854-1899) sejak dari dulu sampai sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar, why? Tokoh yang satu ini memang mengundang decak kagum yang luar biasa sampai-sampai Belanda frustasi menghadapinya. Tetapi, di lain sisi, tokoh ini juga terdapat kontroversi di dalam sejarah yang kita ketahui saat ini. Tidak sedikit pula misteri yang tersimpan dalam diri sosok yang bernama Teuku Umar Johan Pahlawan ini. Bagaimana ia mampu meyakinkan Belanda dengan berpura-pura menjadi antek Belanda, kemudian terlibat dalam insiden Kapal Nicero tahun 1884 (baca sejarahnya), adalah bentuk dari kejeniusan Umar. Anda tahu, kejadian itu dapat ditafsir sebagai dua rupa wajah Umar dan manipulasi yang diperlihatkan oleh Umar kepada Belanda dan Aceh. Sontak, Belanda pun dibuat heran olehnya, bahwa Umar telah membuat berita yang menggemparkan bagi pihak Kolonial Belanda, tak kecuali bagi pasukan Aceh sendiri.
***
118 tahun yang lalu, kita mengenal seorang tokoh sekaligus penjuang Aceh yang berdarah Minangkabau bernama; Teuku Umar (kini telah menjadi Pahlawan Nasional). Konon, Teuku Umar adalah satu-satunya pemimpin perang Aceh yang pindah langsung ke pasukan Belanda. Umar dicap sebagai pengkhianat oleh publik, namun ia menjadi idola di hati rakyat Aceh. Teuku Umar adalah salah satu kisah diantara sekian banyaknya cerita sejarah yang muncul diseputaran perang Belanda di Aceh.
Umar menjadi salah satu dari sekian banyaknya orang Aceh yang mendukung dan berpihak Belanda, namun Umar berbeda dengan para cuak lainnya (bagi rakyat Aceh), meskipun gelar “pengkhianat” tetap melekat pada diri Umar. Dikatakan Umar berbeda dengan para cuak lainnya adalah Umar hanya berkhianat untuk sementara waktu (taktik tipu), sementara para cuak lainnya terpaksa berkhianat untuk bertahap hidup. Cuak adalah sebutan pengkhianat bagi orang Aceh yang memberikan informasi tentang keberadaan pemimpin dan pasukan Aceh, atau orang Aceh yang mendukung dan berpihak kepada Belanda.
Sebelumnya, Pang Tibang, adalah salah satu tokoh dalam sejarah Aceh, mengalami hal serupa seperti yang dialami oleh Umar, bahwa ia (Pang Tibang) dicap sebagai pengkhianat. Bagi saya, mengatakan Pang Tibang sebagai pengkhianat karena dianggap tidak mampu melobi dunia internasional, rasanya tidak adil dan terlalu kejam. Status pengkhianat yang disandang olehnya, bisa saja karena Pang Tibang tidak mampu berdialog dalam bahasa asing (Singapura, Amerika Serikat dan Turki). Kalaupun ada alasan yang lebih rasional, mungkin saya ketinggalan kereta api. Tapi, saya rasa baik Pang Tibang maupun Umar, sama-sama tokoh yang berjuang untuk Aceh dan tidak sepatutnya membedakan satu sama lainnya. Anda tahu, bukankah Belanda sendiri yang sangat bernafsu untuk menundukkan Kerajaan Aceh agar berlutut dibawah kakinya? Tapi mengapa gelar pengkhianat masih melekat hingga sekarang pada diri Pang Tibang, sementara Umar tidak. Tampaknya ada benang merah yang terputus disini, atau memang ada kesalahan besar. Siapa tahu.
Teuku Umar memang berbeda dengan Pang Tibang. Umar yang semula mendukung penuh dan memimpin pasukan Aceh melawan Kolonial Belanda, tiba-tiba berbalik haluan. Pada tahun 1883, Umar datang untuk menyerahkan diri kepada Gubernur Van Teijin dan siap mendukung penuh pasukan Belanda. Tak butuh waktu lama, Umar telah sukses meyakinkan pimpinan Kolonial Belanda. Tak lama kemudian, Umar pun masuk dinas militer Belanda dan siap melawan pasukan Aceh.
Ketika Teuku Umar bergabung dengan pasukan Belanda, Umar mampu menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Umar pun diberi peran yang lebih besar oleh Belanda. Namun, (dugaan saya) hati Umar tetap milik orang Aceh. Strategi berpindahnya Umar ke pasukan Belanda, hanyalah sebagai tipuan belaka. Sebab selain ingin mengetahui taktik (strategi) perang Belanda dan informasi lainnya, Umar juga ingin merebut (sebagian besar) persenjataan milik Belanda untuk kemudian diberikan kepada pasukan Aceh. Hal serupa juga dilakuakan oleh Umar pada tahun 1893. Tapi, kali ini Umar menyerah kepada Gubernur Deykerkhooff di Kutaraja.
Tiga tahun memperkuat Belanda pada periode kedua, Umar benar-benar sukses menyakinkan Belanda dengan kesetiaannya. Sejak saat itu, Umar berubah menjadi orang Eropa. Dua rupa wajah Umar kembali diperlihatkan. Momen itu berlangsung antara kurun waktu 1893-1896, sebelum peristiwa suatu hari ditanggal 11 Februari 1899 yang mengantarkan Teuku Umar Johan Pahlawan ke daerah Mugo (Aceh Barat) untuk peristirahatan selama-lamanya.
Namun setelah tiga tahun mengabdi kepada Belanda dan menjadi orang Eropa berwajah Aceh, Umar kembali membuat kejutan besar kepada Belanda ketika ia memutuskan untuk kembali ke pangkuan Rakyat Aceh dan memimpin pasukannya. Benar-benar Teuku Umar, ia berhasil mempercundangi Belanda dengan taktik manipulasi dan dua rupa wajah Umar dalam bentuk Eropa dan Aceh.
Berita kembalinya Umar ke pangkuan Rakyat Aceh, tentu saja membuat Belanda sangat gempar dan murka. Belanda tak habis berpikir, mengapa Umar kembali ke pasukan Aceh. Padahal Belanda sendiri telah memberikan kepercayaan kepada Umar, meskipun Belanda tetap memantau gerak-gerik Umar. Sejak saat itu, nama Teuku Umar menjadi sangat terkenal terutama dikalangan serdadu Belanda. Umar pun dijadikan buronan nomor wahid yang sangat dicari-cari oleh Belanda. Umar menjadi target utama pimpinan Belanda. Itulah sebabnya mengapa Belanda sangat ingin menangkap Teuku Umar secara hidup-hidup, karena Belanda ingin mengambil otak (kejeniusan) yang dimiliki oleh Umar.
***
Adalah benar bahwa Teuku Umar pandai dalam psy war dan memanipulasi kata-kata, tentu sudah banyak yang mengetahui. Namun, yang perlu diperhatikan juga, bahwa Umar piawai dalam memanipulasi taktik ketika menghadapi suatu peperangan.
Anda tentu tahu, bahwa tindakan seperti memobilisasi massa, membakar semangat rakyat, dan berorasi di depan pasukan Aceh baik sebelum maupun sesudah berperang dengan Belanda, sepertinya sudah identik dengan tugas Teuku Umar pemimpin pasukan Aceh.
Untuk melihat bagaimana Umar membuat manipulasi, baik dalam bentuk kata-kata maupun tindakan, ada beberapa peristiwa yang mengarah terhadap manipulasi Umar. Suatu hari, ketika Umar berencana menikahi Cut Nyak Dhien yang telah ditinggal oleh suaminya (meninggal dunia), Umar sukses memanipulasi kata-kata untuk merebut hati Cut Nyak Dhien dan berhasil menikahinya (baca sejarah pernikahannya). Hal serupa juga dapat dilihat ketika Teuku Umar berbincang dengan istrinya, Cut Nyak Dhien, Umar dilayangkan sebuah pertanyaan oleh Dhien mengapa dia berpihak kepada Belanda. Umar pun menjawab dengan tegas dan mengatakan kepada Dhien: “mereka tidak tahu, biarkan saja sejarah yang akan membuktikan kelak.” Sebuah jawaban yang mengandung arti banyak, tapi juga membuat orang bertanya-tanya. Sebuah psy warataukah manipulasi kata-kata, itulah salah satu kelebihan Teuku Umar.
Tak hanya kepada Cut Nyak Dhien, Belanda juga menjadi korban manipulasi Umar. Memang benar pada masa itu, tanpa di duga-duga Umar berpihak kepada Belanda setelah sekian lama berjuang bersama-sama dengan pasukan Aceh. Diakui oleh Umar, bahwa pasukan Aceh dibawah pimpinannya memang kalah logistik perang dibandingkan dengan persenjataan dan logistik perang yang dimiliki Belanda, sebab Umar telah membandingkan persenjataan Aceh dengan Belanda. Itulah yang menjadi titik fokus Umar dan harus berseberang ke pihak lawan yang ketika itu menjadi kawan. Hal ini jelas menimbulkan pro dan kontra dikalangan rakyat Aceh sejak tempo dulu sampai dengan sekarang, dan selalu menjadi topik sejarah yang menarik untuk dibicarakan. Sekali lagi, Umar membuat pertanyaan dan memaksa kepada kita untuk bertanya, why?
Dengan kata lain, Umar ingin menunjukkan bahwa sebenarnya secara kualitas pasukan Aceh diwilayah Meulaboh tidak kalah hebatnya dengan pasukan Belanda. Bilapun ada makna lain, (mungkin) bisa jadi Umar ingin mengatakan bahwa pasukan Belanda tidak akan mampu berperang dengan Aceh apabila alat persenjataan dan logistik perangnya sama persis dengan logistik perang yang dimiliki oleh pasukan Aceh pada saat itu. Terbukti, dalam suatu pertempuran di Meulaboh yang lagi memanas, Belanda dibuat kewalahan oleh pasukan Aceh atas sengitnya perlawanan yang diberikan. Akibatnya, Belanda kerap menggantikan pimpinan perang. Itulah Umar, pandai membaca situasi dan kondisi lawan.
Umar memang seperti itu. Dia punya pola pemikiran yang agak liat dan biasanya berbeda dengan persepsi orang kebanyakan. Yang diucapkannya memang tidak salah, dia hanya sedikit menggeser sudut pandangannya saja. Inilah yang kemudian membuat Umar memecah opini banyak orang. Teuku Umar yang sejak semula sangat menentang kehadiran Belanda di Meulaboh, kemudian malah berpihak kepadanya, dan pada akhirnya kembali kepangkuan Aceh. Bahkan sampai sekarang pun Umar masih sukses memanipulasi kebanyakan orang, tak terkecuali bagi kita yang selalu memunculkan pertanyaan konyol seperti: “Apakah bagi Belanda dan Indonesia (Aceh khususnya), Teuku Umar itu pahlawan atau pemberontak?”
Tentang Teuku Umar, tidak sedikit yang mengagung-agungkannya karena kejeniusannya berolah kata, meracik taktik perang dan sebagai simbol pemimpin rakyat Aceh diwilayah Meulaboh adalah tidak dapat diragukan lagi. Namun, tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai pengkhianat, penjahat, picik, dan sebagainya. Bahkan Belanda sendiripun memecat Teuku Umar yang saat itu menjadi orang Eropa, lalu mencabut gelar Johan Pahlawan yang disandangkannya kepada Umar. Dengan memecah opini terhadap dirinya, Umar telah sukses memanipulasi banyak orang. Ini membuat gerak-gerik Umar dan taktik perang yang akan dia terapkan di medan area terkadang sulit untuk dibaca.
Salah satu yang menarik dari taktik perangnya adalah Umar tidak hanya mempersiapkan pasukannya dengan taktik defensif dan ofensif, tetapi juga membakar semangat dan mental para pejuang Aceh dengan ucapan yang menggairahkan. Umar menggambarkan Belanda sebagai kaphe (kafir), lalu Umar melanjutkan dengan ucapan: “Udep Share Matee Syahid.” Dengan jenial, Umar menggunakan kondisi itu untuk membakar semangat pasukannya agar berperang mati-matian dengan pasukan Belanda yang dilengkapi oleh senjata modern, karena bagi pasukan Aceh yang berjuang di jalan Allah dan syahid di medan pertempuran melawan kafir yang telah menganggu agama Islam di Aceh, maka surga pun akan menanti kehadiran mereka.
Di medan perang, taktik Umar pun terkadang bisa sama sulitnya untuk ditebak oleh Belanda. Memang, taktik milik Umar tidak hanya berpatok terhadap penyerangan pos militer dan pasukan Belanda saja. Tetapi juga menargetkan pimpinan perang Belanda harus terbunuh. Sebagai seorang yang piawai dalam mikro-taktik perang, setidaknya Umar telah membagi dua pasukan Aceh. Salah satu pasukan Aceh ditempatkan dihutan untuk terus bergerilya, dan satu pasukan lainnya tetap berada diperkampungan (desa) agar terus memberikan perlawanan terhadap Belanda. Setiap pasukan Aceh dibawah pimpinannya yang berada di medan area, biasanya sudah mempunyairoel(tugas dan peran) masing-masing. Dan biasanya role tersebut diberikan dengan amat detil. Bukankah Umar tidak mengandung filosofi ajeg bagaimana sebuah pasukan Aceh harus bertahan.
Teuku Umar sudah mengetahui bahwa pasukan Belanda akan melakukan taktik membumi hanguskan, man-markingterhadap pasukan Aceh secara habis-habisan. Perkampungan (desa) akan di bakar, masyarakat akan ditawan, dan orang-orang Aceh yang ditawan akan dipaksa oleh Belanda untuk memberikan informasi yang penting tentang keberadaan pemimpin perang pasukan Aceh, camp persembunyian dan tempat strategis lainnya yang dikuasai oleh pasukan Aceh.
Teuku Umar pun tidak salah, bahwa pasukan Belanda telah di intruksikan untuk membuat penjagaan ketat, mendirikan pos-pos militer diberbagai daerah yang diduduki Belanda, dan melancarkan serangan yang membabi buta kepada pasukan Aceh. Umar pun benar. Namun, bukannya pasukan Aceh yang terpedaya, malah pasukan Belanda mengalami frustasi atas sengitnya perlawanan yang diberikan oleh pasukan Aceh.
***
Taktik berpindahnya Teuku Umar ke pihak Belanda masih menjadi misteri mengapa Umar melakukan hal tersebut. Salah satu argumen yang populer menyebutkan bahwa, Teuku Umar tidak puas dengan persenjataan yang dimiliki pasukan Aceh. Mengingat ketika itu alat perang pasukan Belanda jauh lebih canggih ketimbang pasukan Aceh. Sementara persenjataan yang dimiliki pasukan Aceh masih terbatas dan di dominasi oleh senjata tradisional seperti tombak, pedang, rencong, dan senjata rampasan perang milik Belanda. Inilah alasannya mengapa Teuku Umar berpindah kepada pasukan Belanda. Teuku Umar seolah-olah ingin mengatakan kepada pasukannya bahwa ia tidak punya pilihan lain, kecuali menjadi orang Eropa. Untuk pasukan Aceh, Umar seolah-olah mengatakan: “kalau saya bergabung, sudah pasti saya akan merebut senjata Belanda dan kita akan kembali berperang bersama melawan kaphe-kaphe Belanda itu. Percayalah, kita akan kembali berjuang bersama-sama lagi, meskipun keputusan ini terlihat konyol. Tanpa keputusan ini, sulit bagi kita untuk membendung serangan Belanda yang dilengkapi oleh senjata modern.”
Di satu sisi, pembelokkan yang dilakukan oleh Umar seperti sebuah keuntungan besar bagi Belanda untuk memudahkan misi-misi mereka di Aceh. Namun, jangan lupa, Belanda akan akan kembali menghadapi Umar dengan pasukan Aceh-nya dikemudian hari. Jika saja, suatu hari itu 11 Februari 1899 tidak terjadi apa-apa dengan Umar, siapa tahu, Umar yang memiliki segundang misteri itu, punya rencana dan manipulasi-manipulasi berikutnya yang akan diperlihatkan oleh Umar.
Jadi inilah kisah Umar yang berakhir pada 11 Februari 1899 atau 118 tahun yang lalu. Namun perjuangan Umar untuk mengusir Belanda dari Aceh tidak berakhir sampai di situ. Istrinya bernama Cut Nyak Dhien, meneruskan perjuangan sang suami: Teuku Umar. Dhien yang disokong oleh pejuang Aceh yang sangat tangguh, kembali memberikan perlawanan sengit dan kejutan besar bagi pihak kolonial Belanda, seperti halnya yang dilakukan oleh suaminya ketika membuat gempar para serdadu Belanda. Tapi, kali ini Belanda dikejutkan oleh seorang perempuan Aceh yang sangat tangguh.
Mengutip salah satu ucapan Teuku Umar: Beungoh singoh geutanyo jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid(besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan syahid), begitulah sepengkal kata-kata mutiara yang diucapkan oleh Teuku Umar yang di abadikan dalam prasasti di Desa Meugo, Meulaboh, pada akhir masa perjuangannya. Ucapan yang dilontarkan oleh Teuku Umar itu, menunjukkan bahwa tekadnya untuk berjuang membebaskan kota Meulaboh atas kehadiran Belanda, meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Selamat jalan pahlawanku, Teuku Umar Johan Pahlawan (11 Februari 1899 – 11 Februari 2017). Perjuangan mu, akan tetap kami kenang untuk selama-lamanya.
Sabtu, 11 Februari 2017.
= = = = = = =
** Chaerol Riezal adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah. Email: chaerolriezal@gmail.com
NB: Tulisan ini, sebenarnya hasil revisi dari dua tulisan tentang, Namaku Teuku Umar (2015) dan Sepotong Ingatan Tentang Teuku Umar (2016). Kedua tulisan tersebut, dipublis oleh penulis melalui media tepat pada tanggal 11 Februari dimana Teuku Umar meninggal dunia pada hari itu. Sehingga selama tiga tahun beruntun, penulis selalu menurunkan tulisan tentang syahidnya Umar di medan pertempuran. Tulisan tentang Teuku Umar ini dapat dijadikan sebagai pengingat agar tidak melupakan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H