Jadi inilah kisah Umar yang berakhir pada 11 Februari 1899 atau 118 tahun yang lalu. Namun perjuangan Umar untuk mengusir Belanda dari Aceh tidak berakhir sampai di situ. Istrinya bernama Cut Nyak Dhien, meneruskan perjuangan sang suami: Teuku Umar. Dhien yang disokong oleh pejuang Aceh yang sangat tangguh, kembali memberikan perlawanan sengit dan kejutan besar bagi pihak kolonial Belanda, seperti halnya yang dilakukan oleh suaminya ketika membuat gempar para serdadu Belanda. Tapi, kali ini Belanda dikejutkan oleh seorang perempuan Aceh yang sangat tangguh.
Mengutip salah satu ucapan Teuku Umar: Beungoh singoh geutanyo jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid(besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan syahid), begitulah sepengkal kata-kata mutiara yang diucapkan oleh Teuku Umar yang di abadikan dalam prasasti di Desa Meugo, Meulaboh, pada akhir masa perjuangannya. Ucapan yang dilontarkan oleh Teuku Umar itu, menunjukkan bahwa tekadnya untuk berjuang membebaskan kota Meulaboh atas kehadiran Belanda, meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Selamat jalan pahlawanku, Teuku Umar Johan Pahlawan (11 Februari 1899 – 11 Februari 2017). Perjuangan mu, akan tetap kami kenang untuk selama-lamanya.
Sabtu, 11 Februari 2017.
= = = = = = =
** Chaerol Riezal adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah. Email: chaerolriezal@gmail.com
NB: Tulisan ini, sebenarnya hasil revisi dari dua tulisan tentang, Namaku Teuku Umar (2015) dan Sepotong Ingatan Tentang Teuku Umar (2016). Kedua tulisan tersebut, dipublis oleh penulis melalui media tepat pada tanggal 11 Februari dimana Teuku Umar meninggal dunia pada hari itu. Sehingga selama tiga tahun beruntun, penulis selalu menurunkan tulisan tentang syahidnya Umar di medan pertempuran. Tulisan tentang Teuku Umar ini dapat dijadikan sebagai pengingat agar tidak melupakan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H