Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengalaman Dibonceng Motor Waria

15 Mei 2010   01:28 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 2261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141277" align="alignright" width="214" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ada satu pengalaman menarik yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku. Pengalaman itu adalah ketika aku berboncengan sepeda motor bersama dengan salah seorang temanku untuk pertama kalinya. Cerita ini berawal saat temanku itu mengajakku pergi ke tempat kerjanya yang terletak di Jalan Magelang, Yogyakarta, dengan menggunakan sepeda motor bututnya. "Ayo Er, kita jalan-jalan ke Jalan Magelang, ke tempat kerja aku," ajak temanku yang baru saja aku kenal satu tahun yang lalu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengiyakan tawaran dia. Aku buru-buru mengenakan sebuah helm berwarna Hitam dan duduk manis di belakangnya. Kebetulan jarak yang kami tempuh bisa dikatakan lumayan jauh sekitar lima kilometer. Namun berkat ‘kehebatan' temanku ini dalam mengendarai motor bututnya itu, waktu yang dihabiskan dari rumahnya yang terletak di Kota Gede ke Jalan Magelang tak lebih dari dua puluh menit.

Selama perjalanan, temanku itu asyik bercerita mengenai pekerjaannya sebagai seorang penata rias gadis pemandu lagu di salah satu tempat karaoke pub. Selain itu, ia juga menuturkan bagaimana susahnya menjalani profesi sebagai gadis pemandu lagu yang, konon, seperti lonte alias pelacur. Sepanjang temanku ‘berdongeng', aku pun turut mendengarkan semua pengalamannya itu hingga larut membayangkan bagaimana jadinya ketika aku berada di posisi mereka dan menjalani semua rutinitas kehidupan sehari-hari sebagai gadis pemandu lagu selama bertahun-tahun lamanya. Tak henti-hentinya, aku bergumam dalam hatiku, "Thanks god" atas semua yang Tuhan berikan selama ini, termasuk mempertemukan aku dengan salah seorang makhuk ciptaan-Mu ini.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba aku tersentak oleh sebuah tatapan ‘tidak wajar' dari seorang lelaki tampan berusia kira-kira dua puluh lima tahun, berkulit putih, memakai jas kulit berwarna Hitam dengan motor Honda 2000 yang dikendarainya. Kebetulan saat itu, kami (aku, temanku, dan pria tampan itu) sedang berada di perempatan lampu Merah Jalan Letjen. Suprapto. Posisi motornya persis di samping motor temanku. Lalu mengapa tatapan pria itu aku sebut ‘tidak wajar'? Karena pria itu tak henti-hentinya menatap secara seksama beberapa anggota tubuh yang ada di muka temanku, misalnya, hidung, pipi, dan dagu dengan sorotan mata tajam, mengernyitkan alis, dan sesekali tersenyum seolah-olah wajah temanku itu tampak lucu baginya. Setelah puas memandang temanku, pria itu beralih melihatku. Tak terlihat satu pun ekspresi kaget di wajahnya ketika menatapku. Kemudian ia kembali mengamati temanku. Namun, kali ini fokus perhatiannya tertuju pada kerudung berwarna Putih yang dikenakan di kepala temanku. Aku melihat keterkejutan di ekspresi wajahnya dengan alis mengangkat ke atas, mata melotot, dan mulut menganga. Seakan-akan ia tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Selanjutnya, bola mata pria tampan itu asyik memandangi baju muslim temanku yang berwarna Biru tua dengan celana panjang berwarna senada. Ia pun kembali tersenyum dengan senyuman yang, menurutku, seperti senyuman orang yang sedang mengejek. Merasa dirinya menjadi objek perhatian si pria tampan itu, temanku berusaha bersikap ramah dengan melemparkan sebuah senyuman manis kepadanya. Tetapi sayang, keramahan temanku tidak mendapat respon yang baik. Lelaki itu sengaja mengabaikan senyuman temanku dengan mengalihkan pandangannya ke depan. Tetapi saat temanku tidak lagi menoleh ke arahnya, pria itu menunjukkan ekspresi jijik. Alisnya yang sebelah kanan mengangkat ke atas, bibir menyeringai, sorot mata tampak seperti orang yang sedang ketakutan, dan bahu diangkat ke atas.

Lampu Merah pun berganti dengan lampu Hijau. Temanku kembali melaju sepeda motor bututnya menuju tempat kerjanya di Jalan Magelang. Di tengah perjalanan, temanku berkomentar mengenai sikap pria itu. "Itu udah biasa kok, Er. Ora popo" ujar temanku dengan perasaan lepas tanpa tekanan seolah-olah menyiratkan jika perilaku seperti itu sudah menjadi ‘makanan' sehari-hari.

Sesampainya di perempatan lampu Merah Jalan Tentara Pelajar, temanku sengaja menghentikan sepeda motornya saat lampu Merah. Aku pun kembali menjumpai peristiwa serupa ketika berada di perempatan lampu Merah Jalan Letjen. Suprapto. Namun kali ini jumlah tatapan tidak berasal dari satu orang, melainkan banyak orang. Karena posisi motor temanku itu berada di baris kedua dari depan sehingga orang yang melihat kami tidak hanya pengendara motor yang berada tepat di samping kiri dan kanan kami, tetapi juga yang berada di depan kami yang kebetulan sedang menoleh ke arah kami. Mereka yang menatap kami, khususnya temanku, tidak hanya laki-laki saja, tetapi juga ibu-ibu. Cara mereka menatap temanku sama seperti pria tampan yang kami temui sebelumnya dengan sorotan mata tajam, mengernyitkan alis, mulut menganga, dan sesekali tersenyum yang terkesan sedang mengejek. Bahkan ada seorang ibu yang melihatku dengan tatapan seolah-olah aku adalah orang yang patut dikasihani karena telah berboncengan dengan temanku itu.

Selang beberapa lama kemudian, lampu Hijau pun menyala. Lalu temanku langsung menancapkan gas motor bututnya menuju tempat kerja. Sementara temanku asyik berkosentrasi mengemudikan motornya, pikiranku justru tertuju pada tatapan-tatapan ‘aneh' dari sejumlah pengendara motor yang tadi memandangi kami, terutama temanku. Bagiku, tatapan-tatapan ‘tidak wajar' mereka saat melihat temanku itu sungguh terasa ‘aneh'. Bukan suatu kebetulan belaka jika para pengendara motor memandang temanku dengan menunjukkan satu ekspresi yang sama, yakni ekspresi orang yang sedang terkejut, kaget, dan jijik seolah-olah temanku itu adalah sosok manusia yang ‘berbeda' dari mereka. Lalu timbul satu pertanyaan mendasar dalam benakku, yaitu mengapa mereka menatap temanku seperti itu. Apa yang ada di dalam diri temanku itu sehingga membuat mereka menatap dia seperti itu?

Untuk menemukan jawabannya, aku sengaja melihat wajah temanku dari kaca spion. Sekilas tak ada yang aneh dengan wajahnya. Meski pada beberapa bagian di mukanya, misalnya, hidung, pipi, dan dagu sudah ‘tidak asli' lagi karena telah disuntik silikon, tapi secara keseluruhan wajahnya terlihat sangat cantik dengan polesan bedak, gincu berwarna Merah menyala di bibirnya, perona pipi berwarna Pink, dan eye shadow berwarna Coklat muda. Begitu juga dengan pakaian yang dikenakannya. Ia tampak seperti perempuan muslimah dengan baju muslim yang dikenakannnya lengkap dengan kerudung Putih di kepalanya. Jika dibandingkan antara aku dan temanku itu, aku merasa tidak ada apa-apanya. Aku justru ‘kalah bersaing' dengan dia. Karena aku merasa sangat jelek dihadapannya yang ketika itu sangat cantik dengan make up di wajahnya. Selain itu, baju yang aku kenakan, hanya memakai kaos Putih berlengan panjang dengan celana panjang Levis berwarna Coklat Muda, terkesan ‘kurang muslimah' dibandingkan dengannya.

Aha... Kini aku tahu jawabannya. Tatapan-tatapan ‘tidak wajar' dari para pengendara motor terhadap temanku itu terjadi karena temanku adalah seorang waria alias banci. Ya, teman yang aku bicarakan ini adalah seorang ‘perempuan' cantik yang sering diperolok banyak orang dengan sebutan bencong. Sudah menjadi rahasia umum jika sosok makhluk ciptaan tuhan yang satu ini dinilai ‘berbeda' dari manusia pada umumnya. Kebertubuhannya sebagai seorang waria yang juga manusia selalu dan selalu dipandang sebagai sesuatu yang lain (the other), sesuatu yang berada di luar jenis kelamin dan perempuan. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi pada temanku yang nota bene waria?

Kebertubuhan Waria Dari Tiga Disiplin Ilmu: Kedokteran, Psikologi, dan Agama Islam

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama saya akan membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kebertubuhan. Lalu pembahasan dilanjutkan pada bagaimana kebertubuhan waria itu ditinjau dari perspektif ilmu pengetahuan, dalam hal ini kedokteran, psikologi, dan agama Islam. Saya sengaja meminjam ketiga disiplin ilmu ini untuk mengetahui sampai sejauhmana kebertubuhan waria itu dikonstruksi. Karena tidak menutup kemungkinan jika ‘tatapan-tatapan tidak wajar' dari para pengendara motor kepada teman saya yang nota bene adalah seorang waria merupakan hasil konstruksi ketiga pengetahuan ini yang beroperasi di alam bawah sadar pikiran mereka.

Maurice Merleau Ponty mendefinisikan kebertubuhan sebagai kesatuan antara eksistensi manusia dengan dunia di sekitarnya sehingga ia mengembangkan diri sebagai aku yang sadar. Kebertubuhan menunjukkan situasi konkrit kita sebagai manusia secara keseluruhan yang selalu berkembang terus menerus. Dengan demikian, tubuh atau kebertubuhan adalah diri kita sendiri. Kebertubuhan kita sebagai seorang manusia yang sudah pasti mengalami evolusi dari waktu ke waktu sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki peranan penting dalam membentuk kedirian kita sebagai seorang manusia, termasuk kedirian seorang manusia yang bernama waria. Lalu siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan waria?

Waria adalah sosok makhluk Tuhan yang terlahir sebagai laki-laki dengan penis yang dimiliki, namun secara psikis memiliki sifat perempuan yang lebih menonjol dibandingkan dengan sifat laki-lakinya. Hal ini terlihat dari bahasa tubuh (gesture) yang kemayu, cara mereka berbicara dengan intonasi suara yang agak manja, cara berdandan ala perempuan dengan memakai bedak, lipstick, eye shadow, perona pipi, bulu mata palsu, rambut palsu atau wig, dan cara mereka berpakaian dengan memakai baju perempuan. Dengan demikian, waria adalah sosok manusia yang jiwanya terjebak pada tubuh yang salah.

Masyarakat awam sering menyamakan kaum waria dengan kaum homoseksual. Karena keduanya memiliki kesamaan orientasi seksual terhadap sesama jenis. Meskipun begitu, pada kenyataan terdapat perbedaan di antara keduanya. Dede Oetomo dalam bukunya yang berjudul Memberi Suara Pada Yang Bisu menjelaskan perbedaan antara homoseksual dan waria. Menurut Dede, homoseksual adalah orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya diarahkan kepada sesama jenis kelaminnya. Seorang pria homoseksual sudah pasti mengakui diri mereka adalah seorang laki-laki. Tetapi ketika melakukan aktivitas seksual, tidak semua pria homoseksual berperan sebagai laki-laki. Karena ada sebagian dari mereka yang berperan sebagai perempuan. Lain homoseksual lain pula dengan waria. Seorang waria selalu mengakui diri mereka adalah perempuan, meski mereka memiliki alat kelamin laki-laki. ‘Identitas' keperempuannya itu tidak hanya ditunjukkan secara kasat mata saja (memakai make up, mengenakan baju perempuan, dan berjalan dengan gemulai), melainkan juga ketika mereka melakukan aktivitas seksual. Lebih lanjut, Dede mengatakan ada batasan sosiologis yang dibentuk dalam kesadaran sebagian besar kaum gay dan waria itu sendiri. Ada kalanya seorang gay berdandan sebagai waria, bahkan untuk waktu yang agak lama, atau ketika berada di kota lain. Begitu juga sebagian kecil waria sebaliknya berpenampilan sebagai gay pada kesempatan tertentu. "Penyeberangan" ini terjadi di kelas menengah ke bawah.

Selain berbeda dengan kaum homoseksual, kaum waria juga bukan kaum transvestisme fetishistik, orang yang menggunakan pakaian lawan jenis untuk mencapai kepuasan seksual. Melainkan transvestisme peran ganda, yakni orang yang memakai jenis pakaian dari lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi diri. Karena alasan seorang waria memakai baju perempuan disebabkan secara psikologi ia merasa dirinya seorang perempuan, bukan untuk membangkitkan gairah seksual.

Dengan demikian, seorang waria adalah sosok makhluk Tuhan yang memiliki identitas tersendiri yang berbeda dari homoseksual dan transvetitisme fetishistik.

Lalu bagaimanakah sebenarnya ilmu pengetahuan melihat kebertubuhan seorang waria?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan memulainya dengan ilmu kedokteran. Ilmu ini sengaja saya gunakan sebagai dasar pijakan awal dengan alasan untuk mengetahui bagaimana tubuh waria secara fisik dibicarakan dari sudut pandang medis. Atau apa yang menyebabkan seseorang yang pada mulanya terlahir sebagai seorang lelaki sejati lengkap dengan penis yang dimiliki, tetapi dikemudian hari mempunyai sifat keperempuanan yang lebih dominan dibandingkan sifat kelelakiannya?

Sudah banyak penelitian di bidang ini yang mengkaji permasalahan mengenai tubuh waria. Dari sekian banyak penelitian itu, setidaknya saya menemukan dua penyebab mengapa seorang pria menjadi waria di masa yang akan datang. Pertama, adanya kelainan kromosom yang terdapat di dalam tubuhnya. Lalu apa yang dimaksud dengan kromosom? Kromosom adalah bagian-bagian kecil yang terdapat dalam inti sel. Melalui kromosom, kita dapat mengetahui deoxyribonucleic acid (DNA) seseorang. Pada umumnya, kromosom laki-laki adalah XY. Sedangkan perempuan adalah XX. Namun, pembagian tersebut tidaklah mutlak. Karena bisa saja terjadi satu atau dua kromosom dari 46 kromosom yang tidak normal yang disebut dengan aneuplodi kromosom. Pada laki-laki ditemukan sindroma Klinefelter dengan ciri-ciri tidak menderita steril, mempunyai testis yang sangat kecil, seringkali menderita ginekomasti dan retardasi mental. Serta memiliki susunan kromosom XXXY. Sementara pada perempuan ditemukan sindroma Turner, yaitu perempuan yang menderita steril, tidak mengalami menstruasi, pendek, memiliki berbagai kelainan, misalnya, selaput kulit di kanan kiri leher, koartasi aorta dan apabila lengannya diluruskan, lengan bawah akan tergeser lebih ke lateral, dan memiliki satu kromosom, XO. Kedua, faktor predisposisi hormonal dimana hormon ekstrogen dan progesterone lebih banyak daripada hormon androgen.

Setelah membahas faktor penyebab kebertubuhan waria dari sudut pandang ilmu kedokteran, saya akan beralih kepada ilmu psikologi untuk melihat bagaimana sebenarnya proses seseorang menjadi waria (the process of being a waria). Dalam buku yang berjudul Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia (PPDGJ) III dijelaskan bahwa tanda-tanda seorang lelaki yang pada awalnya ‘normal', namun di kemudian hari memilih untuk menjadi waria dapat dilihat ketika ia masih kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut meliputi kecenderungannya untuk bermain, misalnya, boneka dan memilih anak perempuan sebagai teman dibandingkan anak laki-laki. Selain itu, ia selalu merasa tidak nyaman dengan penis yang dimilikinya. Baginya, mempunyai penis adalah sesuatu yang menjijikkan dan ingin menggantinya dengan vagina, "They find that their penis or testis disgusting, that they want to remove them, or that they have, or wish to have, a vagina." Dalam ilmu psikologi, istilah ini disebut dengan gangguan identitas gender (gender identity disorder), orang yang merasa terganggu dengan alat kelamin yang dimilikinya sejak lahir.

Lalu saat dewasa, ia mengidentifikasikan diri sebagai lawan jenis (cross-gender identification). Identifikasi diri sebagai lawan jenis (cross-gender identification) dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengubah penampilannya menjadi perempuan. Seperti contoh, apa yang terjadi pada penampilan temanku itu saat memboncengiku dengan motor bututnya yang memakai baju muslim lengkap dengan kerudung dikepala. Penampilannya yang bak seperti perempuan ini disebut dengan transvestisme peran ganda, yakni orang yang memakai jenis pakaian dari lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi diri. Kedua, mengubah penampilan fisiknya dengan cara memiliki dua organ tubuh yang sudah pasti dipunyai setiap perempuan, yakni payudara dan vagina. Untuk dapat memiliki dua penanda itu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Misalnya, untuk dapat memiliki payudara, ia bisa saja melakukan operasi atau suntik silikon. Tetapi karena faktor biaya, kebanyakan dari kalangan waria memilih untuk suntik silikon dibandingkan dengan operasi. Sebagai ilustrasi, mereka cukup membayar Rp 300 ribu untuk sekali suntik. Sementara operasi mereka menghabiskan uang sebesar Rp 5 juta. Untuk mengubah alat kelamin mereka dari penis menjadi vagina, mereka harus menempuhnya hanya dengan satu cara, yaitu operasi. Namun, tidak semua waria mau melakukannya. Selain karena mahal, faktor keluarga juga menjadi pertimbangan penting mengapa mereka tetap mempertahankan alat kelamin mereka, meski mereka merasa jijik memilikinya. Terkait dengan mengubah penampilan fisik dari laki-laki menjadi perempuan, menurut pengakuan temanku itu, ia hanya melakukan satu operasi, yakni operasi payudara yang dilakukannya pada tahun 1995 dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp 4 juta.

Dengan demikian, proses menjadi seorang waria (the process of being a waria) bukanlah proses mendadak yang terjadi begitu saja, melainkan sebuah proses panjang yang dimulai ketika masih kanak-kanak hingga dewasa.

Terakhir saya menggunakan pendekatan ilmu agama Islam untuk melihat bagaimana sebenarnya posisi temanku itu yang nota bene seorang waria menurut agama yang, konon, mayoritas di Indonesia. Dalam Islam, gender terbagi menjadi empat, yaitu laki-laki, perempuan, khuntsa (hermaprodit), dan mukhannits atau mukhannats. Menurut Ensiklopodia Hukum Islam, khunsa diartikan sebagai seseorang yang diragukan jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki ataupun perempuan. Atau dengan kata lain, khunsa adalah hermaprodit. Kata khuntsa sendiri berasal dari kata al-khans yang merupakan bentuk jamak dari khunasa yang berarti lembut atau pecah. Sementara itu, mukhannits adalah laki-laki biologis yang mengidentifikasikan diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian seks. Sedangkan mukhannats adalah laki-laki biologis yang beratribut perempuan, tapi tidak menginginkan pergantian seks biologisnya. Berdasarkan pembagian gender di atas, kaum waria digolongkan ke dalam mukhannits atau mukhannats.

Al Qur'an sebagai kitab suci umat Islam secara tegas hanya mengakui dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Meskipun begitu, bukan berarti bahwa keberadaan kaum waria tidak pernah ada ketika jaman Nabi Muhammad SAW. Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al Qur'an hanya menyinggung sedikit tentang permasalahan waria. Namun, isi hadis tersebut tidak menerangkan secara jelas bagaimana posisi waria saat itu. Di satu sisi, ada hadis yang menolak keberadaan kaum waria seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Hadis itu menceritakan jika Rasul melaknat seorang laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Tetapi di sisi lain, ada dua hadis yang mengatakan jika Nabi menghukum seseorang yang menyebut orang lain sebagai mukhannits atau mukhannats dan melarang untuk membunuh mukhannits atau mukhannats, asalkan ia sholat. Dari kedua hadis tersebut, secara tersirat Rasul sendiri sebenarnya mengakui keberadaan kaum waria dan melindungi mereka laiknya seorang manusia.

Dengan demikian, secara de jure ketidakdiakuinya posisi waria tidak hanya dalam Al Qur'an, tetapi juga hadis yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum laknat. Meskipun begitu secara de facto, keberadaan mereka telah ada dan diakui pada zaman Rasul, meski dengan banyak keterbatasan.

Konstruksi Wacana Kebertubuhan Waria Melalui Relasi Pengetahuan dan Kuasa

Menurut seorang filsuf asal Perancis, Michel Foucault, wacana berarti berbicara tentang aturan-aturan, praktik-praktik yang menghasilkan pernyataaan-pernyataan yang bermakna pada satu rentang historis tertentu. Wacana adalah kumpulan pernyataan pada satu rentang historis tertentu yang siap dipakai sebagai sarana untuk memperbincangkan topik tertentu. Wacana muncul ke permukaan melalui bahasa. Karena bahasa adalah media kita berkomunikasi. Dengan bahasa pula, kita menjadi mengetahui dan memahami sesuatu. Tetapi itu tidak berarti bahwa wacana adalah bahasa itu sendiri. Karena wacana tidak sama dengan bahasa. Bahasa hanyalah faktor pendorong lahirnya sebuah wacana.

Bahasa ada karena pengetahuan. Menurut Foucault, tidak ada pengetahuan yang murni dan netral. Beliau begitu cerdas mengkritisi makna yang terkandung dibalik pengetahuan, yaitu kekuasaan. Baginya, tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung kekuasaan dan tidak ada praktek pelaksanaan kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan. Relasi pengetahuan dan kekuasaan berpangkal dari subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan cara pengetahuan terjadi. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan ia datang dari subjek tertentu, karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Atau dengan kata lain, pengetahuan merupakan bagian dari strategi kekuasaan. Dengan demikian, kehendak untuk mengetahui adalah kehendak untuk berkuasa.

Berdasarkan teori Foucault di atas, maka sangat dipahami mengapa selama ini kaum waria selalu dipandang negatif, aneh, abnormal, dan sesuatu yang lain (the other) di masyarakat. Pencitraan negatif (streotyping) sosok waria telah terkonstruksi berkat ketiga ilmu pengetahuan, yakni kedokteran, psikologi, dan agama Islam. Ilmu kedokteran melihat adanya permasalahan di dalam tubuh waria yang disebabkan karena pembentukan kromosom yang salah dan disposisi hormon. Lalu ilmu psikologi memandang adanya ‘penyimpangan' di dalam jiwanya yang merasa tidak nyaman dengan penis yang dimilikinya atau gangguan identitas gender (gender identity disorder). Kemudian ilmu agama Islam semakin memperkuat argumen kedua ilmu tersebut dengan menggunakan hukum, Al Qur'an dan hadits, sebagai pembenaran bahwa kaum waria adalah kaum laknat. Dengan demikian, ketiga ilmu ini telah berhasil menguasai wacana kebertubuhan waria melalui konstruksi pengetahuan yang dengan sengaja dibentuk seolah-olah dalam tubuh mereka terdapat penyimpangan sehingga mereka dipandang ‘berbeda'.

Lalu kini yang menjadi pertanyaan adalah wacana kekuasaan apa yang bersembunyi di balik ketiga ilmu pengetahuan ini. Dan bagaimanakah wacana kekuasaan itu bekerja sehingga melahirkan ‘tatapan-tatapan tidak wajar' dari para pengendara motor ketika melihat temanku yang seorang waria.

Ideologi Heteronormativitas, Alam Bawah Sadar, Dan The Other

Moh. Yasir Alimi dalam bukunya yang berjudul Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama menjelaskan fakor penyebab mengapa kaum waria "sengaja" dikonstruksi secara negatif di masyarakat. Menurutnya, hal ini terjadi karena adanya wacana kekuasaan, yaitu ideologi heteronormativitas. Adapun yang dimaksud dengan ideologi heteronormativitas adalah ideologi tentang keharusan untuk menjadi heteroseksual dengan tujuan prokreasi, melahirkan keturunan. Agar bisa berproduksi, maka laki-laki harus berpasangan dengan perempuan. Begitu juga sebaliknya. Perempuan diharuskan berpasangan dengan pria. Ideologi ini juga mengharuskan adanya kesesuaian antara identitas seksual dan identitas gender. Tidak boleh dicampuradukkan (in between). Identitas seksual memiliki definisi sebagai identitas yang dilihat dari alat kelamin yang dimiliki seseorang sejak lahir. Jika ia memiliki alat kelamin penis, maka identitas seksualnya adalah pria. Jika ia memiliki alat kelamin vagina, maka identitas seksual adalah seorang perempuan. Sementara identitas gender adalah identitas yang dibentuk oleh sosial. Artinya, kalau laki-laki, maka harus maskulin, dan sebaliknya bila perempuan harus feminin. Pada intinya, ideologi ini hanya mengakui dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Tidak ada jenis kelamin lain selain laki-laki dan perempuan.

Ideologi heteronormativitas ini secara terus menerus direproduksi melalui peranan ilmu pengetahuan yang dengan secara sengaja mengkonstruksi kebertubuhan waria sebagai sesuatu yang menyimpang. Kemudian wacana kebertubuhan waria yang telah dibentuk oleh ilmu pengetahuan ini masuk ke dalam alam bawah sadar (unconscious) setiap manusia. Akibatnya, kebertubuhan waria di masyarakat dipandang sebagai the other. Status diri seorang waria menjadi dipertanyakan. Mengingat, secara lahiriah ia adalah laki-laki, tetapi berpenampilan seperti seorang perempuan. Atau dengan kata lain, sosok pria dan perempuan berada dalam satu tubuh, yaitu seorang waria. Perilakunya yang menyerupai perempuan dianggap telah mengacaukan identitas gender yang ada. Selain itu, orientasi seksual mereka yang menyukai sesama jenis dipandang ‘menyimpang' karena tidak bertujuan pada prokreasi atau melahirkan keturunan.

Dengan demikian, ideologi heteronormativitas merupakan jawaban mengapa kebertubuhan temanku yang seorang waria dipandang sebagai the other oleh para pengendara motor. Lalu apa seharusnya dilakukan agar kebertubuhan waria tidak lagi dinilai berbeda?

Perlunya Dekonstruksi

Dekonstruksi menjadi suatu keharusan yang harus ditempuh agar kebertubuhan waria tidak lagi dipandang sebagai the other dalam sepanjang hidupnya. Karena dengan mendekonstruksi, kita mampu membongkar makna-makna yang tersembunyi di balik ideologi heteronormativitas.

Seorang filsuf asal Perancis, Derrida, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep dekonstruksi ini. Menurutnya, sebuah makna tidak pernah hadir dalam satu bahasa, meaning is never immediately or fully present in any given one sign. Makna sebuah tanda bahasa adalah sekedar perbedaan tanda bahasa itu dengan yang lain. Artinya, konsep laki-laki ada karena pembedaannya dengan perempuan. Dan konsep hitam ada karena pembedaannya dengan putih. Dengan demikian, makna merupakan akibat dari hubungan tanda bahasa (differance).

"Permainan differance meliputi sintesis dan referral (renvoi) yang menginspirasikan bahwa tidak ada elemen yang hadir begitu saja, dan menunjuk padanya. Baik ditulis atau diutarakan, tidak ada satu elemen pun yang berfungsi sebagai tanda yang tidak membutuhkan tanda lain. Hubungan antar tanda ini menunjukkan bahwa setiap elemen─ fonem atau grafem─ terbentuk dalam kaitannya dengan tanda atau elemen lain. Tidak ada sesuatu pun, baik elemen maupun sistem, yang hadir atau lenyap begitu saja". (Derrida, 1981: 27)

Konsep differance inilah yang saya jadikan sebagai pisau analisa untuk mendekonstruksi wacana kebertubuhan waria sebagai the other. Pada intinya, ideologi heteronormativitas berbicara mengenai heteroseksualitas yang dinilainya sebagai sesuatu yang ideal. Bahwa menjadi normal adalah dengan menjadi laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan konstruksi sosial di masyarakat, yakni bahwa laki-laki harus tampak maskulin sedangkan perempuan harus tampak feminin. Tidak boleh dicampuradukkan (in between). Tidak hanya itu, ideologi ini juga mengharuskan adanya aktivitas seksual yang berujung pada prokreasi.

Ideologi heteronormativitas bukan sesuatu yang lahir begitu saja (to be given), melainkan direproduksi oleh wacana pengetahuan (ilmu kedokteran, psikologi, dan agama Islam) secara terus-menerus dan berulang-ulang melalui tanda bahasa dengan yang lain, yaitu non-heteroseksual. Bahwa yang dikatakan normal adalah laki-laki dengan sifat maskulinnya dan perempuan dengan kefeminimnya. Sedangkan yang dikatakan abnormal adalah laki-laki dengan sifat kefeminimnya alias kaum waria. Bahwa yang disebut ideal, menurut pengetahuan, adalah heteroseksual, menyukai lawan jenis dengan tujuan untuk reproduksi keturunan. Sedangkan non-heteroseksual disebut tidak ideal oleh pengetahuan karena orientasi seksual mereka yang menyukai sesama jenis sehingga tidak bertujuan pada prokreasi. Dengan demikian, melalui wacana pengetahuan inilah, heteroseksualitas diinternalisasikan dan dinaturalisasikan, sedangkan bentuk yang lain dipatologikan dan diabnormalkan.

Nah, jika demikian masihkah kita menatap kaum waria dengan tatapan sorotan mata tajam, mengernyitkan alis, mulut menganga, dan sesekali tersenyum mengejek seolah-olah ia adalah makhluk Tuhan yang aneh??

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun