"Beneran nggak panas."
"Bener."
"Tunggu bentar ya? Benerin ini dulu nih. Ada yang nungguin nggak di rumah?"
"Ada, kakak." Jawabku berbohong.
Aroma wangi langsung menyebar dari cologne gel itu. Aku tiba-tiba curiga setelah mendengar suara yang aneh. Lebih aneh lagi, si sopir tetap duduk  tak merubah posisinya. Tak seperti orang yang sedang membetulkan sesuatu pada mobilnya, seperti yang aku kira semula. Aku menggeser tempat dudukku, yang tadinya di belakang sopir, menepi kekiri mendekati pintu. Mulai antisipasi, jika si sopir melakukan hal-hal yang tidak aku inginkan, aku akan lari.
Astaghfirullah Hal Adziiiimm ... benar saja, orang itu sedang masturbasi. Menjadi sangat ketakutan, aku ingin menangis. Jadi ingat keluargaku, mereka jauh di sana. "Ibu ... bapak ..." Aku memanggilnya dalam hati. Ada perasaan nelangsa menyadari kesendirianku. Aku merasa seperti berada di dunia lain, seperti bayanganku tentang kematian. Sendirian, gelap, sepi, di sebuah tempat yang tak pernah ada di bumi. Tapi, apa aku bisa lari? Aku tak bisa melihat apa-apa selain gelap. Kalaupun aku dibunuh, tentu tak akan ada yang tahu.
"Neng, duduk di depan sini, neng ..." Si sopir menepuk bangku di sebelahnya.
"Enggak ah, di sini aja." Aku mencoba menjawab setenang mungkin. Pura-pura bodoh, tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Jantungku berdegup semakin kencang.
"Nggak pa pa, duduk di depan sini."
"Enggak."
"Sini ... nggak pa pa ... ayo sini ..."