"Ngapain dilihatin! Ngapain ditungguin! Rumah gua masih jauh di ujung sana! Kalau gua kenapa-napa juga loe nggak bakalan tau!" Teriakku memecah sepi di pukul 01.00.
Besoknya, aku kembali mendapati mobil yang sebelumnya selalu mengantar aku sampai di depan rumah. Mungkin ada karyawan yang pekerjaannya sudah selesai, sehingga ia masuk pagi. Aku senang karena tidak perlu ketakutan lagi melewati lapangan itu. Â
Mobil mulai berjalan, melintasi jalan raya, keluar masuk lorong menurunkan satu per satu penumpangnya. Bagi karyawan perempuan yang sudah berkeluarga atau memiliki sanak famili di Jakarta, pasti akan disambut laki-laki yang tengah menunggu kepulangannya. Suami atau saudaranya lelakinya. Biasanya yang rumahnya memasuki gang sempit, sehingga mobil tidak bisa masuk. Ada yang menemani dengan berjalan kaki, ada yang membonceng dengan motor atau sepeda. Khawatir terjadi apa-apa dengan anggota keluarganya.
Malam itu, menjadi malam yang berbeda dari yang sudah-sudah. Biasanya aku bukan orang yang terakhir diturunkan. Dan jalanan itu tak pernah kulewati sebelumnya. Benar-benar asing bagiku. Sempat kutanya penumpang terakhir sebelum aku, katanya, itu daerah Kelapa Gading, belakang Komplek Perumahan Bea Cukai.
Mobil mulai balik arah. Tinggal aku bersama seorang pengemudi mobil yang tampak masih muda. Usianya berkisar 30 tahun lebih. Perawakannya gemuk, tapi tidak sangat. Kulitnya hitam dan tinggi badannya sekitar 170 cm. Â
"Kita jangan lewat yang tadi ya? Jalannya rusak parah." Kata si sopir. Â
"Ya udah, nggak pa pa."
"Neng, bawa hand body nggak? Ada yang rusak nih, musti dibenerin."
"Enggak, bang."
"Hadooooohh! pusing nih pala gua kalau begini!"
Si sopir terlihat kesal sambil melepas topinya. Aku ngeri mendengar nada suaranya yang meninggi, emosi.